Sejarah Perkembangan Dinasti Bani Umayah
DINASTI BANI UMAYAH
Oleh: Rasyid Rizani, S.HI., M.HI
(Hakim pada Pengadilan Agama Bajawa NTT)
PENDAHULUAN
Setelah terjadi perang saudara antara Ali dan Mu’awiyah yang menjadi gubernur Damaskus saat itu, konflik kekuasaan di tubuh kekhalifahan memuncak hingga akhirnya Ali pun dibunuh oleh kelompok yang berasal dari kubunya sendiri karena telah menerima tahkim (arbitrase) dari pihak Mu’awiyah. Pada 661 M, Mu’awiyah membangun dinasti Bani Umayah dan dimulailah gelombang ekspansi yang kedua. Perluasan kekuasaan yang sudah dimulai sejak zaman Umar dilanjutkan kembali setelah beberapa lama banyak mengurusi masalah internal.
Namun konflik internal kembali terjadi di lingkungan dinasti yang menyebabkan kekuasaan Bani Umayah hanya berlangsung selama kurang lebih 89 tahun dan kemudian diambil alih oleh Bani ‘Abbasiyah (keturunan Al-Abbas ibn Abd Al-Muttallib – Paman Nabi). Selama pemerintahan Bani Umayyah Islam telah meluas sampai ke India, Spanyol dan daerah-daerah Rusia. Selama itu juga, berbagai macam kemajuan telah dicapai oleh umat Islam, dari kemajuan bidang politik, tatanegara, arsitektur, dan lain sebagainya.
Pada makalah ini akan dibahas lebih lanjut tentang sejarah pembentukan dan perkembangan Islam pada masa Bani Umayyah serta kemajuan-kemajuan yang berhasil dicapai dinasti tersebut.
A. SEJARAH PEMBENTUKAN BANI UMAYYAH
Nama Daulah Umayyah berasal dari nama “Umayyah ibn ‘Abdi Syam ibn ‘Abd Manaf”, yaitu salah seorang pemimpin Quriasy di zaman Jahiliyyah. Umayyah senantiasa bersaing dengan pamannya Hasyim bin ‘Abd Manaf untuk merebut pimpinan dan kehormatan dalam bangsanya.[1] Pembentukan Bani Umayyah ini tidak terlepas dari keberhasilan Mu’awiyah dalam mencapai ambisi mendirikan kekuasaan Dinasti Umayyah. Upaya strategis yang dilakukan Muawiyah untuk merebut kekuasaan dan sekaligus mendirikan Dinasti Umayyah antara lain sebagai berikut :
1. Pembentukan kekuatan militer di Syria. Selama 20 tahun menjabat Gubernur Syria, Muawiyah berusaha mengkonsolidasikan seluruh kekuatan yang ada untuk memperkuat posisinya di masa-masa mendatang. Langkah-langkah strategis tersebut antara lain merekrut tentara bayaran baik dari masyarakat asli Syria maupun emigran Arab yang mayoritas dari keluarganya sendiri, juga merekrut lawan-lawan politiknya yang cakap, seperti mengangkat Amr bin Ash menjadi orang kepercayaannya, Ziyad, tokoh yang tidak dikenal jelas siapa orang tuanya dia angkat menjadi saudaranya sendiri dengan menambahkan nasab menjadi Ziyad ibn Abi Sufyan.
2. Politisasi tragedi pembunuhan Utsman. Pada masa pemerintahan Khalifah Ali, Muawiyah berusaha memojokkan sang Khalifah dengan melancarkan serangan dilematis yang sukar dicarikan jalan pemecahannya. Implikasi konflik antara Ali dan Muawiyah merupakan implikasi kekuatan politik front Irak dan kekuatan front Syria. Politisasi ini sangat efektif menumbuhkan simpati dan fanatisme masyarakat Syria untuk mendukung perjuangan Muawiyah.[2]
Konflik antara Muawiyah dengan Khalifah Ali itu mengkristal dengan timbulnya Perang Shiffin yang selanjutnya berakhir dengan adanya tahkim (arbitrase) antara pihak Ali dengan pihak Muawiyah. Sikap Sayyidina Ali yang menerima tipu daya Amr bin Al Ash seorang utusan dari pihak Muawiyah dalam peristiwa tahkim itu banyak tidak disetujui oleh tentaranya, walaupun beliau sendiri dalam keadaan terpaksa menyetujui tahkim tersebut. Mereka berpendapat bahwa persoalan yang sedang terjadi waktu itu tidak dapat diselesaikan dengan tahkim tetapi hanya dapat diselesaikan dengan hukum Allah yaitu harus kembali kepada aturan-aturan Al-Qur’an. La hukma illa lillah atau la hukma illa Allah, itulah yang kemudian menjadi semboyan mereka. Mereka memandang bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib telah melakukan kesalahan hingga mereka meninggalkan barisannya. Dan kelompok inilah yang kemudian dalam sejarah perkembangan Islam dikenal dengan nama kelompok Khawarij (orang yang keluar dan memisahkan diri).[3]
Atas tipu daya yang sangat lihai dan tersusun rapi itulah yang menyebabkan turunnya Khalifah Ali dari jabatan Khalifah yang kemudian digantikan oleh Muawiyah. Walaupun pada asalnya Muawiyah berjanji akan menyerhakan urusan kekhalifahan ini kepada umat sepeninggalnya nanti, namun hal ini tidak pernah terjadi, justru di sinilah awal dari terbentuknya sistem pemerintahan Dinasti. Dinasti pertama ini kemudian dikenal dengan nama “Dinasti Umayyah”.
Muawiyah tampil sebagai penguasa pertama yang telah mengubah sistem pemerintahan Islam, dari sistem pemerintahan demokrasi menjadi sistem pemerintahan monarki absolut.[4]
B. PERLUASAN ISLAM PADA MASA BANI UMAYYAH
Kekuasaan Bani Umayyah berumur ± 89 tahun. Khalifah-khalifah besar Dinasti umayyah ini adalah Muawiyah ibn Abi Sufyan (661-680 M), Abd Malik ibn Marwan (685-705 M), al Walid ibn Abd Malik (705-715 M), Umar ibn Abd al-Aziz (717-720 M), dan Hisyam ibn Abd al-Malik (724-743M).[5]
Secara berturut-turut terdapat 14 orang khalifah yang memerintah dalam Dinasti Umayyah ini sejak berdirinya tahun 661 M/41 H sampai runtuhnya pada tahun 750 M/132 H, yaitu :
1. Muawiyah bin Abi Sufyan (661 M/41 H – 680 M/60 H)
2. Yazid bin Muawiyah (680 M/60 H – 683 M/64 H)
3. Muawiyah II (683 M/64 H)
4. Marwan bin al-Hakam (684 M/64 H – 685 M/65 H)
5. Abdul Malik bin Marwan (685 M/65 H – 705 M/86 H)
6. Al-Walid I (750 M/86 H – 715 M/96 H)
7. Sulaiman (715 M/96 H – 717 M/99 H)
8. Umar bin Abdul Aziz (717 M/99 H – 720 M/101 H)
9. Yazid II (720 M/101 H – 724 M/105 H)
10. Hisyam (724 M/105 H – 743 M/125 H)
11. Al-Walid (743 M/125 H – 744 M/126 H)
12. Yazid III (744 M/126 H)
13. Ibrahim (744 M/126 H)
14. Marwan II bin Muhammad (744 M/ 126 H – 750 M/132 H)[6]
Salah satu aspek dari kebudayaan adalah mengembangkan ilmu pengetahuan. Ibu kota daulah Umayah pindah ke Damaskus, Syam yang penuh dengan peninggalan kebudayaan maju sebelumnya. Daerah kekuasaanya selain diwariskan oleh Khulafaurrasyidin, telah pula menguasai Andalus, Afrika Utara, Syam, Irak, Iran, Khurasan terus ke timur sampai ke benteng Tiongkok. [7]
Masa pemerintahan Bani Umayyah ini terkenal sebagai suatu masa dimana perhatian tertumpah kepada kerajaan. Ini berarti bahwa semangat dan keinginan untuk merajai dan berkuasa itu sudah mulai muncul dalam diri para Khalifah. Dan perluasan ini telah melaksanakan keinginan yang berkobar dalam jiwa khalifah itu, serta mendatangkan kehebatan bagi negaranya pada pandangan raja-raja yang berkuasa di masa lalu.[8]
Perluasan daerah dan penaklukan-penaklukan itu barulah dapat dilakukan kalau sudah ada stabilitas di dalam negeri. Perluasan daerah ini dimulai pada masa Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan, dan tahun-tahun terakhir dari masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik, kemudian masa pemerintahan puteranya, al-Walid. Dalam masa-masa itulah terlaksana penaklukan-penaklukan yang gemilang. Di luar masa-masa itu usaha penaklukan mengalami kemacetan, karena daulah Umayyah di masa itu telah dibeBani dengan bermacam-macam pemberontakan dalam negeri, atau diperintah oleh khalifah-khalifah yang mempunyai kecakapan yang sangat terbatas, seperti beberapa orang khalifah pada masa-masa terakhir, dan diperintah oleh khalifah yang lebih menunjukkan cita-citanya untuk mendapatkan keridhaan Allah, bukan untuk memperluas kekuasaan dan daerah takluknya, seperti khalifah umar bin Abdul Aziz.[9]
Selama Bani Umayyah berkuasa, wilayah kekuasaan Islam telah bertambah luas yakni mencakup berbagai wilayah, pulau dan benua.
Di sebelah Timur, wilayah kekuasaan Islam sampai ke sungai Oxus, bagian Barat India yang akhirnya sampai ke Punjab dan Lahore, wilayah-wilayah ini dikuasai pada tahun 664 M/44 H.
Di sebelah Utara, kaum muslimin telah mampu menguasai pulau Rhodes (672 M), Cretta (674 M), kemudian sampai ke Konstantinopel yang pada waktu itu merupakan basis pertahanan kerajaan Bizantium.
Di sebelah Barat, tentara Islam telah mampu menguasai seluruh wilayah Afrika Utara, wilayah Algeria, Tlemcen, Tangiers dan Spanyol. Wilayah-wilayah ini dapat diduduki sekitar tahun 670 M/ 50 H – 683 M/63 H.[10]
Pada awal berdirinya, Dinasti ini membagi wilayah kekuasaanya ke dalam 5 front kekuatan politik, yaitu :
1. Front Jazirah Arabia yang meliputi Hijaz, Yaman, Mekkah dan Madinah.
2. Front Mesir yang mencakup seluruh wilayah Mesir.
3. Front Irak yang mencakup wilayah-wilayah Teluk Persia, Aman, Bahrain, Sijistan, Kirman, Khurasan, sampai ke Punjab India.
4. Front Asia Kecil yang mencakup wilayah Armenia dan Azerbaidjan.
5. Front Afrika yang mencakup wilayah Barbar, Andalusia dan negara-negara disekitar Laut Tengah.[11]
C. KEMAJUAN YANG DICAPAI BANI UMAYYAH
Muawiyah dan keturunannya bukan saja dikenal sebagai pahlawan dalam ekspansi Islam, tapi juga dikenal sebagai tokoh pembangunan dan pembaharuan, baik dalam bidang politik, ekonomi, kemasyarakatan dan ilmu pengetahuan.
Kemajuan Bani Umayyah terjadi pada masa pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan sampai pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik (661 M/41 H – 743 M/125 H), sedangkan masa pemerintahan khalifah-khalifah setelah Hisyam mengarah kepada kehancuran.[12]
Secara tidak langsung, kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Dinasti ini berdampak pada kemajuan berbagai bidang, kebijakan-kebijakan itu antara lain :
1. Mengangkat orang-orang Arab sebagai orang pertama dalam mengembangkan kepemimpinan umat Islam di seluruh kawasan yang mereka taklukkan;
2. Bahasa Arab sebagai bahasa utama umat, baik bagi pengembangan administrasi pemerintahan maupun keilmuan;
3. Kepentingan orang-orang luar Arab (Ajam) dalam rangka memahami sumber-sumber Islam (Alquran dan As-Sunnah) dituntut memahami struktur dan budaya Arab, sehingga telah melahirkan berbagai ilmu bahasa Arab; nahwu, sharaf, balaghah, bayan, badi’, isti’arah dan sebagainya.
4. Pengembangan ilmu-ilmu agama sudah mulai dikembangkan, karena sudah mulai terasa betapa penduduk-penduduk di luar Jazirah Arab sangat memerlukan berbagai penjelasan secara sistematis dan kronologis tentang Islam. Ilmu-ilmu yang berkembang saat itu di antaranya tafsir, hadits, fiqih, ushul fiqih, ilmu kalam dan sirah/tarikh.[13]
Secara rinci, kemajuan-kemajuan itu terdapat pada bidang-bidang sebagai berikut :
Di bidang politik dan kenegaraan, Muawiyah digambarkan oleh penulis-penulis Arab sebagai orang yang mempunyai sifat hilm yang sempurna, yaitu berupa kecerdikan dan kelicinan, maksudnya kecakapan mengalahkan lawan tanpa kekerasan. Menurut cerita, Muawiyah pernah berkata : “……Saya tidak akan menggunakan pedang, bila cemeti sudah mencukupi, dan saya tidak akan menggunakan cemeti bila lidah sudah mencukupi….”[14]. Di samping itu, tata usha kenegaraan telah teratur dan kepolisian/ketentaraan dengan sistem gaji.
Di bidang ekonomi, antara lain adalah usaha-usaha mandiri, tidak menggantungkan diri pada pendatang yang menunaikan ibadah haji, yaitu anjuran menanam buah-buahan di daerah Hijaz, Mekkah dan Madinah. Selain itu juga, pada zaman Abdul Malik, mata uang asing yang berlaku (uang Romawi, Persia dan Ethiopia) diganti dengan uang sendiri dan pada tahun 659 M dilaksanakan Arabisasi, antara lain istilah-istilah administrasi keuangan diganti dengan istilah Arab.[15]
Adapun organisasi kenegaraan pada zaman Bani Umayyah adalah sebagai berikut :
1. An Noidhamus Siyasi, yaitu organisasi politik yang meliputi: kekhalifahan berubah dari sistem syara menjadi sistem monarki; al-Kitabah atau Sekretariat Negara yang terdiri dari Katibul Rasail, Katibul Kharraj, Katibul Jundi dan Katibus Surthah; dan al-Hijabah yaitu semacam pengawal Khalifah.
2. An Nidhamul Idari, yaitu organisasi tata usaha negara, terdiri dari : ad-Dawawin, yaitu kantor pusat yang mengurus tata usaha negara yang terdiri dari Diwanul Kharraj, Diwanul Rasail, Diwanul Mustagilat al-Mutanawwiyah dan Diwanul Katibi; Imarah alal Buldan, yaitu daerah-daerah propinsi. Setiap propinsi diangkat seorang Amiril Umara; Baried, yaitu organisasi pos; dan Syurthah, yaitu organisasi kepolisian.
3. An Nidhamul Mal, yaitu organisasi keuangan. Sumber keuangan terdiri dari: ad Daraib (pajak dari daerah takluk) dan suumbangan lainnya, sedangkan pengeluaran antara lain: gaji pegawai, tentara/polisi, perlengkapan perang, hadiah dan lain-lain.
4. An Nidhamul Harb, yaitu organisasi pertahanan dengan tugas mempertahankan wilayah yang ada ekspansi serta dakwah Islamiyyah.
5. An Nidhamul Qadha’i, yaitu organisasi kehakiman. Pada masa Umayyah kekuasaan kehakiman dipisahkan dengan kekuasaan politik dan keputusan-keputusan pengadilan dibukukan.[16]
Di bidang ilmu pengetahuan dan kemasyarakatan, setelah bangsa-bangsa Persia, syria dan negeri-negeri lainnya masuk dalam kekuasaan Islam dan terjadi perkawinan antarsuku, dan lain sebagainya mendorong majunya ilmu pengetahuan. Pada masa permulaan Bani Umayyah, maka ilmu yang berkembang hanya 2 aspek, yaitu ilmu yang disebut al-Fiqhu fiddin dan al-Fiqhu fil Ilmi yaitu ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum. Perkembangan kedua ilmu di atas lebih tampak setelah Bani Umayyah dapat menguasai Spanyol, Afrika Utara, Palestina, Semenanjung Arabia, daerah-daerah Rusia dan kepulauan-kepulauan yang terdapat di laut Tengah, Sardinia, Crette, Rhodes, Syprus dan sebagian Sicillia.[17]
Bidang pendidikan seperti pendidikan sejarah, tata bahasa, geografi, dan berbagai sains, sekalipun pada masa awal dinasti ini hanya terdapat satu lembaga pendidikan di Badira (perkampungan di dekat Madinah).[18]
Di bidang arsitektur, penguasa dan dinasti Umayyah pada umumnya mahir dalam seni arsitektur. Mereka mencurahkan perhatian demi kemajuan bidang ini. Seperti berdirinya sejumlah bangunan megah, Mesjid Baitul Maqdis di Yerussalem yang terkenal dengan kubah batunya didirikan pada masa Abdul Malik tahun 691 M, merupakan peninggalan arsitektur terindah. Ia adalah mesjid pertama yang ditutup dengan kubah di atasnya. Ia juga mendirikan mesjid lainnya yang bernama Mesjid al-Aqsha yang tidak kalah tinggi seni arsitekturnya. Sebuah mesjid yang indah terdapat di Damaskus dibangun oleh Walid ibn Abdul Aziz sebagai mesjid istana. Ruangan mesjid ini dihiasi oleh berbagai ornamen yang terbuat dari pualam dan mosaik. Walid juga merehab Mesjid Madinah. Di antara beberapa monumen peninggalan Umayyah yang terkenal adalah istana Qusayr Amrah, istana ini terbuat dari batu kapur yang berwarna bening kemerah-merahan.[19]
PENUTUP
Kesimpulan
Pembentukan Bani Umayyah ini tidak terlepas dari keberhasilan Mu’awiyah dalam mencapai ambisi mendirikan kekuasaan Dinasti Umayyah. Upaya strategis yang dilakukan Muawiyah untuk merebut kekuasaan dan sekaligus mendirikan Dinasti Umayyah.
Upaya-upaya strategis itu antara lain: pembentukan kekuatan militer di Syria dan Politisasi tragedi pembunuhan Utsman. Pada masa pemerintahan Khalifah Ali, Muawiyah berusaha memojokkan sang Khalifah dengan melancarkan serangan dilematis yang sukar dicarikan jalan pemecahannya.
Pada awal berdirinya, Dinasti ini membagi wilayah kekuasaanya ke dalam 5 front kekuatan politik, yaitu : Front Jazirah Arabia, front Mesir, front Irak, front Asia Kecil, dan front Afrika.
Kekuasaan Bani Umayyah berumur ± 89 tahun dari tahun 661 M/41 H – 750 M/ 132 H) yang meninggalkan beberapa kemajuan antara lain:
1. Kemajuan dalam bidang politik dan kenegaraan dengan adanya An Noidhamus Siyasi, An Nidhamul Idari, An Nidhamul Mal, An Nidhamul Harb, dan An Nidhamul Qadha’i,.
2. Dalam bidang ekonomi, antara lain adalah usaha-usaha mandiri, dan terbentuknya mata uang sendiri pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik.
3. Di bidang ilmu pengetahuan berkembang hanya 2 aspek, yaitu ilmu yang disebut al-Fiqhu fiddin dan al-Fiqhu fil Ilmi yaitu ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum.
4. Bidang pendidikan seperti pendidikan sejarah, tata bahasa, geografi, dan berbagai sains, sekalipun pada masa awal dinasti ini hanya terdapat satu lembaga pendidikan di Badira (perkampungan di dekat Madinah).
5. Di bidang arsitektur, penguasa dan dinasti Umayyah pada umumnya mahir dalam seni arsitektur. Mereka mencurahkan perhatian demi kemajuan bidang ini. Seperti berdirinya sejumlah bangunan megah, Mesjid Baitul Maqdis di Yerussalem yang terkenal dengan kubah batunya didirikan pada masa Abdul Malik tahun 691 M,
DAFTAR PUSTAKA
Ali, K., Prof, 2003, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern), Jakarta: Srigunting.
Asmuni, M.Yusran, Drs, 1996, Ilmu Tauhid, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
___________________, Dirasah Islamiyah, Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran,
Nurdin, H.M. Amin, Drs, MA dan Drs. Afifi Fauzi Abbas, MA, 1996, Sejarah Pemikiran Dalam Islam, Teologi / Ilmu Kalam, PT. Pustaka Antara kerjasama dengan LSIK.
Sunanto, Hj. Musyrfah, Prof, Dr, Sejarah Islam Klasik.
Suyuthi, Jalaludin al-, 1998, Tarikh al-Khulafa, Beirut, Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Syalabi, A, Prof, Dr, 1988, Sejarah dan kebudayaan Islam 2, Jakarta: Kalam Mulia.
Thohir, Ajid , 2004, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Melacak Akar-Akar Sejarah, Sosial, politik, dan Budaya Umat Islam, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Watt, W.Montgomery, 1987, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, terj. Umar Basalim, Jakarta: P3M.
Yatim, Badri, Dr, 2002, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
[1]A. Syalabi, Sejarah dan kebudayaan Islam 2, (Jakarta: Kalam Mulia, 1988), h. 24
[2]K. Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern), (Jakarta: Srigunting, 2003), h. 250 251.
[3]W.Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, terj. Umar Basalim, (Jakarta: P3M, 1987), h. 10 . lihat M.Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid,(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 91 – 97. Lihat Drs H.M. Amin Nurdin, MA dan Drs. Afifi Fauzi Abbas, MA, Sejarah Pemikiran Dalam Islam, Teologi / Ilmu Kalam, (PT. Pustaka Antara kerjasama dengan LSIK, 1996), h. XII
[4]Jalaludin al-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa, (Beirut, Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1998), h. 156
[5]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h.43
[6]Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Melacak Akar-Akar Sejarah, Sosial, politik, dan Budaya Umat Islam, (Jakarta: PT. rajagrafindo Persada, 2004), h. 34 – 35.
[7]Musyrfah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, h. 38 – 39
[8]A.Syalabi, Op. Cit, h. 40
[9]Ibid, h. 141
[10]Ajid Thohir, Op. Cit, h. 40
[11]Ibid, h. 38
[12]Mahayudin H. Yahya, Sejarah Islam, (Kuala Lumpur: fajar Bhakti SDN BHD, 1993),h. 246
[13]Ajid Thohir, Op. Cit, h. 41
[14]P.K. Hitti, Dunia Islam, Terj. Ushuluddin Hutagalung dan O.D.P Sihombing, (Bandung: Sumur, 1970), h. 80
[15]Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah, Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran, h. 8
[16]Ibid, h. 9
[17]Ibid, h. 10
[18]K. Ali, Op. Cit, h. 337
[19] Ibid, h. 338-339