February 5

Pembagian Warisan Tanah yang Belum Lunas

PERTANYAAN:

Saya memiliki sebidang tanah yg diperoleh dari fasilitas pinjaman di tempat bekerja yg angsurannya langsung dipotong dari gaji. hingga surat ini dilayangkan pinjaman tersebut belum lunas. tanah tersebut disertifikatkan atas nama saya dan alm istri. dari perkawinan ini sempat lahir seorang anak namun meninggal beberapa jam setelah persalinan. alm istri masih punya ibu, 3 orang kakak laki laki dan seorang adik perempuan. bagaimanakah pembagian waris tanah tersebut mengingat cicilannya belum lunas? terima kasih.
Keterangan:
Isteri meninggal terlebih dulu beberapa jam, kemudian disusul oleh anak perempuan yang baru saja dilahirkan

JAWABAN:

Saudara penanya yang kami hormati.
Terima kasih sebelumnya telah berkunjung ke website kami.

Sebelum warisan dibagi, terlebih dahulu dipisahkan mana harta bawaan dan yang mana harta bersama. Adapun harta yang diperoleh selama masa perkawinan adalah harta bersama. Sesuai dengan bunyi pasal 1 huruf f KHI (Kompilasi Hukum Islam) : Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersam suami-isteri selam dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya sisebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun; pasal 35 ayat (1) UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan : Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
Membaca dari paparan tersebut, maka sebidang tanah yang saudara peroleh tersebut dinamakan harta bersama, namun karena masih kredit dan cicilannya belum lunas, maka yang dihitung sebagai harta bersama adalah nilai cicilan yang telah diangsur tersebut.
Hal tersebut serupa dengan permasalahan KPR. Mukhtar Zamzami (Mukhtar Zamzami, 2008, Beberapa Permasalahan Harta Bersama (Makalah), disampaikan pada Rakernas Mahkamah Agung R.I. di Jakarta tanggal 4-7 Agustus 2008, h.6.) memberikan solusi penyelesaian harta bersama dengan cara salah satu pihak dibebani membayar kepada pihak lain separoh dari jumlah uang angsuran yang telah dibayarkan. Dengan cara seperti ini berarti yang dipandang sebagai harta bersama adalah jumlah uang angsuran yang secara nyata telah dibayarkan kepada pihak ketiga dan masing-masing berhak atas separohnya. Selanjutnya bagi pihak yang dibebani membayar berhak mendapatkan rumah dengan kewajiban membayar sisa angsuran. Secara sepintas cara penyelesaian seperti ini adil dan praktis karena pihak yang memperoleh rumah, tinggal membayar kepada pihak lain, dan rumahpun akan menjadi miliknya. Namun cara ini dapat menimbulkan ketidakadilan apabila harga rumah pada saat terjadi perceraian sudah jauh lebih tinggi dibanding harga pada saat diperoleh, misalnya harga rumah pada saat diperoleh Rp.100.000.000,- sedangkan pada saat perceraian sudah mencapai Rp.200.000.000,-. Apabila angsuran yang sudah dibayar Rp. 50.000.000,- (50%), maka pihak yang menerima bayaran (misalnya isteri) hanya mendapat Rp.25.000.000,- atau mendapat 1/8 dari nilai rumah, padahal hak yang mestinya diterima sebesar ¼ bagian (½ x 50%). Cara pembagian seperti ini jelas sangat merugikan siteri dan sebaliknya sangat menguntungkan suami. Suami yang hanya bermodalkan Rp.100.000.000,- yaitu Rp.25.000.000 yang menjadi bagiannya + Rp.25.000.000,- yang dibayarkan kepada isteri + Rp.50.000.000,- sisa angsuran, tetapi suami mendapatkan rumah senilai Rp.200.000.000,-. Ini berarti suami mendapat keuntungan Rp. 100.000.000,-. Selain cara di atas, Mukhtar Zamzami juga menawarkan cara lain melalui dua alternatif yaitu: kedua pihak sepakat melunasi hutang dengan beban kewajiban masing-masing separoh dari jumlah hutang, atau diover-creditkan kepada orang lain kemudian hasil penjualannya dibagi dua, namun kedua cara ini oleh Muhtar Zamzami disyaratkan adanya kesepakatan kedua belah pihak sehingga bukan mutlak sebuah decision hakim.
Kembali kepada pokok permasalahan yang ditanyakan, nilai angsuran tanah tersebut terlebih dahulu dihitung, kemudian dibagi 2, satu bagian untuk suami sebagai bagian harta bersama, satu bagian lagi untuk alm. Isteri sebagai bagian harta bersama, harta bagian isteri inilah yang dijadikan sebagai harta peninggalan. Sebelum harta peninggalan dibagi, terlebih dahulu diselesaikan kewajiban-kewajiban sebagaimana diatur dalam pasal 175 KHI:
(1) Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah:
a. mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai;
b. menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan, termasuk kewajiban pewaris maupun penagih piutang;
c. menyelesaikan wasiat pewaris;
d. membagi harta warisan di antara wahli waris yang berhak.
(2) Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya.
Setelah kewajiban tersebut selesai, maka barulah harta peninggalan dibagi kepada yang berhak menerimanya. Kasus warisan di atas dalam bab waris disebut “munasakhah” yaitu. Harta warisan belum sempat dibagi, kemudian ada ahli waris yang meninggal. Maka cara pembagiannya adalah sebagai berikut:
Terlebih dahulu dibagikan harta warisan dari alm. Isteri kemudian dilanjutkan dengan pembagian harta dari alm. Anak

1. Cara pembagian harta peninggalan isteri.
Ketika isteri, meninggal, maka yang menjadi ahli warisnya adalah: suami, anak perempuan, dan ibu, maka pembagiannya adalah:
a. Suami mendapatkan 1/4.
Pasal 179 KHI: Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagian.
b. Anak perempuan mendapatkan 1/2
Pasal 176 KHI: Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anask perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.
c. Ibu mendapatkan 1/6
Pasal 178 ayat (1) KHI: Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian.
d. 3 saudara laki-laki dan 1 saudara perempuan terhijab (tidak mendapatkan bagian) karena ada anak. (Menurut Ijma Ulama bahwa saudara kandung terhalang oleh 3 orang, yaitu: anak, bapak dan cucu laki-laki dari anak laki-laki).
Untuk membagianya, terlebih dahulu Asal Masalah dijadikan 12.
a. Suami mendapatkan 3/12 bagian + bagian harta bersama
b. Anak perempuan mendapatkan 6/12 bagian
c. Ibu mendapatkan 2/12 bagian
(3+6+2 = 11). Karena angka pembilang (11) lebih kecil dari angka penyebut (12) sedangkan tidak ada ahli waris lain sebagai ashabah, maka berlaku rad. AM dijadikan 11, sehingga :
a. Suami mendapatkan 3/11 bagian + bagian harta bersama
b. Anak perempuan mendapatkan 6/11 bagian
c. Ibu mendapatkan 2/11 bagian
Sebagai ilustrasi, diumpamakan nilai cicilan tanah yang sudah dibayar tersebut berjumlah Rp.22.000.000,-, maka terlebih dulu dibagi 2. 11 juta untuk suami, dan 11 juta untuk alm isteri yang kemudian dibagikan kepada ahli warisnya, yaitu:
a. Suami mendapat 3/11 x Rp.11.000.000,- = Rp.3.000.000 + Rp. 11.000.000 (bagian harta bersama, sehingga ia mendapat Rp.14.000.000,-
b. Anak prempuan mendapatkan 6/11 x Rp.11.000.000,- = Rp.6.000.000,-
c. Ibu mendapat 2/11 x Rp. 11.000.000,- = Rp. 2.000.000,-

2. Cara pembagian harta peninggalan alm. Anak perempuan
Harta peninggalan anak tersebut adalah 6/11 (Rp.6.000.000,- / ilustrasi) yang dia dapatkan dari harta warisan alm. Ibunya. Ketika anak meninggal, maka yang menjadi ahli warisnya adalah: ayah (penanya) dan nenek (ibu dari alm.isteri penanya), maka pembagiannya adalah:
a. Nenek (ibu alm.isteri) mendapatkan 1/6 x Rp. 6.000.000,-= Rp.1.000.000,-
b. Ayah (penanya) sebagai ashabah atau mendapatkan 5/6 x Rp. 6.000.000,-= 5.000.000,-
Tiga saudara laki-laki dan satu saudara perempuan tidak mendapatkan warisan, karena terhalang oleh ayah (penanya).
Kesimpulan:
1. Penanya (sebagai ayah dan suami) mendapatkan Rp. 19.000.000,-
2. Ibu alm. Isteri mendapatkan Rp. 3.000.000,-
19.000.000 + 3.000.000 = 22.000.000,- (Ilustrasi cicilan yang telah diangsur)

Selanjutnya untuk sisa cicilannya dimusyawarahkan siapa yang melanjutkan cicilan tersebut, apabila tanah tersebut sudah lunas, maka akan menjadi hak penuh oleh pihak yang menyelesaikan cicilan tersebut.
Untuk mendapatkan kekuatan hukum yang mengikat, maka perkara ini harus diajukan ke Pengadilan Agama.

Demikian jawaban dari kami.
Atas kesalahan dan kekurangannya, kami mohon maaf
Semoga bermanfaat
Wassalam
Admin

Tags: , , ,
Copyright 2021. All rights reserved.

Posted February 5, 2014 by Admin in category "Hukum Perdata Agama", "Kewarisan

Comments on Facebook