June 19

Karakteristik Hukum Islam

KARAKTERISTIK HUKUM ISLAM

Oleh: Rasyid Rizani, S.HI., M.HI

(Hakim pada Pengadilan Agama Bajawa – NTT)

Abstrak

Memfokuskan perhatian terhadap suatu karakter hukum islam tidaklah mudah bila kesan pertama yang harus ditunjukkan adalah berpikir objektif. Walaupun harus diakui, realitas subyektifitas pemahaman terhadap karakter bergantung dari sudut mana orang menilainya. Seperti hal seseorang memperhatikan karakter manusia, ia akan menilai karakter-karakter umum pada manusia dan yang khusus pada masing-masing. Demikian juga akan terjadi pada penilaian orang terhadap karakter hukum apapun juga termasuk menyangkut karakter hukum Islam.

Karakter untuk suatu pengertian yang umum dan bebas adalah ciri khas tertentu yang memungkinkan perbedaan dengan yang lainnya. Oleh karena ciri khas dapat dipastikan beberapa yang menyifatinya menunjuk karakter yangs esungguhnya dari hukum Islam. Landasan picu untuk menyatakan suatu karakter hukum adalah data faktual menyangkut hukum Islam, di samping keterikatan bahasan-bahasan dimaksud banyak bersifat abstrak sesuai dengan model filsafat hukum Islam.

 

PEMBAHASAN

 

Karakteristik Hukum Islam itu dapat dijabarkan sebagai berikut :

A.      Ijmali (Universalitas)

Ajaran Islam bersifat universal, ia meliputi seluruh alam tanpa tapal batas. Ia berlaku bagi orang Arab dan orang ‘Ajam (non Arab), kulit putih dan kulit hitam. Di samping bersifat universal atau menyeluruh, hukum Islam juga bersifat dinamis (cocok untuk setiap zaman).[1] Misalnya pada zaman modern ini kita tidak menemukan secara tersurat dalam sumber hukum Islam (Al-Qur’an dan Hadits) mengenai masalah yang sedang berkembang pada abad 20 ini, tetapi dengan menggunakan metode ijtihad, baik itu qiyas dan sebagainya kita bisa mengleuarkan istinbath hukum dari hukum yang telah ada dengan mengambil persamaan illatnya. Ini berarti hukum Islam itu dapat menjawab segala tantangan zaman. Sebenarnya hukum pada setiap perkembangan zaman itu sudah tersirat dalam Al-Qur’an dan hanya kita sebagai manusia apakah bisa menggunakan akal kita untuk berijtihad dalam mengambul suatu putusan hukum tersebut.

Bukti yang menunjukkan bahwa hukum Islam memenuhi sifat dan karaktersitik tersebut terdapat dalam Al-Qur’an yang merupakan garis kebijaksanaan Tuhan dalam mengatur alam semesta termasuk manusia.[2] Firman Allah SWT ;

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Artinya :

Dan Kami (Allah) tidak mengutsu kamu (Muhammad) melainkan kepada umat manusia seluruhnya untuk membawa berita gembira dan berita peringatan. Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. Saba: 28).

Konstitusi Negara Muslim pertama, Madinah, menyetujui dan melindungi kepercayaan non Muslim dan kebebasan mereka untuk mendakwahkan. Konstitusi ini merupakan kesepakatn antara Muslim dengan Yahudi, serta orang-orang Arab yang bergabung di dalamnya. Non Muslim dibebaskan dari keharusan membela negara dengan membayar jizyah, yang berarti hak hidup dan hak milik mereka dijamin. Istilah zimmi berarti orang non Muslim dilindungi Allah dan Rasul, kepada orang-orang non Muslim itu diberikan hak otonomi yudisial tertentu. Warga negara dan ahli kitab dipersilahkan menyelenggarakan keadilan sesuai dengan apa yang Allah wahyukan. Rasulullah SAW sendiri bersabda : “Aku sendiri yang akan menyanya, pada hari kiamat, orang yang menyakiti orang zimmi atau memebrinya tanggung jawab yang melebihi kemampuannya atau merampok yang menjadi haknya.”[3]

Kemudian pemahaman keuniversalan hukum Islam juga terletak pada segi efektifitasnya hukum yang diberlakukan, bahwa kewajiban moral hukum yang dicanangkan adalah untuk segenap manusia. Pertama untuk alasan demikian, syari’at diturunkan untuk seluruh umat manusia sebagai rahmat bagi mereka. Mereka yang tidak memperdulikan syari’at Islam akan bertanggung jawab diakhirat nanti. Firman Allah SWT :

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Artinya :

Dan Kami (Allah) tidak mengutus kamu (Muhamamad) kecuali untuk menjadi rahmat untuk sekalian alam. (QS. AL-Anbiya: 107).

وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ

Artinya :

Barangsiapa yang mengabaikan perintah Allah dan Rasul-Nya dan melampaui batas-batas (larangan-Nya) niscaya Allah memasukkan mereka ke dalam neraka serta kekal di dalamnya dan untuknya siksa yang menghinakan. (QS. An-Nisa: 14)

Untuk memperhatikan keuniversalan hukum Islam itu minimal dari 3 segi, yaitu :

a.       Menyangkut pemberlakuan hukum bagi para subjek hukum yang berkesan kepada keadilan universalnya tanpa dibedakan kaya ataupun miskin, antara manusia biasa bahkan terhadap seorang Nabi atau utusan Tuhan sendiri berlaku hukum.

b.      Dari segi kemanusiaan yang universal, dan

c.       Dari segi efektivitas hukum bagi seluruh manusia dengan segala dampak yang ditimbulkannya adalah untuk seluruh manusia pula.[4]

B.      Tafshili (Partikularitas)

Hukum Islam itu mencerminkan sejumlah doktrin yang bertalian secara logis. Beberapa lembaganya saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Perintah shalat dalam Al-Qur’an senantiasa diiringi dengan perintah zakat. Berulang-ulang Allah SWT berfirman: “makan dan minumlah kamu, tetapi jangan berlebih-lebihan.”

Dari ayat diatas dipahami bahwa Islam tidak mengajarkan spiritual yang mandul. Dalam hukum Islam manusia dieprintahkan mencari rezeki, tetapi hukum Islam melarang sifat imperial dan kolonial ketika mencari rezeki tersebut.

Memahami realitas karakter partikularistik hukum Islam merupakan bagian yang tak terpisahkan pada pemahaman universal pada hukum Islam. Bila pada keuniversalan hukum Islam berlaku 3 segi, maka dalam karakteristik ini juga berlaku 3 segi pemahaman, yaitu :

1.       Bila ditinjau menyangkut pemberlakuan hukum terhadap para subjek hukum tanpa dibedakan status seseorang, kaya atau miskin dan seterusnya untuk suatu karakter unversalitas hukum, maka atas dasar keadilan pula hukum Islam memberlakukan hukum yang khusus demi kesebandingan penjeratan sanksi hukum atas subjek hukum. Berdasarkan keuniversalan pemberlakuan hukum, seorang pezina siapapun ia dan status bagaimanapun tetap mendapatkan sanksi hukum. Namun, pelaku zina yang telah kawin  sanksi hukumnya adalah rajam sedangkan yang belum pernah kawin, maka sanksi hukumnya adalah didera 100 kali dan diasingkan selama 1 tahun. Sedang bagi para budak yang melakukan zina, maka sanksinya ½ dari orang yang merdeka. Dengan demikian, hukum Islam memberlakukan secara universal kepada setiap orang, namun dalam pemberlakuannya terjadi penjeratan hukum secara khusus dengan pemberlakuan partikularistik bagi pelaku hukum.

2.       Bila hukum Islam memiliki karakter sesuai dengan perhatian manusia sepanjang sejarah manusia dalam mencipatakan hukum atau yang disebut dengan kemanusiaan yang universal, maka hukum Islam juga memiliki hukum kemanusiaan partikular. Misalnya larangan orang Islam kawin dengan orang bukan islam, berlakunya hukum-hukum ibadah secara rinci, larangan judi dan minum khamar dan lain sebagainya. Hukum-hukum ini memiliki karakteristik yang partikular karena tidak lazim dalam norma hukum yang berkembang dalam sejarah peradaban hukum manusia. Oleh karenanya ia disebut dengan hukum kemanusiaan yang partikular.

3.       Bila ditinjau dari berlakunya efektivitas hukum secara umum adalah berlaku untuk setiap manusia yang daripadanya terlihat keuniversalannya maka hukum-hukum lainnya tidak lagi melihat subjek hukum sebagai manusia umumnya, tetapi terhadap manusia yang telah dianggap patuh menjalankan hukum Islam. Misalnya hukum perkawinan Islam, maka daripadanya berlaku hukum talak 3 kali, khulu’ bagi isteri terhadap suami, ila’, li’an, zihar, dan lain-lain diberlakukan bagi orang yang telah tunduk menjalankan hukum Islam dimulai sejak akad perkawinannya secara atau berdasarkan hukum Islam. Jadi orang yang status perkawinannya tidak berdasarkan hukum Islam tidak berlaku pula hukum-hukum yang menyangkut perkawinan dalam hukum Islam. Dalam kasus seperti demikian, hukum berkarakter partikular karena hanya menunjuk pada manusia tertentu saja.[5]

C.      Harakah (Elastisitas)

Hukum Islam bersifat elastis (lentur, luwes), ia meliputi segala bidang dan lapangan kehidupan manusia. Permasalahan kemanusiaan, kehidupan jasmani dan rohani, hubungan sesama makhluk, hubungan makhluk dengan Khalik serta tuntutan hidup dunia dan akhirat terkandung dalam ajarannya. Hukum Islam memperhatikan berbagai segi kehidupan, baik di bidang ibadah, muamalah, jinayah dan lain-lain. Ia tidak memiliki dogma yang kaku, keras dan memaksa, ia hanya memberikan kaidah-kaidah umum yang mesti dijalankan oleh umat manusia. Hak ijtihad diberikan kepada setiap muslim yang mampu berijtihad dan berpedoman kepada dasar-dasar kaidah byang telah ditetapkan.

Ada 2 segi yang dapat dibentangkan secara faktual menyangkut argumentasi mengapa hukum Islam memiliki karakter elastis (harakah), yakni :

1.       Menyangkut masalah hukum dalam memberi beban taklif kepada subjek hukum (mukallaf).

Penetapan-penetapan hukum bagi para subjek hukum selalu memperhitungkan kondisi-kondisi khusus subjek hukum dalam menjalankan hukum mereka. Setiap diberlakukannya suatu hukum bagi mukallaf (subjek hukum) diberlakukan pula hukum-hukum pengecualian atau keringanan (azimah dan rukhshah). Perhitungan terhadap kondisi-kondisi seperti itu mencakup 3 kategori yaitu :

a.       Kondisi dari subjek hukum sendiri berupa kondisi uzur, seperti perintah shalat tepat waktu (muassa) dapat dikerjakan secara gabungan (jamak takdim atau ta’khir), dan lain sebagainya.

b.      Disebabkan oleh orang lain seperti berlakunya hukum qishas bagi pembunuh dapat diganti dengan hukum diyat bila keluarga korban memaafkan tindakan pidana tesrebut.

c.       Kondisi situasional dimana keadaan sangat luar biasa seperti kelaparan membolehkan ia memakan binatang yang diharamkan selama tidak melampaui batas dan aniaya.

2.       Segi hukum dalam merespons atau menyikapi perkembangan zaman dan perubahan sosial. Ada 2 argumentasi yang dapat dikategorikan keelastisan hukum Islam dalam kondisi yang dimaksud seperti ini, yakni :

a.       Berdiri tegaknya hukum Islam melewati hasil-hasil produk ijtihadiyah demi menanggapi perkembangan zaman dan perubahan sosial.

b.      Kondisi hukum Islam sendiri pada umumnya merespons perkembangan zaman dan perubahan sosial pada masa turunnya Al-Qur’an. Berlakunya hukum talak untuk memperbaiki hukum perceraian pada masa itu.

D.      Akhlak (Etistik)

Dimensi akhlak dimasukkan sebagai karakter hukum Islam didasarkan pada beberapa alasan sebagai berikut :

1.       Hukum Islam dibangun berdasarkan petunjuk wahyu (Ql-Qur’an) yang dikembangkan melalui kehidupan Nabi SAW (AS Sunnah) dan ijtihadiyah.

2.       Segala peraturan hukum Islam memproyeksikan pada 2 bagian peraturan yakni pengaturan tentang tindakan hubungan dengan Allah yang daripadanya lahir hukum-hukum ibadah dan pengaturan menyangkut tindakan antar sesama manusia atau dengan makhluk lain (lingkungannya).

Lebih jauh lagi, bentuk karakter akhlak pada hukum Islam dapat disarikan dalam beberapa ilustrasi sebagai berikut :

1.       Hukum dalam pembinaan mental spiritual manusia maka diberlakukan hukum-hukum ibadah agar hubungan manusia dengan Tuhannya terbina dengan baik dan diharapkan memiliki efek sosial yang baik bagi lingkungannya.

2.       Pembinaan akhlak untuk memelihara keturunan maka diberlakukan hukum larangan zina.

3.       Pembinaan pada etika pergaulan antara lelaki dan perempuan diberlakukan hukum berpenampilan (tabarruj) antar mereka agar masing-masing mereka menundukkan pandangan.

4.       Pendidikan akhlak agar memelihara harta maka diberlakukan larangan judi.

5.       Pendidikan moral etika ekonomi maka diberlakukan hukum larangan melakukan riba atau perbuatan mengambil harta dengan jalan batils eperti merampok, penipuan ataupun penggelapan.

6.       Pembinaan keluarga harmonis agar mereka tidak ditinggalkan dalam keadaan dan kehidupan yang lemah diberlakukan hukum hadhanah dan larangan mengabaikan pendidikannya sehingga ditetapkan hukum perwalian maupun larangan segala bentuk pengabaian kehidupannya sehingga menelantarkannya.

7.       Pembinaan etika – moral kehidupan bermasyarakat dan bernegara sehingga diberlakukan hukum kewajiban untuk taat kepada pemimpin, membela negara dengan jihad bila dieprlukan.

8.       Pembinaan etika agar masyarakat takut melanggar hukum diberlakuakn sanksi-sanksi hukum pidana berupa hukum hudud dan ta’zir.

9.       Pembinaan etika untuk tidak menyakiti makhluk lain maka diberlakukan hukum menyangkut adab penyembelihan terhadap binatangs eperti keharusan dengan alat yang tajam ketika menyembelihnya ataupun larangan pembunuhan terhadap binantang tertentu.

10.   Pembinaan etika dalam memelihara apa yang dikonsumsi tubuh manusia maka diberlakukan hukum kewajiban untuk memakan barang yang halal dan tayyibah dan mengharamkan yang buruk sehingga dirincikan binatang yang tidak baik dikonsumsi.[6] 

E.       Tahsini (Estetik)

Pengertian yang lazim untuk estetik adalah keindahan. Pesan dasar yang bisa ditangkap dari makna khusus bahwa keindahan didudukkan pada kualitas kebaikan (maslahat) yang tertinggi. Paling tidak dalam pengertian literal tahsiniyah adalh puncak kebaikan yang dituju pada maslahat atau puncak moral.

Dalam hukum-hukum ibadah juga nampak berlakunya karakter etestik hukum Islam. Secara umum para subjek diberlakukan hukum-hukum wajib ibadah seperti shalat 5 waktu, puasa ramadhan, zakat dan naik haji, akan tetapi hukum memberikan pula pilihan-pilihan yang lebih baik agar para subjek hukum melaksanakan ibadah-ibadah anjuran seperti shalat sunnat yang beragam macam, I’tikaf di mesjid, puasa sunnat dan sadaqah.

Karakter hukum Islam yang bersifat estetik banyak ditemukan dalam berbagai lapangan hukum Islam. Minimal menyangkut berlakunya hukum sunnat di antara panca ajaran hukum (Ahkamu al Khamsah) tidak lain merupakan tahsiniyah (estetik) maslahat hukum.[7]

 

KESIMPULAN

Dari uraian pada Bab II sebelumnya dapat diambil beberapa kesimpulan mengenai karakteristik hukum Islam itu antara lain :

1.       Ijmali (Universalitas) dan dinamis, ia meliputi seluruh alam tanpa tapal batas. Ia berlaku bagi orang Arab dan orang ‘Ajam (non Arab), kulit putih dan kulit hitam. Pemahaman keuniversalan hukum Islam juga terletak pada segi efektifitasnya hukum yang diberlakukan, bahwa kewajiban moral hukum yang dicanangkan adalah untuk segenap manusia. Untuk memperhatikan keuniversalan hukum Islam itu minimal dari 3 segi, yaitu :

a.       Menyangkut pemberlakuan hukum bagi para subjek hukum yang keadilan universalnya tanpa ada perbedaan.

b.      Dari segi kemanusiaan yang universal.

c.       Dari segi efektivitas hukum bagi seluruh manusia dengan segala dampak yang ditimbulkannya adalah untuk seluruh manusia pula.

2.       Tafshili (Partikularitas), dalam karakteristik ini berlaku 3 segi pemahaman, yaitu :

a.       Atas dasar keadilan pula hukum Islam memberlakukan hukum yang khusus demi kesebandingan penjeratan sanksi hukum atas subjek hukum. Hukum Islam memberlakukan secara universal kepada setiap orang, namun dalam pemberlakuannya terjadi penjeratan hukum secara khusus dengan pemberlakuan partikularistik bagi pelaku hukum.

b.      Hukum Islam memiliki hukum kemanusiaan partikular. Misalnya larangan orang Islam kawin dengan orang bukan islam, berlakunya hukum-hukum ibadah secara rinci, larangan judi dan minum khamar dan lain sebagainya.

c.       Bila ditinjau dari berlakunya efektivitas hukum secara umum adalah berlaku untuk setiap manusia yang daripadanya terlihat keuniversalannya maka hukum-hukum lainnya tidak lagi melihat subjek hukum sebagai manusia umumnya, tetapi terhadap manusia yang telah dianggap patuh menjalankan hukum Islam. Hukum berkarakter partikular karena hanya menunjuk pada manusia tertentu saja.

3.         Harakah (Elastisitas), ia meliputi segala bidang dan lapangan kehidupan manusia. Permasalahan kemanusiaan, kehidupan jasmani dan rohani, hubungan sesama makhluk, hubungan makhluk dengan Khalik  dan lain sebagainya. Ada 2 segi yang dapat dibentangkan secara faktual menyangkut argumentasi mengapa hukum Islam memiliki karakter elastis (harakah), yakni :

a.       Menyangkut masalah hukum dalam memberi beban taklif kepada subjek hukum (mukallaf).

b.      Segi hukum dalam merespons atau menyikapi perkembangan zaman dan perubahan sosial.

4.         Akhlak (Etistik)

Dimensi akhlak dimasukkan sebagai karakter hukum Islam didasarkan pada beberapa alasan sebagai berikut :

a.       Hukum Islam dibangun berdasarkan petunjuk wahyu (Ql-Qur’an) yang dikembangkan melalui kehidupan Nabi SAW (AS Sunnah) dan ijtihadiyah.

b.      Segala peraturan hukum Islam memproyeksikan pada 2 bagian peraturan yakni pengaturan tentang tindakan hubungan dengan Allah yang daripadanya lahir hukum-hukum ibadah dan pengaturan menyangkut tindakan antar sesama manusia atau dengan makhluk lain (lingkungannya).

5.         Tahsini (Estetik)

Dalam hukum-hukum ibadah juga nampak berlakunya karakter etestik hukum Islam. Secara umum para subjek diberlakukan hukum-hukum wajib ibadah seperti shalat 5 waktu, puasa ramadhan, zakat dan naik haji, akan tetapi hukum memberikan pula pilihan-pilihan yang lebih baik agar para subjek hukum melaksanakan ibadah-ibadah anjuran seperti shalat sunnat yang beragam macam, I’tikaf di mesjid, puasa sunnat dan sadaqah.

DAFTAR BACAAN

 

Djamil, Fathurrahman, DR. MA, 1999, Filsafat Hukum Islam, Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1999.

 

Harjono, Anwar, Dr, Hukum Islam Kekuasaan dan Keagungannya, Jakarta: Bulan Bintang.

 

Muslehuddin, Muhammad, Dr, 1980, Philoshopy of Islamic Law and The Orientalis, Lahore: Islamic Publication Ltd.

 

Sarmadi, A. Sukris, MHi, 2007, Membangun Refleksi Nalar Filsafat Hukum Islam Paradigmatik, Yogyakarta : Pustaka Prima.

 


[1]Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 49.

[2]Anwar Harjono, Hukum Islam Kekuasaan dan Keagungannya, (Jakarta: Bulan Bintang, tt), h. 113

[3]Muhammad Muslehuddin, Philoshopy of Islamic Law and The Orientalis, (Lahore: Islamic Publication Ltd, 1980), cet. II, h. 277 – 278

[4]A. Sukris Sarmadi, Membangun Refleksi Nalar Filsafat Hukum Islam Paradigmatik, (Yogyakarta : Pustaka Prima, 2007), h. 108 – 109.

[5]Ibid, h. 109 – 111

[6]Ibid, h. 114 – 115

[7]Ibid, h. 117 – 118

Tags: ,
Copyright 2021. All rights reserved.

Posted June 19, 2013 by Admin in category "Filsafat Hukum Islam

Comments on Facebook