Teori Niat dalam Ushul Fiqih
TEORI NIAT DALAM USHUL FIQIH
Oleh : Rasyid Rizani, S.HI., M.HI
(Hakim pada Pengadilan Agama Bajawa NTT)
A. PENDAHULUAN
Niat yang yang terkandung dalam hati sanubari seseorang sewaktu melakukan amal perbuatan menjadi kriteria yang menentukan nilai dan status hukum amal yang dilakukannya. Apakah nilai dari perbuatan itu sebagai amal syariat atau perbuatan kebiasaan dan apakah status hukumnya. Jika ia sebagai amal syariat, wajib atau sunat atau lain sebagainya ditentukan oleh niat pelakunya. Tujuan utama disyariatkannya niat adalah untuk membedakan antara perbuatan-perbuatan ibadat dengan perbuatan adat dan untuk menentukan tingkatan ibadat satu sama lain. Para fuqaha berbeda pendapat dalam mendudukkan niat. Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal mendudukkan niat sebagai syarat perbuatan. Sedang Imam Syafii mendudukkannya sebagai rukun perbuatan. Syarat adalah ketentuan yang harus dilakukan mukallaf sebelum terjadinya perbuatan sedang rukun adalah ketentuan yang harus dilakukan bersama dengan perbuatan. Akibat dari perselisihan tersebut akan membawa dampak hukum.
Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi menyatakan bahwa waktu niat adalah dipermulaan ibadah. Sedang tempatnya di dalam hatiyang bersamaan dengan perbuatan.[1] Al-Baidhawi menyatakan bahwa niat merupakan ungkapan yang membangkitkan kehendak hati tentang apa yang dilihatyang bertujuan untuk menarik manfaat dan menolak kerusakan serta untuk mencari ridha Allah SWT.[2] Pada dasarnya ibadah itu ada yang membutuhkan niat dan ada pula yang tidak karena sudah menjadi amaliyah adat.
Pada makalah ini saya mencoba membahas tentang bagaimana sebenarnya eksistensi niat itu hubungannya dengan ibadat, apakah setiap perbuatan itu harus disertai dengan niat supaya bernilai ibadat atau tidak karena sudah menjadi amalan kebiasaan.
B. HAL-HAL YANG BERKENAAN DENGAN NIAT
1. Pengertian, Dasar dan Tujuan Niat
Secara bahasa niat berarti maksud (al-Qashd).[3] Sedangkan Syihab al-Din dan ‘Umayrah berpendapat bahwa niat secara bahasa berarti al-‘azm atau al-qashd.[4] Niat secara istilah adalah :
Termasuk mengerjakan sesuatu disertai dengan pelaksanaannya.[5]
Dasar Alquran mengenai niat ini adalah firman Allah SWT :
Tujuan utama disyariatkannya niat adalah untuk membedakan antara ibadat dengan adat (kebiasaan), dan untuk membedakan tingkatan ibadat antara satu dengan yang lainnya.[6] Misalnya, seseorang yang tinggal di Mesjid, ini mempunyai 2 kemungkinan, apakah I’tikaf atau hanya numpang istirahat. I’tikaf harus disertai dengan niat agar mendapat pahala dari Allah SWT bagi yang melakukannya, sedangkan untuk istirahat tidak perlu niat, dan karena itulah pelaku tidak mendapatkan pahala. Hanafiah mengatakan :
Tidak ada ganjaran kecuali dengan niat..[7]
2. Tempat dan Waktu Niat
Hakikat niat adalah bermaksud atau menyengaja, maka tempatnya adalah di dalam hati. Menurut pendapat lain, niat adalah bermaksud di hati dan dibarengi dengan perbuatan. Oleh karena itu sesuatu yang diniatkan dalam hati tetapi tidak dilaksanakan oleh indera belum termasuk niat. Misalnya seseorang yang berniat pergi ke mesjid ingin shalat, kalau menurut pendapat yang pertama, itu sudah termasuk niat, karena sudah menyengaja di dalam hati, tetapi menurut pendapat yang kedua, itu bukanlah termasuk ke dalam niat tetapi hanya sebuah cita-cita, yaitu berkeinginan untuk shalat. Apabila keinginan itu kemudian disertai dengan perbuatan, maka itulah yang dinamakan dengan niat.
Akibat dari perbedaan tersebut adalah timbulnya 2 pendapat. Ada ulama yang mengatakan bahwa niat cukup di hati dan ada lagi yang berpendapat bahwa niat harus diucapkan dengan lisan.[8]
Ibnu Taimiyah mengutip bahwa ulama syariat sepakat, niat itu letaknya dalam hati tidak cukup hanya diucapkan dengan lisan.[9]
Secara umum, perbuatan yang berkaitan dengan syara’ dapat dibedakan menjadi 2, yaitu perbuatan yang mengharuskan adanya niat dan perbuatan yang tidak memerlukan niat.
Untuk kategori yang pertama dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu niat yang harus dilakukan di awalsebelum berbuat dan niat yang dilakukan ketika berbuat. Berikut ini ada beberapa pendapat ulama tentang itu :
a. Malikiyah berpendapat bahwa mendahulukan niat untuk bersuci adalah boleh. Sedangkan yang lainnya berpendapat bahwa niat bersuci dan shalat harus berbarengan (ketika takbir al-ihram), tidak boleh di awal dan di akhirkan.
b. Niat zakat boleh dilakukan sebelum benda zakat diserahkan kepada orang yang berhak menerimanya (pendapat jumhur ulama: Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah). Sebagain ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa niat zakat wajib dilakukan berbarengan dengan penyerahan benda zakat.
c. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mewajibkan berniat puasa pada malam hari (sebelum puasa Ramadhan); Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa niat puasa boleh dilakukan pada malam hari sebelum puasa Ramadhan, atau berbarengan ketika mulai puasa (waktu fajar, menjelang subuh), bahkan boleh mengakhirkannya hingga tengah hari (sebelum waktu zuhur) baik puasa wajib maupun sunat. Sedangkan Malikiyah berpendapat bahwa niat puasa wajib didahulukan (sebelum waktu subuh), baik puasa wajib maupun sunat.
d. Jumhur ulama berpendapat bahwa niat qadha, nadzar, dan kifarat tidak boleh diakhirkan.
e. Niat berkorban boleh didahulukan sebelum menyembelih, dan tidak diwajibkan iqtiran niat berkurban ketika menyembelih.[10]
3. Syarat-Syarat Niat
Jalaluddin al-Suyuthi menentukan 4 syarat niat, yaitu :
a. Islam. Karena itu ibadah orang kafir adalah batal karena tidak memeluk agama Islam.
b. Tamyiz. Karena tamyiz adalah syarat dari niat, maka ibadah orang gila tidak sah.
c. Al-‘Ilm bi al-Manwi. Orang yang tidak mengetahui apa yang ia maksudkan niatnya tidak sah.
d. Al-la ya’ti bi manaf. Bila orang murtad sedang melakukan shalat, puasa atau haji, ibadahnya termasuk batal, karena murtad merusak amal.[11]
C. KAIDAH-KAIDAH USHUL FIKIH TENTANG NIAT
Aliran Hanafi menggunakan 2 kaidah asasi yang berkenaan dengan niat, yaitu :
لاثواب إلا بالنية
Tidak ada pahala bagi pekerjaan yang dilakukan tidak dengan niat.
الامور بمقاصدها
“Segala urusan tergantung pada tujuannya”.
Sedangkan aliran Syafi’i hanya menggunakan satu kaidah asasi dalam membahas niat, yaitu :
الامور بمقاصدها
“Segala urusan tergantung pada tujuannya”.
Niat yang terkandung dalam hati sanubari sesorang sewaktu melakukan amal perbuatan menjadi kriteria yang menentukan nilai dan status amal yang dilakukannya.
1. Sumber Pengambilannya.
Yang menjadi dasar qaidah ini adalah :
a. Firman Allah SWT :
ومن يرد ثواب الدنيا نؤته منها ومن يرد ثواب الاخرة نؤته منها وسنجزى الشاكرين. ( ال عمران : 145 ).
“Barangsiapa menghendaki pahala dunia Kami berikan pahala itu dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat Kami berikannya pahala itu. Dan Kami akan memberikan balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (QS. Ali Imran : 145).
b. Sabda Rasulullah SAW:
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ مانوى , فمن كانت هجرته الى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله. ( الحديث ).
“Amal-amal itu hanyalah dengan niat. Bagi setiap orang hanyalah memperoleh apa yang diniatkannya. Karena itu barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya…. Dan seterusnya (HR. Bukhari dan Muslim).
Kata Imam Abu Ubaidah : “Tak ada satu hadits yang lebih kaya dan banyak faedahnya daripada hadits niat”.
Imam Asy-Syafi’i, Ahmad, Abu daud, Ad-Duruquthni dan lainnya sepakat menetapkan bahwa hadits niat itu menempati sepertiga dari seluruh ilmu pengetahuan Islam.
Niat sekalipun tidak dibarengi dengan perbuatan masih dianggap lebih baik daripada perbuatan yang tidak dibarengi niat. Sabda Rasulullah SAW :
نية المؤمن خير من عمله ( رواه الطبرانى ).
“Niat orang Mu’min itu lebih baik daripada amal perbuatannya saja (yang kosong dari niat). (HR. Ath-Thabrani).
2. Masalah Fiqhiyah Yang Kembali Kepadanya.
Hampir seluruh masalah fiqihiyah kembali kepada qaidah ini akan ketergantungannya kepada adanya niat. Misalnya :
a. Dalam bidang ibadat : pada bab thaharah, fasal wudhu, mandi, baik mandi wajib maupun mandi sunat, dan tayamum.
Shalat dengan segala jenisnya, apakah wajib, sunat, rawatib, qashar, jama’, berjama’ah atau munfaridah dan lain sebagainya; zakat dan sadaqah tathaw’u.
Haji, dan umrah, thawaf baik fardhu, wajib maupun sunat, tahalul, tamattu’, sa’i, wuquf, dan lain sebagainya.
b. Dalam bidang munakahat : apabila ditujukan untuk menegakkan sunah da menjauhi perbuatan mesum atau berkeinginan memperoleh anak yang shalih.
c. Dalam bidang muamalat atau segala macam hukum perjanjian, seperti ; jual beli, hibah, waqaf, perburuhan, sewa-menyewa, dan lain-lain.
d. Dalam bidang jinayat dalam bab-bab pembunuhan, baik pembunuhan sengaja, mirip sengaja, maupun karena khilaf, qishash, pencurian dan lain sebagainya.
e. Dalam bidang qadha’ (peradilan) pada bab-bab persaksian, penjatuhan hukuman dan lain sebagainya.
3. Beberapa Kaidah Cabang Dari Kaidah Ini
a. لاثواب إلا بالنية ( tidak ada pahala selain dengan niat ).
Selama perbuatan-perbuatan itu tidak dianggap baik atau buruk jika tanpa niat dari pelakunya, maka amal itu tidak akan memperoleh pahala selama tidak diniatkan yang baik. Ketetapan semacam ini telah disepakati para ulama.
b. مايشترط فيه التعيين فالخطأ فيه مبطل
(Dalam amal perbuatan yang disyaratkan menyatakan niat, maka kekeliruan pernyataannya membatalkan amalnya ).
Mislanya :
1) Kekeliruan sembahyang zuhur dengan sembahyang ashar.
2) Dalam sembahyang idul firi dengan idul adha
3) Dalam sembahyang rawatib zuhur dengan rawatib ashar
4) Dalam sembahyang dua raka’at ihram dengan sembahyang dua raka’at thawaf dan sebagainya.
5) Dalam berpuasa ‘arafah dengan puasa ‘asyura, dan sebagainya.
c. ما يشترط التعرض له جملة ولايشترط تعيينه تفصيلا إذا عينه وأخطأ ضر
(Perbuatan yang secara keseluruhan diharuskan niat tetapi secara terperinci tidak diharuskan niatnya, maka jika dinyatakan niatnya dan ternyata keliru, berbahaya )
Misalnya :
Rifky bersembahyang jama’ah dengan niat ma’mum kepada Riza, ternyata orang yang menjadi imamnya bukan Riza, tetapi Jawir. Shalat jama’ah Rifky tersebut tidak sah. Sebab keimamahannya telah digugurkan oleh Jawir sedang niat kema’mumannya telah digugurkan oleh Riza, lantaran berma’mumnya kepada Jawir tanpa diniatkan. Menyatakan siapa imamnya dalam sembahyang jama’ah tidak disyaratkan, tetapi yang disyaratkan adalah niatnya berjama’ah.
d. ما لا يشترط التعرض له جملة ولا تفصيلا إذا عينه وأخطأ لم يضر
(Perbuatan yang secara keseluruhan, maupun secara terperinci tidak disyaratkan mengemukakan niat, bila dinyatakan dan ternyata keliru, tidak berbahaya ).
Misalnya :
Riza bersembahyang ashar dengan menyatakan niatnya bersembahyang di Masjid IAIN Antasari Banjarmasin, padahal ia bersembahyang di kost gang 7 Bina Brata, sembahyang Riza tersebut tidak batal. Sebab niat sembahyangnya sudah dipenuhi dan benar sedang yang keliru adalah pernyataan tentang tempatnya, kekeliruan tentang pernyataan tempat sembahyang tidak ada hubungannya dengan shalat baik secara garis besarnya maupun secara terperinci.
e. مقاصد اللفظ على نية اللافظ
( maksud Lafazh itu tergantung pada niat orang yang mengatakannya )
Misalnya :
1) Rifky memanggil isterinya yang bernama Maria Mahbub Ath-Thaliq (Maria tercinta yang tertalak), maka jika memanggilnya tersebut diniatkan untuk mentalak isterinya tercapailah maksudnya. Tetapi jika niat Rifky hanya memanggil belaka, maka tidak jatuh talaknya.
2) Riza sedang shalat maghrib, dan kebetulan ia membaca ayat :
ادخلوها بسلام امنين
Pada saat Riza membaca ayat tersebut, Rifky mengetuk pintu, maka jika niat Riza hanya mengucapkan / membaca ayat Al-Qur’an tersebut dan tidak ada maksud lain, maka diperbolehkan. Tetapi jika maksud Riza menyuruh Rifky masuk dengan mengucapkan salam, maka shalatnya batal.
DAFTAR PUSTAKA
Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, Al-Asyba’ wa An Nazhair, (Indonesia: Syirkah Nur Asia, tt), h. 17
Abi Ishaq Ibn Ibrahim Ibn Ali Ibn Yusuf al-Fairuz Abadi al-Syirazi, al-Muhadzdzab fi Fiqh Madzhab al-Imam al-Syafi’i, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h. 22
Syihab al-Din dan al-Qaylubi dan ‘Umayrah, Qalyubi wa ‘Umayrat, (Indonesia: Dar al-Ijya Kutub al-‘Arabiyah, t.t) Juz I, h. 45
Ibrahim al-Bajuri, Hasiyat al-Bajuri, (Semarang: Usaha Keluarga, t.t), Juz I, h. 47
Abd Allah Ibn Sa’id Muhammad ‘Ibadi al-Lahji al-Hadhrami al-Syahri, al-Idhah al-Qawa’id al-Fiqhiyyat, (Jeddah: al-Harmain, t.t), h. 13
Zain al-‘Abidin Ibn Ibrahim Ibn Nujaim, al-Asybah wa al-Nazhair ‘ala Madzhab Abi Hanifah al-Nu’man, (Kairo: Mu’assasah al-Halabi wa Syirkah, 1968), h. 20
Muhammad Shidqi Ibn al-Burnu, al-Wajiz fi Idhah al-Fiqh al-Kuliyyat, (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1983), h. 63-64
[1]Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, Al-Asyba’ wa An Nazhair, (Indonesia: Syirkah Nur Asia, tt), h. 17
[2]Ibid, h. 22
[3]Abi Ishaq Ibn Ibrahim Ibn Ali Ibn Yusuf al-Fairuz Abadi al-Syirazi, al-Muhadzdzab fi Fiqh Madzhab al-Imam al-Syafi’i, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h. 22
[4]Syihab al-Din dan al-Qaylubi dan ‘Umayrah, Qalyubi wa ‘Umayrat, (Indonesia: Dar al-Ijya Kutub al-‘Arabiyah, t.t) Juz I, h. 45
[5]Ibrahim al-Bajuri, Hasiyat al-Bajuri, (Semarang: Usaha Keluarga, t.t), Juz I, h. 47
[6]Abd Allah Ibn Sa’id Muhammad ‘Ibadi al-Lahji al-Hadhrami al-Syahri, al-Idhah al-Qawa’id al-Fiqhiyyat, (Jeddah: al-Harmain, t.t), h. 13
[7]Zain al-‘Abidin Ibn Ibrahim Ibn Nujaim, al-Asybah wa al-Nazhair ‘ala Madzhab Abi Hanifah al-Nu’man, (Kairo: Mu’assasah al-Halabi wa Syirkah, 1968), h. 20
[8]Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, Op.cit, h. 76
[9]Ibnu Taimiyah, majmu’ Fatawa Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah
[10]Muhammad Shidqi Ibn al-Burnu, al-Wajiz fi Idhah al-Fiqh al-Kuliyyat, (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1983), h. 63-64
[11]Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, Op.cit, h. 85-90. lihat :