Upaya Hukum Harta Gono Gini dikuasai Pihak Lain
PERTANYAAN:
Hallo,
Saya ada beberapa pertanyaan seputar hukum yang saya tidak tahu pasti jawabannya. Mohon bantuan jawaban atas pertanyaan yang akan saya ajukan sebelumnya terima kasih.
Kasusnya adalah : Ayah dan Ibu saya telah menikah dan bercerai secara Islam diikaruniakan 2 anak, saya dan adik saya. Namun karena Ibu saya tidak suka ribut-ribut, masalah harta gono gini belum diurus. Selama pernikahan mereka memiki harta bersama namun dikuasai oleh ayah saya semuanya. Sekarang ayah saya sudah menikah lagi (dikaruniakan 1 anak) dan dalam keadaan sakit (stroke) juga lupa ingatan. Kadang tertawa dan tersenyum sendiri. Pada saat masih sadar dan mengalami pendarahan otak, pihak adik keluarga dan ibu tiri menghubungi adik saya. Lalu adik saya mengurus semua urusan rumah sakit di rumah sakit yg pertama dan membayar lunas semua biayanya lalu memindahkan ke rumah sakit kedua untuk operasi otak karena rumah sakit pertama tidak sanggup.
Operasi berjalan lancar namun ayah saya menjadi lupa ingatan. Adik saya sudah membayar sebagian biaya rumah sakit dan bermaksud untuk berkunjung. Juga menjelaskan sebaiknya ayah tinggal tidak jauh dari rumahnya karena rumah ayah jaraknya terlalu jauh dengan rumah adik saya akan sangat sulit jika adik saya mau menengok karena dia bekerja.
Adik saya sudah mencarikan rumah kontrakan untuk ayah saya, namun pada saat berkunjung kejadian tak terduga terjadi. Dirumah sakit sudah hadir adik-adik ayah saya dan Ibu tiri kami yang teriak2 histeris tidak mengijinkan adik saya menemui ayah kami dan menuduh adik saya ingin menguasai harta ayah. Lalu memanggil satpam dan dokter untuk mengusir adik saya dan menuduh kehadiran adik saya hanya membuat ayah saya anfal. Juga teriak-teriak adik saya mo menyerakahi harta ayah saya. Lalu adik saya berkata, kalo memang mereka berpikir begitu, lebih baik lelang dan jual semua harta ayah dan sumbangkan pada panti asuhan/jompo dan kemudian adik saya akan membawa ayah untuk dirawat sendiri hingga napasnya yang terakhir. Jadi mereka yakin kalo adik saya tidak menggunakan sesen pun harta ayah saya. Namun mereka semua terus berteriak-teriak histeris dan mengatakan bahwa adik saya tidak punya hak atas ayah saya. Dan sekarang kondisinya, ayah saya sudah dibawa pulang oleh ibu tiri saya yang tinggal jauh diluar kota. Total kami tidak bisa punya akses apa-apa untuk menyelematkan nasib ayah kami karena ibu tiri dan adik-adik ayah kami telah mencekal hubungan kami dan ayah kami dalam keadaan cacat mental.
Pertanyaan saya, (Mohon lampirkan dasar hukumnya dari bab dan pasal berapa untuk menjawab pertanyaan saya).
- Apakah kasus perceraian antara ibu saya dan ayah saya bisa dibuka lagi untuk pengajuan harta gono gini yang belum diurus? Mengingat mereka menikah secara sah dengan hukum Islam dan dikaruniakan 2 anak.
- Sebagian dari harta gono gini sudah dijual oleh ayah saya tanpa persetujuan dan sepengetahuan ibu saya. Apakah bisa di claim?
- Benarkah kami sebagai anak kandung bila orang tua kami sudah bercerai kami tidak punya hak untuk menemui ayah kami? Mengingat kami tidak ada masalah dengan ayah kami sebelum dia lupa ingatan. Apakah ada upaya hukum yang bisa kami tempuh untuk mendapat legalisasi hukum untuk menemui ayah kami? Mengingat kami tidak bisa masuk ke rumah ayah kami yang sekarang dikuasai oleh ibu tiri kami.
- Benarkah kalau kami kehilangan hak waris kami karena ibu bapa kami bercerai dan hak waris itu berpindah tangan pada ibu tiri dan adik tiri kami saja?
- Berdasarkan ketidakyakinan kami bahwa ibu tiri kami akan mengurus dengan baik kondisi ayah kami dan berpulang pada niat kami untuk menyelamatkan nyawa dan menyembuhkan ayah kami, bisakah kami meminta hak kami sebagai anak kandung untuk turut campur dalam mengurus ayah kami?
Sementara itu dahulu pertanyaan dari saya. Mohon bantuannya dan terima kasih.
Wassalam,
Dewi
JAWABAN:
Saudari penanya yang kami hormati.
Terima kasih sebelumnya telah berkunjung ke website kami.
- Untuk jawaban pertanyaan angka 1, sebagai berikut:
Tentang perkawinan diatur dalam UU nomor tahun 1974 jo. PP nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU nomor 1 tahun 1974
Dalam pasal 2 disebutkan:
(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perkawinan yang dapat perlindungan oleh Undang-Undang adalah perkawinan yang memenuhi pasal 2 tersebut, yaitu sah menurut agama dan kepercayaan serta dicatat, adapun perkawinan yang tidak dicatat sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku, maka segala akibat hukumnya tidak dapat dilindungi oleh Undang-Undang.
Dasar-dasar perkawinan disebutkan dalam pasal 2 s.d 10 KHI (Kompilasi Hukum Islam) antara lain:
Pasal 2
Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Pasal 3
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Pasal 4
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 5
(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
(2) Pencatatan perkawinan tersebut apada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diaturdalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.
Pasal 6
(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum.
Pasal 7
(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akata Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :
(a) Adanya perkawinan dalam rabgka penyelesaian perceraian;
(b) Hilangnya Akta Nikah;
(c) Adanya keragan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian;
(d) Adanyan perkawinan yang terjadisebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan;
(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Thaun 1974;
(4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
Pasal 8
Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan perceraian,ikrar talak, khuluk atau putusan taklik talak.
Pasal 9
(1) Apabila bukti sebagaimana pada pasal 8 tidak ditemukan karena hilang dan sebagainya, dapat dimintakan salinannya kepada Pengadilan Agama.
(2) Dalam hal surat bukti yang dimaksud dala ayat (1) tidak dapat diperoleh, maka dapat diajukan permohonan ke Pengadilan Agama.
Pasal 10
Rujuk hanya dapat dibuktikan dengan kutipan Buku Pendaftaran Rujuk yanh dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah.
Maka, sesuai bunyi pasal 6 ayat (2), nikah tidak dicatat tidak mempunyai kekuatan hukum, maka segala akibat yang timbul dari hubungan yang tidak mempunyai kekuatan hukum tidak bisa mendapat perlindungan hukum.
Akan tetapi bagi perkawinan yang mempunyai alasan sebagaimana pada pasal 7 ayat (3) dapat dimintakan itsbat ke Pengadilan Agama untuk memperoleh kekuatan hukum.
- Apabila pernikahannya sudah mempunyai kekuatan hukum, maka dapat diajukan gugat harta bersama / gono gini ke Pengadilan Agama sebagaimana pasal 88 KHI Pasal 88 : Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.
termasuk juga harta bersama yang telah dijual tesrebut - Tidak ada larangan yang melarang seorang anak untuk menemui orang tua kandungnya,
- Hak waris anak tidak hilang karena adanya perceraian oleh orang tuanya ataupun salah satu orang tuanya menikah lagi, sebagaimana bunyi pasal 174 KHI:
Pasal 174
(1) Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
- Menurut hubungan darah:
– golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.
– Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek.
- Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda.
Hak waris akan terhalang apabila memenuhi unsur pada pasal 173 KHI, yaitu:
Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:
- dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris;
- dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahunpenjara atau hukuman yang lebih berat.
- Untuk hal tersebut bisa dimusyawarahkan di antara para keluarga
Demikian jawaban dari kami.
Atas kesalahan dan kekurangannya, kami mohon maaf
Semoga bermanfaat
Wassalam
Admin