INTEGRASI KEADILAN MORAL, KEADILAN HUKUM, DAN KEADILAN SOSIAL DALAM PUTUSAN PENGADILAN
Oleh : Rasyid Rizani, S.H.I., M.H.I.
(Ketua Pengadilan Agama Kuala Kurun, Mahasiswa S3 Prodi Ilmu Syariah Pascasarjana UIN Antasari Banjarmasin)
A. Pendahuluan
- Dasar pemikiran / latar belakang masalah
Teori keadilan (Theory of justice) atau konsep tentang keadilan telah menjadi topik utama dalam filsafat, etika, dan ilmu hukum selama berabad-abad yang lalu. Di antara tokoh yang mencetuskan dan mempengaruhi pemahaman tentang keadilan adalah Plato (keadilan adalah kebijakan negara yang ideal), Aristoteles (keadilan distributif dan keadilan korektif), Jhon Rawls dalam bukunya “A Theory of Justice”, keadilan merupakan kesepakatan sosial, dan Immanuel Kant (keadilan merupakan prinsip dasar etika), serta tokoh-tokoh lainnya.
Teori keadilan dalam Islam disebut dengan teori al-’adalah, yang memiliki arti kesetaraan, tidak berat sebelah, seimbang, semisal, dan lain sebagainya. Tokoh-tokoh terkenal di antaranya: Al-Farabi (keadilan politik), Ibnu Sina (etika dan keadilan), Ibnu Taimiyah (keadilan dalam penerapan hukum syariah), Imam Al-Ghazali (keadilan moral dan etika), Sayyid Qutb (keadilan sosial), dan Ayatollah Ruhollah Khomeini (sistem hukum Islam dan keadilan sosial).
Putusan Pengadilan merupakan putusan resmi Lembaga peradilan yang terdiri atas peristiwa hukum, fakta hukum, pertimbangan hukum, hingga keputusan. Putusan yang ideal adalah putusan yang mengintegrasikan 3 (tiga) keadilan, yaitu: moral justice (keadilan moral), legal justice (keadilan hukum), dan social justice (keadilan sosial). Untuk memberikan porsi yang seimbang atas tiga keadilan tersebut bukanlah hal yang mudah. Jika mengutamakan kepastian hukum (legal justice), maka prinsip keadilan yang lainnya boleh jadi tidak terakomodir dengan baik. Begitu sebaliknya, jika mengutamakan keadilan moral (moral justice) dan keadilan hukum (legal justice), maka boleh jadi rasa keadilan sosial (social justice) berkurang.
Bertolak dari fakta das sein tersebut, penulis mencoba mendiskripsikan dan menganalisis bagaimana idealnya mengintegrasikan tiga prinsip keadilan tersebut dalam putusan, karena putusan yang baik adalah putusan yang bermanfaat bagi Masyarakat.
2. Telaah literatur (Literature Review)
Makalah ini berjudul: “Integrasi Keadilan Moral, Keadilan Hukum, dan Keadilan Sosial dalam Putusan Pengadilan”. Agar pembahasan lebih fokus, maka perlu dibuat definisi operasional terhadap tema yang ditulis, yaitu:
- Integrasi adalah proses menggabungkan komponen, sistem, atau entitas yang berbeda agar dapat berfungsi bersama secara efektif. Integrasi dalam makalah ini bermakna menggabungkan prinsip keadilan moral, hukum, dan sosial dalam sebuah pertimbangan fakta hukum agar mewujudkan putusan pengadilan yang bermartabat dan berkeadilan.
- Keadilan Moral (Moral Justice) adalah suatu keadilan yang berasal dari moralitas. Moralitas merupakan standar baik dan buruk yang berasal dari berbagai sumber, dan yang terpenting dan utama berasal dari ajaran agama.
- Keadilan Hukum (Legal Justice) adalah keadilan yang berdasarkan undang-undang yang berlaku dan dari putusan pengadilan yang mencerminkan keadilan hukum Negara dalam bentuk formal.
- Keadilan Sosial (Social Justice) adalah keadilan yang meliputi keadilan ekonomi, kesejahteraan rakyat, dan keadilan yang disadari oleh mayoritas rakyat yang dapat berkembang, atau sebagaimana bunyi sila kelima Pancasila.
- Putusan pengadilan adalah putusan hakim pengadilan di bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia
Ada beberapa tulisan terkait dengan konsep keadilan, di antaranya:
- Mencari Format Ideal Keadilan Putusan dalam Peradilan, yang ditulis oleh Bambang Sutiyoso. Menurut temuan penulis, penegakan hukum yang berjalan selama ini terkesan kuat masih berkutat dalam bentuk keadilan prosedural yang sangat menekankan pada aspek regularitas dan penerapan formalitas legal semata. Akibatnya, penegakan hukum menjadi kurang atau bahkan tidak mampu menyelesaikan inti persoalan sebenarnya. Penelitian ini mengangkat masalah bagaimana upaya untuk mencari format ideal keadilan putusan dalam peradilan. [1]
- Konsep Keadilan dalam Filsafat Hukum dan Filsafat Hukum Islam, ditulis oleh. Muhammad Helmi. Menurut temuan penulis keadilan merupakan konsep abstrak dalam membentuk cara pandang. Pada akhirnya Pemerintah dalam membuat kebijakan dituntut untuk menemukan konsep keadilan untuk kepentingan bersama, dan pengadilan dalam memutuskan dituntut untuk menemukan keadilan dalam penerapan hukum.[2]
- Metode penulisan
Penulisan makalah ini menggunakan studi pustaka (library research) didukung pendekatan normatif emperis terhadap suatu kasus. Pendahuluan memuat dasar pemikiran atau latar belakang masalah tentang sulitnya mengharmonisasikan tiga prinsip keadilan moral, hukum, dan sosial dengan seimbang dalam putusan pengadilan.
Isi makalah atau pembahasan memuat konsep “keadilan” baik menurut bahasa, maupun istilah dalam kitab suci, dalam hal ini Al-Qur’an, dan beberapa pendapat tokoh tentang makna keadilan tersebut. Selanjutnya juga didiskripsikan sumber dari keadilan moral (moral justice), keadilan hukum (legal justice), dan keadilan sosial (social justice). Tiga model keadilan itu diintegrasikan dalam pertimbangan putusan. Selain itu juga dipaparkan bagaimana teknik merumuskan putusan yang bermartabat. Berikutnya supaya tulisan ini berimbang, tidak hanya normatif, pada bagian akhir pembahasan dipaparkan beberapa contoh kasus yang ada di pengadilan mengenai penerapan tiga prinsip keadilan tersebut.
Pada bagian penutup memuat kesimpulan tentang tiga konsep keadilan yang telah dibahas dalam makalah, juga disertai daftar pustaka atau referensi dalam penulisan makalah.
B. Pembahasan
- Prinsip-prinsip Keadilan
Adil menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sama berat; tidak berat sebelah; tidak memihak. Sedangkan “keadilan” adalah sifat (perbuatan, perlakuan, dan sebagainya) yang adil.[3] Dalam Al-Qur’an ada 2 (dua) kata yang bermakna adil yaitu al-‘adl dan al-qisth.
Hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash r.a,[4] ada kata (المقسطين) yaitu mereka yang selalu menegakkan keadilan. Allah Swt menggunakan kata al-qisth ( ألا تقسطوا “tidak akan dapat berlaku adil”) untuk menerangkan keadilan seorang wali terhadap anak yatim yang berada di bawah tanggungannya, dan kata ( ألا تعدلوا “tidak akan dapat berlaku adil”), Q.S. An-Nisa (4) ayat 3. Menurut At-Thabari kata adil yang pertama bermakna adil bagi seorang wali anak yatim dalam memberikan hak-hak yang harus didapatkan anak yatim tersebut dari harta yang dimilikinya dengan mengelolanya sebaik-baiknya[5]. Sedangkan adil makna kedua adalah keadilan dalam memberikan nafkah batin, waktu/giliran dan kasih sayang yang sama terhadap isteri-isterinya.[6] Dari tafsiran ekplisit ayat tersebut, bahwa aspek yang dibahas menggunakan kata al-Adl adalah bersifat batiniyah atau abstrak, sedangkan aspek yang menggunakan term al-Qisth bersifat indrawi/lahiriyah.
Konsep “adil” dalam alenia kedua Pembukaan UUD 1945[7] mengandung makna bahwa negara Indonesia menegakkan keadilan bagi warga negaranya. Keadilan berarti adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban warga negara. Hubungan antara negara dengan warga negara, warga negara dengan warga negara, warga negara dengan warga masyarakat berlandaskan prinsip keadilan. Negara Indonesia hendak mewujudkan keadilan dalam berbagai kehidupan secara politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
2. Teori Keadilan menurut beberapa tokoh
Jhon Rawls berpandangan bahwa justice as fairness. Tidak ada keadilan dalam greater walfare yang diperoleh dengan adanya beberapa situasi individu-individu yang tidak beruntung. Untuk menciptakan kehidupan yang memuaskan, diperlukan adanya skema kerja sama dengan pembagian keuntungan di mana kerja sama tersebut melibatkan semua pihak termasuk mereka yang kurang beruntung.[8]
Menurut Platoyang menyatakan bahwa pengertian keadilan adalah diluar kemampuan manusia biasa dimana keadilan hanya dapat ada di dalam hukum dan perundang-undangan yang dibuat oleh para ahli yang khususnya memikirkan hal itu. Aristoteles yang mengatakan bahwa keadilan adalah tindakan yang terletak di antara memberikan terlalu banyak dan sedikit yang dapat diartikan memberikan sesuatu kepada setiap orang sesuai dengan apa yang menjadi haknya. Sedangkan Socrates keadilan akan tercipta bilamana setiap warga negara sudah merasakan bahwa pemerintah telah melaksanakan tugasnya dengan baik.
Menurut Thomas Hubbes yang mengatakan bahwa pengertian keadilan adalah sesuatu perbuatan dikatakan adil apabila telah didasarkan pada perjanjian yang telah disepakati.
Frans Magnis Susenoyang mengatakan pendapatnya tentang pengertian keadilan adalah keadaan antar manusia yang diperlakukan dengan sama sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing.
Al-Ghazali menuturkan bahwa keadilan adalah pernyataan dari kehendak Allah dan terwujud dalam syari’at. Konsep tentang keadilan tidak hanya lahir dari pemikiran barat, dalam Islampun demikian, terdapat beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang menganjurkan untuk berperilaku adil. Dalam Al-Qur’an keadilan disebut dengan (al-‘adalah), yang secara sederhana diartikan sebagai sebuah bentuk upaya untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Keadilan sesungguhnya sudah muncul sejak masa Yunani kuno. Ada tiga filsuf terkenal yang berbicara tentang keadilan, yaitu Aristoles, Plato dan Thomas Hobbes. Aristoles menyatakan bahwa keadilan berbeda dengan persamarataan. Keadilan bukan berarti tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama. Aristoles mengemukakan ada lima jenis keadilan, yaitu: (1) Keadilan komutatif, yakni perlakuan terhadap seseorang dengan tidak melihat jasa-jasa yang telah diberikannya; (2) Keadilan distributive, yakni perlakuan terhadap seseorang sesuai dengan jasa-jasa yang diberikannya; (3) Keadilan kodrat alam, yakni perbuatan yang memberi sesuatu pada seseorang sesuai dengan yang diberikan oleh orang lain kepada kita; (4) keadilan konvesional, yakni perbuatan apabila seorang warga negara telah menaati peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan. (5) Keadilan perbaikan, yakni perbuatan apabila seseorang telah memulihkan nama baik orang lain yang tercemar.
Plato menyebutkan ada dua teori keadilan, yaitu (1) Keadilan moral, yakni suatu perbuatan dapat dikatakan adil secara moral dan apabila telah mampu memberikan perlakuan yang seimbang (selaras) antara hak dan kewajiban; (2) Keadilan prosedural, yakni suatu perbuatan dikatakan adil secara prosedural jika seseorang telah mampu melaksanakan perbuatan adil berdasarkan tata cara yang telah ditetapkan.
3. Sumber Moral Justice, Legal Justice, dan Social Justice
a. Moral Justice
Sumber utama dari keadilan moral (Moral Justice) adalah ajaran agama. Al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber utama keadilan tersebut. Ayat Al-Qur’an yang memerintahkan berbuat adil antara lain terdapat dalam: Surat An-Nisa (4) ayat 58: memutuskan perkara antara manusia dengan adil; An-Nisa (4) ayat 135: menjadi pribadi yang menegakkan keadilan; Al-Ma’idah (5) ayat 8: berlaku adil lebih dekat dengan takwa; Al-A’raf (7) ayat 29: Tuhan memerintahkan berlaku adil; Hud (11) ayat 113: jangan condong kepada orang zhalim; An-Nahl (16) ayat 90: Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebajikan; Al-Hujurat (49) ayat 9: mendamaikan pihak yang berselisih dengan seadil-adilnya; Al-Mumtahanah (60) ayat 8: Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil;
Sedangkan dalam Hadits, yang mengatur tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang Hakim, antara lain: Hakim melakukan ijtihad dengan berpegang kepada kebenaran (H.R. Ibnu Majjah No.2306); Hakim yang adil masuk surga dan yang zhalim masuk neraka (H.R. Abu Daud No.3102, H.R. Tirmidzi No.1244); Hakim jangan memutus dalam keadan marah (H.R. An-Nasa’i, No.5326); Hakim memberikan keputusan yang tegas (H.R. Bukhari, No.4219); memberikan putusan yang membuat lega (H.R. Muslim, No. 4347).
Prinsip berlaku adil sebagaimana risalah Qadha Khalifah Umar bin Khattab, di antara isinya adalah :
وآس بين الناس فى وجهك ومجلسك وقضائك حتى لا يطمع شريف فى حيفك ولا ييأس ضعيف من عدلك
Artinya:
Persamakanlah kedudukan manusia di wajahmu (pandanganmu), majelismu, dan keputusanmu, sehingga orang yang mulia (memiliki kekuasaan) tidak tamak terhadap tipu dayamu dan orang yang lemah tidak berputus asa dari keadilanmu.[9]
ولا يمنعك من قضاء قضيته اليوم فراجعت فيه لرأيك وهديت فيه لرشدك أن تراجع الحق لأن الحق قديم لا يبطل الحق شىء ومراجعة الحق خير من التمادى فى الباطل
Artinya:
“Jangan segan-segan engkau menelaah kembali putusan yang telah engkau jatuhkan untuk kemudian dikaji kembali sesuai pandanganmu dan petunjuk yang engkau peroleh, karena sesungguhnya kebenaran (haq) merupakan sesuatu yang qadim yang tidak dapat dimentahkan oleh apapun. Menelaah kembali putusan guna mendapatkan kebenaran jauh lebih baik daripada terus-menerus dalam kebatilan”[10]
Al-Qur’an, Hadits, maupun doktrin dalam risalah khalifah Umar bin Khattab r.a, memberikan pedoman bahwa menegakkan keadilan dan kebenaran adalah wajib dan dibalas oleh Allah Swt dengan surga. Sebaliknya, jika berbuat zhalim, mengingkari kebenaran dalam memutuskan perkara, maka balasannya adalah neraka.
Teori tujuan hukum Islam pada prinsipnya adalah mewujudkan kemanfaatan kepada seluruh umat manusia, yang mencakupi kemanfaatan dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat. Hal itu sesuai dengan prinsip umum Al-Qur’an:
- , (segala yang bermanfaat dibolehkan, dan segala yang mudarat dilarang)
- (jangan menimbulkan kemudaratan dan jangan menjadi korban kemudaratan).
- (bahaya harus dihilangkan).[11]
b. Legal Justice
Keadilan hukum (Legal Justice) bermakna keadilan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, oleh karenanya mengandung asas kepastian. Hukum itu mempunyai tingkatan atau struktur. Berdasarkan teori hierarki Hans Kelsen dan Nawiasky, struktur formal hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia biasanya hanya disusun sebagai berikut[12]:
- Undang-Undang Dasar (UUD)
- Undang-Undang (UU)
- Peraturan Pemerintah (PP)
- Peraturan Presiden (Perpres)
- Peraturan Daerah Provinsi (Perda Prov)
- Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (Perda Kab/Kota)
Terdapat empat prinsip dalam hierarki peraturan perundang-undangan, yaitu:
- Lex superiori derogat legi inferiori: peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Asas ini berlaku pada dua peraturan yang hierarkinya tidak sederajat dan saling bertentangan.
- Lex specialis derogat legi generali: peraturan yang lebih khusus mengesampingkan peraturan yang lebih umum. Asas ini berlaku pada dua peraturan yang hierarkinya sederajat dengan materi yang sama.
- Lex posteriori derogat legi priori: peraturan yang baru mengesampingkan peraturan lama. Asas ini berlaku saat ada dua peraturan yang hierarkinya sederajat dengan tujuan mencegah ketidakpastian hukum.
- Peraturan hanya bisa dihapus dengan peraturan yang kedudukannya sederajat atau lebih tinggi.
Menurut pendapat ahli, hukum itu memiliki empat fungsi, antara lain[13]:
- Hukum sebagai pemelihara ketertiban
- Hukum sebagai sarana pembangunan
- Hukum sebagai sarana penegak keadilan
- Hukum sebagai sarana pendidikan masyarakat
Roscoe Pound berpendapat hukum bertujuan untuk merekayasa masyarakat artinya hukum sebagai alat perubahan sosial (as a tool of social engenerering)[14]. Hal yang sama dikatakan oleh Lawrence Freidman, bahwa fungsi hukum itu sebagai sistem kontrol, penyelesaian sengketa, rekayasa sosial, pemelihara sosial, dan mengawasi penguasa.[15]
Keadilan berbasis persamaan, didasarkan atas prinsip bahwa hukum mengikat semua orang, sehingga keadilan yang hendak dicapai oleh hukum dipahami dalam konteks kesamaan. Kesamaan disini terdiri dari kesamaan numerik dan proporsional. Kesamaan numerik berprinsip derajat semua orang sama di hadapan hukum, sedangkan kesamaan proporsional adalah memberi kepada setiap orang apa yang sudah menjadi haknya.[16]
Keadilan menjadi landasan moral hukum dan sekaligus sebagai tolak ukur sistem hukum positif. Tanpa keadilan, sebuah aturan tidak pantas menjadi hukum. Apabila dalam penegakkan suatu aturan lebih cenderung kepada asas kepastian hukum, maka nilai-nilai keadilan dan kegunaan akan terjadi pergeseran.[17]
Keadilan menjadi sangat penting dalam hukum yang akan ditegakkan karena bersifat subjektif dan individual dan tidak bersifat menyamaratakan sebagaimana pada norma hukum.[18] Hukum harus ditegakkan berdasarkan keadilan, dan keadilan harus berdasarkan hukum. Keduanya mempunyai hubungan vertikal.
Hukum sebagai pengemban nilai keadilan menurut Radbruch menjadi ukuran bagi adil tidak adilnya tata hukum. Nilai keadilan juga menjadi dasar dari hukum sebagai hukum. Dengan demikian, keadilan memiliki sifat normatif sekaligus konstitutif bagi hukum. keadilan menjadi dasar bagi tiap hukum positif yang bermartabat.[19]
Kepastian hukum itu sangat penting agar hukum ditaati, sehingga diperlukanlah sanksi bagi yang melanggarnya. Hal tersebut sesuai dengan asas Lex dura sed ita scripta, Undang-Undang adalah keras tetapi ia telah ditulis demikian. Undang-Undang juga dalam pengaturannya akan mengatur perbuatan-perbuatan yang dapat dilakukan oleh masyarakat, sesuai dengan asas Lex niminem cogit ad impossibilia, undang-undang tidak memaksa sesorang untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin.
Pada setiap perkara, hakim akan melakukan analisis yang mendalam terhadap fakta-fakta persidangan dan mengaitkannya dengan peraturan hukum yang berlaku. Hakim akan menemukan nilai-nilai keadilan Tuhan. Temuan hakim dalam proses ini dapat berupa salah satu dari tiga kemungkinan berikut:[20]
- Hukum yang berlaku telah sejalan atau sesuai dengan nilai-nilai keadilan Tuhan, karenanya dapat diterapkan secara penuh pada kasus in concreto.
- Hukum yang berlaku tidak sepenuhnya sejalan dengan nilai-nilai keadilan Tuhan, sehingga perlu penyesuaian (modifikasi) dalam penerapan aturan-aturan hukum yang ada.
- Hukum yang berlaku sama sekali bertentangan dengan nilai-nilai keadilan Tuhan, sehingga hakim mengambil kesimpulan berbeda dan bertentangan dengan aturan hukum yang ada (contra legem).
c. Social Justice
Keadilan sosial (Social Justice) berpedoman kepada nilai-nilai Pancasila terutama sila kelima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kaitannya dengan putusan hakim, maka putusan tersebut hendaknya memberikan manfaat bagi masyarakat. Jereme Bentham mengatakan nilai dasar hukum kemanfaatan adalah yang cenderung menghasilkan kesenangan, kebaikan, atau kebahagiaan, atau untuk mencegah terjadinya kerusakan, penderitaan, atau kejahatan, serta ketidakbahagiaan pada pihak yang kepentingannya dipertimbangkan.
Hukum bertujuan untuk memberikan keamanan dan ketertiban serta menjamin adanya kesejahteraan yang diperoleh masyarakat dari Negara sebagai payung bermasyarakat. Masyarakat berkembang secara pesat di dunia komunitasnya atau dalam bernegara, hal ini dipengaruhi oleh perkembangan zaman sehingga kebutuhan harus dipenuhi sesuai zamannya. Oleh karena itu, diperlukanlah konsep hukum secara kontekstual. Menurut Jhonson, agar tercipta korelasi antara hukum dan masyarakatnya, yaitu hukum sosial yang lebih kuat dan maju daripada ajaran-ajaran yang diciptakan oleh hukum perseorangan. Karenanya hukum tidak hanya keadilan dan kepastian hukum, akan tetapi aspek kemanfaatan juga harus terpenuhi.[21]
Membahas filsafat hukum erat kaitannya dengan kehidupan sosial. Keadilan tercipta karena adanya interaksi antara manusia, sehingga keadilan sosial itu juga merupakan keadilan individu. Keadilan sosial sebagaimana telah dirumuskan dalam UUD dan sila kelima Pancasila, semakna dengan istilah social justice dalam Bahasa Inggris atau soziale Gerechtigkeit dalam Bahasa Jerman. Keadilan hanya akan selalu relevan dalam hubungan di antara individu yang satu dengan individu-individu lainnya.
Keadilan, atau dalam pemahaman Jhon Rawls yang lebih teliti: fairness, pada akhirnya memang tidak memiliki relevansi yang individual sifatnya. Persoalan adil atau tidak adil hanya bisa muncul sebagai akibat dari rangkaian aksi dan reaksi dalam kompleks perilaku manusia yang koeksistensial. Karena itu hubungan antar-manusia yang sarat dengan masalah keadilan membuatnya selalu peka untuk suatu tinjauan yang bersifat sosiologis.[22]
Sebuah realita yang tidak dapat dipungkiri bahwa setiap komunitas masyarakat pasti memiliki tradisi atau adat/’urf yang mereka warisi seacara turun temurun. Dan tradisi ini kemungkinan sama atau mirip dengan tradisi yang ada di sebuah komunitas masyarakat lain. Islam sebagai agama yang memiliki sifat relevan untuk setiap kondisi ruang dan waktu, tentu memiliki sebuah solusi untuk setiap adat yang ada pada setiap komunitas.[23] Dalam kaidah fiqhiyah yang pokok disebutkan:
العادة محكمة
Artinya: “Kearifan lokal atau adat dapat menjadi patokan atau acuan hukum”[24]
Sebelum mengambil keputusan, selain menelaah aturan hukum yang ada, Hakim berkewajiban menggali hukum yang hidup dalam masyarakat. Hal tersebut dilakukan agar putusannya, selain mempunyai daya memaksa, juga memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, hakim bukanlah corong undang-undang, dan tindakan itu sesuai dengan bunyi Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Menurut Moh. Mahfud MD hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan negara, selain berpijak pada lima dasar untuk mencapai tujuan negara, juga harus berfungsi dan selalu berpijak pada empat prinsip cita hukum (rechtsidee), yakni:
- Melindungi semua unsur bangsa (nation) demi keutuhan (integrasi)
- Mewujudkan keadilan sosial dalam bidang ekonomi dan kemasyarakatan.
- Mewujudkan kedaulatan rakyat (demokrasi) dan negara hukum (nomokrasi)
- Menciptakan toleransi atas dasar kemanusiaan dan berkeadaban dalam hidup beragama.[25]
Menurut Ehrlich dalam bukunya yang berjudul “grendlegung der sociological rechts (1913)”¸ mengatakan bahwa masyarakat adalah ide umum yang dapat digunakan untuk menandakan semua hubungan sosial, yakni keluarga, desa, lembaga-lembaga sosial, negara, bangsa, sistem ekonomi maupun sistem hukum dan sebagainya. Teori Ehrlich yang mengambil masyarakat sebagai ide dasar pembentukan hukum mengatakan bahwa semua hukum positif berakar dalam suatu hukum fundamental masyarakat. Hukum fundamental adalah apa yang menguasai seluruh hidup bersama. Hidup bersama pada masyarakat modern dikuasai oleh solidaritas sosial. Solidaritas sosial merupakan hukum fundamental masyarakat sekarang.[26]
Teori keadilan bermartabat (the Dignified Justice Jurisprudence) melukiskan putusan hakim merupakan pertemuan antara pikiran Tuhan YME yang berdimensi moral, etis, dan spiritual dengan peristiwa hukum. pertemuan atau keserasian antara das sollen dan das sein.[27]
4. Integrasi Keadilan Moral, Hukum, dan Sosial dalam Putusan Pengadilan
Dalam komunitas yang paling primitif sekalipun, kita akan menemukan bahwa selalu ada sosok yang dituakan sebagai pengadil agar masing-masing individu menyadari hak dan kewajibannya serta menghormati hak dan kewajiban orang lain. Dari sini lahirlah ungkapan yang dikenalkan oleh Marcus Tullius Cicero: “ubi societas ibi ius”, yang berarti bahwa di mana ada masyarakat di situ ada hukum.[28]. agar keputusan yang dijatuhkan oleh hakim bermanfaat dan berkeadilan bagi masyarakat, maka Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.[29]
Idealnya sebuah putusan harus mencerminkan tiga bentuk keadilan, yaitu keadilan moral, hukum, dan keadilan sosial. Keadilan hukum negara sebagai represents keadilan moral dan keadilan sosial yang ada dalam masyarakat Indonesia. Menyelaraskan tiga bentuk keadilan itu dalam putusan bukan lah yang tidak mungkin, tetapi dalam prakteknya sangat sulit sekali diwujudkan.
Hakim terkadang harus dihadapkan dengan dua pilihan yang sulit antara legal justice itu sendiri dengan moral justice dan social justice. Menerapkan salah satu aspek dan meninggalkan aspek lainnya. Ada saatnya ketika di persidangan terungkap fakta-fakta yang kemudian untuk memenuhi keadilan moral dan keadilan sosial, hakim bisa jadi perlu menafsirkan hukum, kadang perlu mecari/menemukan hukum yang tidak/belum ada hukumnya dan kadang “melompat” dengan menyingkirkan ketentuan perundangan (contra legem). Dalam kondisi ini, legal justice (keadilan berdasarkan peraturan perundang-undangan) bisa jadi dikesampingkan.
Dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan menegakkan kebenaran dan keadilan, hakim harus berpegang teguh pada hukum, undang-undang (yuridis), dan nilai keadilan masyarakat (filosofis dan sosiologis). Dalam diri hakim diemban amanah untuk menerapkan undang-undang dengan benar dan adil. Jika penerapannya menimbulkan ketidakadilan, maka hakim wajib berpihak pada keadilan moral (moral justice) dan menyampingkan hukum atau peraturan perundang-undangan (legal justice). Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat (the living law) yang merupakan cerminan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat (social justice).
Mahkamah Agung RI telah menentukan bahwa putusan hakim harus mempertimbangkan beberapa aspek yang bersifat yuridis, filosofis, dan sosiologis, sehingga keadilan yang dicapai, diwujudkan, dan dipertanggungjawabkan dalam putusan hakim adalah keadilan yang berorientasi pada keadilan hukum (legal justice), keadilan moral (moral justice), dan keadilan masyarakat (social justice).[30]
Untuk membuat putusan yang berkualitas, di samping memahami dengan benar tiga rasa keadilan di atas, juga dalam langkah-langkah menyusun putusan harus cermat. Tiga Langkah tersebut, adalah: konstatir, kualifisir, dan konstituir.
Mengkonstatir adalah melihat, mengakui atau membenarkan telah terjadinya suatu peristiwa yang diajukan oleh para pihak yang berperkara. Kemudian, langkah berikutnya adalah kualifisir, yaitu dengan menilai peristiwa yang telah dianggap benar-benar terjadi dengan cara memilih kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa hukum dari hasil pemeriksaan di persidangan. Selanjutnya adalah konstituir yaitu menetapkan hukumnya dan penetapkan hukum itu merupakan jawaban dari pada petitum yang dimohon oleh Penggugat. Selanjutnya dalam pengambilan keputusan, hal yang harus dilakukan oleh hakim adalah:
- Indentifikasi apakah gugatan dalam perkara tersebut kewenangan PA/PN?
- Apakah para Penggugat mempunyai legal standing untuk mengajukan gugatan?
- Identifikasi pokok gugatan (posita dan petitum)?
- Identifikasi jawaban Tergugat?
- Kepada siapa pembuktian dibebankan?
- Hasil pembuktian (terbukti/tidak terbukti)?
- Kesimpulan (kuatkan/kuatkan dengan perbaikan/batalkan adili sendiri)?
Ketua Kamar Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia memberikan kriteria tentang putusan yang bermutu di Lingkungan Peradilan Agama, yaitu putusan yang: tertata dengan baik, sistematis, runtut, tidak mengandung term-term yang multitafsir, mengandung kejelasan, dan mengandung pembaruan hukum Islam.[31]
Untuk mengetahui pembaruan hukum Islam diperlukan metode yang disebut “penemuan hukum (Rechtvinding)”. Dalam hal peraturan perundang-undangannya tidak jelas, tersedialah metode interpretasi atau metode penafsiran. Metode penafsiran tersebut dibagi ke dalam 4 bagian, antara lain[32]:
- Interpretasi gramatikal, undang-undang ditafsirkan atau dijelaskan dengan menguraikannya menurut bahasa umum sehari-hari.
- Interpretasi sistematis atau logis, menafsirkan peraturan perundang-undangan dengan menghubungkannya dengan peraturan hukum atau undang-undang lain atau dengan keseluruhan sistem hukum.
- Interpretasi historis, penafsiran meliputi sejarah hukumnya atau sejarah terjadinya undang-undang.
- Interpretasi teleologis atau sosiologis, hakim menafsirkan undang-undang sesuai tujuan pembentuk undang-undang. Penafsiran ini terjadi jika undang-undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru.
Contoh dan Analisa Kasus[33]
- Perkara permohonan itsbat nikah (pasangan di bawah umur):
Temuan fakta majelis hakim : Pernikahan terlaksana memenuhi syarat dan rukun nikah, kecuali usia calon suami dibawah umur 19 tahun dan calon isteri dibawah umur 16 tahun; perkawinan telah berlangsung puluhan tahun tanpa pernah bercerai dan tanpa adanya keberatan dari para tetangga; sudah memperoleh banyak anak dan semuanya sarjana, bahkan sudah memperoleh cucu; itsbat nikah diajukan untuk kepentingan melengkapi syarat administrasi/dokumen perjalanan naik haji agar dapat berangkat dengan status suami-isteri;
Legal justice : Menerapkan pasal 7 UU Pekawinan jo. pasal 15 KHI : Melanggar teks pasal tersebut dan putusannya Permohonan Itsbat Nikah ditolak. Social justice : (fakta : perkawinan telah berlangsung puluhan tahun tanpa pernah bercerai dan tanpa keberatan dari para tetangga; ). Moral justice : (Pernikahan terlaksana memenuhi syarat dan rukun nikah). Legal justice (perlu ditafsirkan pasal 7 UU Pekawinan jo. pasal 15 KHI mengacu pada rohnya yang terdapat dalam prinsip atau asas UU Perkawinan, bahwa calon suami-isteri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan … dst., adanya fakta: memperoleh banyak anak dan semuanya sarjana, sudah ada cucu, ekonomi baik/mampu untuk naik haji, maka disimpulkan sudah memenuhi prinsip atau asas tsb), maka penetapannya Permohonan Itsbat Nikah dikabulkan
- Perkara hadhonah (anak belum muamyyiz):
Dalil gugatan dan jawaban: anak dalam pemeliharaan suami dan telah berjalan tahunan. Hakim memeriksa saksi fokusnya pada potensi kapasitas dan kelayakan istri pemegang hadhonah dan hasilnya Potensi isteri sangat kompeten dan layak. Dipihak lain, hakim tidak cukup mendalami fakta apakah selama bersama suami anak nyaman dan kepentingannya tercukupi. Namun, masih dapat disimpulkan bahwa tidak ada bukti selama anak dengan suami, anak tidak nyaman dan atau kepentingan terbaik bagi anak tidak tercukupi;
Legal justice : Menerapkan pasal 105 KHI dan potensi kepentingan terbaik bagi anak dengan ibu, maka putusan : Anak dibawah Hadhonah Ibu. Social justice : (fakta anak dengan Bapak tanpa adanya bukti tidak nyaman dan kepentingan terbaik untuknya tidak tercukupi). Moral justice : (menurut agama dan bahkan moral insaniyah: orang tua termasuk ayah memiliki kewajiban untuk memberikan pemeliharaan yang terbaik bagi anaknya). Legal justice (dengan menafsirkan pasal 105 KHI dimana rohnya potensi ibu lebih memiliki kelayakan untuk dapat memenuhi kepentingan terbaik bagi anak, namun dalam kasus ini faktanya telah nyaman dan terpenuhi dibawah pemeliharaan bapak), maka putusan: Anak dibawah hadhonah bapak.
- Perkara Harta Bersama :
Duduk kasus: Dalil gugatan, Harta Bersama (OS) berupa aset dagangan telur dengan obzet cukup besar, sudah menggunakan mobilitas truk, mobil truk, dan masih banyak harta yang lainnya yang diperoleh selama dalam perkawinan. Jawaban, OS diperoleh atas usaha Tergugat sendiri tanpa Penggugat ikut mengusahakannya, kecuali Penggugat hanya mengantar Tergugat ke pasar lalu ngopi dan main domino. Pedagang telor di pasar tersebut nyaris semuanya adalah wanita.
Legal justice : Menerapkan pasal 1 huruf (f) jo. pasal 97 KHI maka putusan : OS adalah harta bersama dan masing-masing berhak seperdua. Social justice : (fakta : yang bekerja dominan isteri sesuai kearifan para pedagang telor setempat). Moral justice : (menurut agama : yang berkewajiban mencari nafkah untuk kebutuhan keluarga adalah suami). Legal justice (dengan menafsirkan pasal 1 huruf (f) jo. pasal 97 KHI dimana rohnya adalah syirkah (bekerja sama dengan hak dan kewajiban sesuai hukum yang seimbang antara suami dan isteri), namun dalam kasus ini faktanya yang bekerja mencari nafkah isteri dan urusan rumah tangga juga isteri), maka putusan : OS tidak dibagi dua, melainkan komposisinya sebagian kecil saja untuk mantan suami.
- Penutup
Hakim adalah pejabat negara yang diberi wewenang membuat suatu putusan yang diucapkan terbuka untuk umum di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri sengketa antara para pihak. Putusan hakim yang ideal adalah putusan yang mampu mengkombinasikan tiga aspek sekaligus yaitu aspek yuridis (kepastian hukum), filosofis (keadilan), dan sosiologis (kemanfaatan). Untuk mewujudkan putusan yang ideal tersebut, dalam membuat pertimbangan, Hakim harus meperhatikan keadilan moral (moral justice), keadilan hukum (legal justice), dan keadilan sosial (social justice).
Untuk mengintegrasikan keadilan moral, hukum, dan sosial dalam putusan, hakim harus mampu mengkonstatir, kualifisir, dan konstituir dengan cermat dan professional. Untuk itu diperlukan interpretasi dalam rangka penemuan hukum (rechtvinding) demi tercapainya keadilan bermartabat, serasi antara das sollen dan das sein. jika penerapan undang-undang menimbulkan ketidakadilan, maka hakim wajib berpihak kepada keadilan moral (moral justice).
Daftar Pustaka
Ali, Achmad. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) Dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence). Jakarta: Kencana, 2017.
Arto, Mukti. Pembaruan Hukum Islam Melalui Putusan Hakim. Cet. 1. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Asshiddiqie, Jimly. Teori Hierarki Norma Hukum. Cet. 2. Jakarta: Konstitusi Press, 2021.
At-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. Jami’ Al-Bayan Fi Ta’wil Al-Quran. Jilid 3. Mesir: Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, 2004.
Bernard L. Tanya, Yovita A Mangesti. Moralitas Hukum. Yogyakarta: Genta Publishing, 2014.
Daghfaq, Yusuf Abdullah. Berbuat Adil Jalan Menuju Bahagia. Jakarta: Gema Insani Press, 1992.
Dahlan Sinaga, Sofyan Sitompol. Penemuan Hukum Dalam Perspektif Teori Keadilan Bermartabat (The Dignified Justice Jurisprudence). PT. Imaji Cipta Karya, 2021.
Hakim, Abdul. “Mewujudkan Putusan Pengadilan Yang Memenuhi Moral Justice, Legal Justice, Dan Social Justice.” Presented at the Bimbingan Teknis oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Jakarta, September 7, 2023. https://ditbinganis.badilag.net/pengembangan/home/online_detil/0908fc26bade7cb36d4b11117be704ee.
Hasan, Ahmadi. Adat Badamai, Interaksi Hukum Islam Dan Hukum Adat Pada Masyarakat Banjar. Banjarmasin: Tahura Media, 2020.
Helmi, Muhammad. “Konsep Keadilan Dalam Filsafat Hukum Dan Filsafat Hukum Islam.” Mazahib, 2015.
Huijbers, Theo. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Kusumohamidjojo, Budiono. Filsafat Hukum Problematik Ketertiban Yang Adil. Bandung: Yrama Widya, 2022.
Malik, Abd. “Prinsip-Prinsip Peradilan Dalam Risalah Al-Qadha Umar Bin Khattab.” Al-Ubudiyah: Jurnal Pendidikan Dan Studi Islam 2, no. 2 (2021): 45–57.
Margono. Asas-Asas Keadilan, Kemanfaatan & Kepastian Hukum Dalam Putusan Hakim. Jakarta: Sinar Grafika, 2019.
Mawardi, Didiek R. “Fungsi Hukum Dalam Kehidupan Masyarakat, Masalah-Masalah Hukum” Vol.44, no. No. 3 (2015).
Mertokusumo, Sudikno. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Cetakan I. Yogyakarta: CV Maha Karya Pustaka, 2020.
Prahassacitta, Vidya. “Makna Keadilan Dalam Pandangan John Rawls,” n.d. https://business-law.binus.ac.id/2018/10/17/makna-keadilan-dalam-pandangan-john-rawls/.
Saifulloh, Kholid. “Aplikasi Kaidah Al-’Adah Muhakkamah Dalam Kasus Penetapan Jumlah Mahar.” Al-Majaalis 8, no. 1 (2020): 57–85.
Santoso, Aris Prio Agus. Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: Pustaka Baru Press, 2020.
———. Sosiologi Hukum. Yogyakarta: Pustaka Baru Press, 2022.
Santoso, Aris Prio Agus, Sukendar, and Gerardus Gegen. Pengantar Filsafat Hukum. Yogyakarta: Pustaka Baru Press, 2022.
Suadi, Amran. Filsafat Keadilan, Biological Justice Dan Praktiknya Dalam Putusan Hakim. Jakarta: Kencana, 2020.
———. Filsafat Pengetahuan Dan Kebenaran, Implementasi Dalam Putusan Hakim. Cetakan I. Jakarta: Kencana, 2022.
Sukendar, Aris Prio Santoso, and Ns. Yoga Dewa Brahma. Teori Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Pustaka Baru Press, 2022.
Sumantoro. Hukum Ekonomi. Jakarta: UI Press, 1986.
Sutiyoso, Bambang. “Mencari Format Ideal Keadilan Putusan Dalam Peradilan.” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 17, no. 2 (2010): 217–32.
Suyuthy, Jalaluddin al-. al‐Asybâh Wa al‐Nadzâir. Juz 1. Kairo-Mesir: Dar el-Salam, 2009.
[1] Bambang Sutiyoso, “Mencari Format Ideal Keadilan Putusan Dalam Peradilan,” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 17, no. 2 (2010): 217–32.
[2] Muhammad Helmi, “Konsep Keadilan Dalam Filsafat Hukum Dan Filsafat Hukum Islam,” Mazahib, 2015.
[3] “Adil, Keadilan,” in Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kamus Versi Online/Daring (Dalam Jaringan), n.d., https://kbbi.web.id/adil.
[4] Yusuf Abdullah Daghfaq, Berbuat Adil Jalan Menuju Bahagia (Jakarta: Gema Insani Press, 1992). hal. 58. Lihat juga Abu Abdurrahman bin Syu’aib bin ‘Ali an-Nasa’i, Sunan An-Nasa’i Al-Musamma Al-Mujtaba, Kitab Al-Qudhah, Bab Fadhl al-Hakim al-Adl fi Hukmih, No. Hadits 5389 (Bairut: Darul Hadits, 1889), hal. 235
[5] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thabari, Jami’ Al-Bayan Fi Ta’wil Al-Quran, Jilid 3 (Mesir: Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, 2004). hal. 242
[6] At-Thabari. hal. 531
[7] Pembukaan UUD 1945
[8] Vidya Prahassacitta, “Makna Keadilan Dalam Pandangan John Rawls,” n.d., https://business-law.binus.ac.id/2018/10/17/makna-keadilan-dalam-pandangan-john-rawls/.
[9] Abd Malik, “Prinsip-Prinsip Peradilan Dalam Risalah Al-Qadha Umar Bin Khattab,” Al-Ubudiyah: Jurnal Pendidikan Dan Studi Islam 2, no. 2 (2021): 45–57.
[10] Malik.
[11] Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) Dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence) (Jakarta: Kencana, 2017). hal. 74
[12] Jimly Asshiddiqie, Teori Hierarki Norma Hukum, Cet. 2 (Jakarta: Konstitusi Press, 2021). hal. 174. Lihat juga Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 7 ayat (1).
[13] Sumantoro, Hukum Ekonomi (Jakarta: UI Press, 1986). hal. 4
[14] Aris Prio Agus Santoso, Hukum Administrasi Negara (Yogyakarta: Pustaka Baru Press, 2020). hal. 6 – 8
[15] Didiek R Mawardi, “Fungsi Hukum Dalam Kehidupan Masyarakat, Masalah-Masalah Hukum” Vol.44, no. No. 3 (2015).
[16] Aris Prio Agus Santoso, Sukendar, and Gerardus Gegen, Pengantar Filsafat Hukum (Yogyakarta: Pustaka Baru Press, 2022). hal. 142
[17] Sukendar, Aris Prio Santoso, and Ns. Yoga Dewa Brahma, Teori Hukum Suatu Pengantar (Yogyakarta: Pustaka Baru Press, 2022). hal. 115
[18] Margono, Asas-Asas Keadilan, Kemanfaatan & Kepastian Hukum Dalam Putusan Hakim (Jakarta: Sinar Grafika, 2019). hal. 106
[19] Yovita A Mangesti Bernard L. Tanya, Moralitas Hukum (Yogyakarta: Genta Publishing, 2014). hal. 74
[20] Amran Suadi, Filsafat Keadilan, Biological Justice Dan Praktiknya Dalam Putusan Hakim (Jakarta: Kencana, 2020). hal. 13
[21] Aris Prio Agus Santoso, Sosiologi Hukum (Yogyakarta: Pustaka Baru Press, 2022). hal.22
[22] Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum Problematik Ketertiban Yang Adil (Bandung: Yrama Widya, 2022). hal. 177
[23] Kholid Saifulloh, “Aplikasi Kaidah Al-’Adah Muhakkamah Dalam Kasus Penetapan Jumlah Mahar,” Al-Majaalis 8, no. 1 (2020): 57–85.
[24] Jalaluddin al-Suyuthy, al‐Asybâh Wa al‐Nadzâir, Juz 1 (Kairo-Mesir: Dar el-Salam, 2009). J.1 hal.221
[25] Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2006, hal. 18 dalam Ahmadi Hasan, Adat Badamai, Interaksi Hukum Islam Dan Hukum Adat Pada Masyarakat Banjar (Banjarmasin: Tahura Media, 2020). hal. 163
[26] Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah (Yogyakarta: Kanisius, 2001). hal. 210
[27] Sofyan Sitompol Dahlan Sinaga, Penemuan Hukum Dalam Perspektif Teori Keadilan Bermartabat (The Dignified Justice Jurisprudence) (PT. Imaji Cipta Karya, 2021). hal. 240
[28] Amran Suadi, Filsafat Pengetahuan Dan Kebenaran, Implementasi Dalam Putusan Hakim, Cetakan I (Jakarta: Kencana, 2022). hal. 11
[29] Lihat Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
[30] Mahkamah Agung RI, Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim, 2006
[31] Mukti Arto, Pembaruan Hukum Islam Melalui Putusan Hakim, Cet. 1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015). hal.3
[32] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Cetakan I (Yogyakarta: CV Maha Karya Pustaka, 2020). hal. 69 – 74
[33] Abdul Hakim, “Mewujudkan Putusan Pengadilan Yang Memenuhi Moral Justice, Legal Justice, Dan Social Justice” (Bimbingan Teknis oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Jakarta, September 7, 2023), https://ditbinganis.badilag.net/pengembangan/home/online_detil/0908fc26bade7cb36d4b11117be704ee.