Muhkam dan Mutasyabih
MUHKAM DAN MUTASYABIH
Oleh: Rasyid Rizani, S.HI., M.HI
(Hakim pada Pengadilan Agama Bajawa – NTT)
Abstrak
Kitab suci Al-Qur’an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW sebagai risalah yang memberikan petunjuk kepada manusia dari kesesatan kepada kebenaran, juga dari kegelapan kepada cahaya iman, islam, dan ihsan. Jika seandainya pohon-pohon yang ada di dunia ini dijadikan pena dan air laut dijadikan tinta, niscaya tidak akan cukup menuliskan ilmu-ilmu yang terdapat di dalam Al-Qur’an.
Ilmu-ilmu yang ada di dalam al-Qur’an itu banyak sekali, tetapi yang akan kami bahas hanya sekitar ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih yang masing-masing ulama berbeda-beda pendapat tentang pemahaman ayat-ayat tersebut. Ada yang mengatakan ayat mutasyabih adalah rahasia Allah, Allah saja yang mengetahui maksudnya. Tapi ada juga yang berpendapat bahwa orang-orang yang mendalam ilmunya dapat mengetahui makna dari ayat-ayat mutasyabih itu.
Untuk lebih jelasnya, kami akan membahasnya pada makalah kami yang berjudul Muhkam dan Mutasyabih ini.
A. Definisi Muhkam Dan Mutasyabih.
Muhkam, menurut Ahmad Von denffer dalam bukunya Ilmu Al-Qur’an Pengetahuan Dasar, kata muhkam dia sebut dengan kata ahkam ( tunggal, hukum ) berasal dari kata hakama, yang berarti memutuskan di antara dua masalah. Apabila kata tersebut dalam bentuk jamak, maka artinya adalah penilaian, keputusan dan lebih praktis lagi adalah mengambil keputusan dengan menunjuk pada ayat-ayat Al-Qur’an, terutama berkaiatan dengan hukum yang mengatur dan juga termasuk menentukan kebenaran dan kekeliruan. Inilah yang disebut dengan ahkam umum.
Mutasyabihat ( tunggal, mutasyabihat )berasal dari kata syubbiha yang artinya meragukan, dalam verbal noun berbentuk jamak artinya adalah tidak tentu atau hal yang meragukan. Dalam pengertian praktis adalah ayat-ayat al-Qur’an yang artinya tidak jelas atau belum sepenuhnya disetujui, sehingga terbuka bagi adanya dua atau lebih penafsiran.[1]
Sedangkan dalam buku seluk beluk Al-Qur’an karangan Drs. Zainal Abidin. S, ada banyak pendapat, namun kalau dilakukan observasi ada persamaan-persamaan dengan definisi-definisi Ahmad Von denffer yaitu :
1. Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui baik secara nyata ataupun melalui ta’wil. Sedangkan mutasyabih ialah ayat yang hanya diketahui oleh Allah seperti masalah kiamat, munculnya Dajjal, dan potongan huruf-huruf hija’ diawal surat.
2. Muhkam ialah ayat-ayat yang jelas maknanya, sedangkan mutasyabih ayat yang tak jelas maknanya.
3. Muhkam ialah ayat yang mengandung satu pena’wilan dan mutasyabih ialah ayat yang mengandung beberapa kemungkinan pena’wilan.
4. Muhkam ialah ayat yang berdiri sendiri sedangkan mutasyabih ialah ayat yang tak sempurna pemahamannya kecuali dengan menunjuk kepada ayat lainnya
5. Muhkam ialah ayat yang tidak dihapuskan, sedangkan mutasyabih ialah ayat yang sudah dihapuskan.[2]
Dalam kitab Zubdatul Itqan fi Ulumil Qur’an karangan Muhammad bin Alwi al-Maki al-Husni juga terjadi banyak pendefinisian yang berbeda akan tetapi maksudnya sama saja dengan buku-buku yang telah yang kami kutip di atas seperti :
1. Muhkam / ayat muhkam adalah ayat-ayat yang sudah diketahui / dipahami maksudnya baik itu zahirnya maupun ta’wilnya, sedangkan mutasyabih hanya Allah yang tahu dengan jelas maksudnya.
2. Muhkam itu adalah ayat yang jelas maknanya, sedangkan mutasyabih sebaliknya.
3. Muhkam ialah ayat yang tidak mengandung banyak pena’wilan artinya satu pena’wilan saja, sedangkan mutasyabih memiliki banyak pena’wilan.
4. Muhkam adalah ayat yang maknanya itu mudah dicerna dengan akal, sedangkan mutasyabih sebaliknya, seperti hitungan shalat-shalat dikhususkan puasa pada bulan Ramadhan bukan pada bulan Sya’ban.
5. Muhkam ayatnya dalam pemahamannya dapat dipahami melihat ayat itu sendiri, sedangkan mutasyabihat ayatnya tidak dapat dipahami dengan melihat ayat itu sendiri tapi harus dengan bantuan ayat lain.
6. Muhkam itu berisi tentang faraid-faraid, janji baik dan janji buruk, sedangkan mutasyabihat berisi tentang kisah-kisah dan permasalahan-permasalahan.
Dari Ibn Abi Hatim, dari Ali bin Abi Thalib dari Ibn Abbas: Muhkam itu Nasikhnya, halalnya, haramnya, faraid-faraidnya dan apa yang berkaiatan dengannya di imani dan diamalkan sedangkan mutasyabih mansukhnya, muqadimah, akhirnya, permisalan-permisalannya, bagian-bagiannya, dan apa yang berkaitan dengannya di imani tapi tidak perlu diamalkan.
Dari Abdu bin Hamid dari Dihaq : Muhkam adalah apa-apa yang tidak dinasakh, sedangkan mutasyabih adalah apa-apa sudah dinasakh.
Dari Ibn Abi Hatim, dari Maqatil bin Hayyan berkata, Mutasyabihat itu seperti Alif Lam Mim, Alif Lam Mim Shad, alif Lam Mim Ra, Alif Lam Ra. Telah berkata Ibn Abi Hatim : yang telah diriwayatkan oleh Ikrimah dan Qatadah, dan lain-lain : Sesungguhnya Muhkam itu yang di imani dan diamalkan sedangkan mutasyabih di imani tapi tidak perlu diamalkan.[3]
B. Al-Qur’an Tentang Ahkam Dan Mutasyabih.
Al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa di dalamnya terkandung 2 jenis ayat yang keduanya merupakan bagian terpenting kitab tersebut, dan keduanya harus diterima sepenuhnya.[4]
Firman Allah SWT :
“Dia-lah yang menurunkan kitab kepadamu kitab Al-Qur’an di antaranya ayat-ayat Muhkamah itulah pokok-pokok ( Al-Qur’an ) sedang yang lainnyaMutasyabihat. Adapun orang yang hatinya condong kepada kesesatan, mereka mengikuti mutasyabiha, karena ingin mencari perselisihan, dan mencari-cari ta’wilnya ( yang sesungguhnya ) kecuali Allah. Dan mereka yang mendalam ilmunya akan berkata” Kami beriman kepada Al-Qur’an, ( yang ) seluruhnya dari Tuhan kita dan tiada yang mau memetik pelajaran, kecuali orang yang mempunyai fikiran. ( Q.S Ali-Imran : 3 ).[5]
Namun dalam buku seluk beluk Al-Qur’an, mengenai masalah ayat-ayat muhkam dan mutasyabih terdapat 3 pendapat :
1. Bahwa al-Qur’an seluruhnya adalah Muhkam seperti firman Allah SWT : “Suatu kitab yang dijelaskan ( Uhkimat ) ayat-ayatnya. ( Q.S Hud : 1 ).
2. Bahwa al-Qur’an seluruhnya adalah Mutasyabihat seperti firman Allah : “..…( yaitu ) Al-Qur’an yang Mutasyabih dan berulang-ulang.” ( Q.S Az-Zumar : 25 ).
3. Yang paling kuat ada yang Muhkam ada yang Mutasyabih, dengan beralasan kedua ayat tersebut di atas, sebab maksud uhkimat ayatuhu dalam ayat tersebut di atas menjelaskan tentang kesempurnaan al-Qur’an dan tidak adanya pertentangan antar ayat-ayatnya. Sedangkan maksud Mutasyabih dalam ayat di atas menerangkan segi kesamaannya dalam kebenaran, kebaikan, dan kemukjizatan.[6]
C. Mungkinkah Dapat Diketahui Ta’wil Ayat-Ayat Mutasyabih ?
Para ulama berbeda pendapat mengeni masalah ini, yaitu apakah mungkin ta’wil ayat mutasyabih dapat diketahui. Perbedaan pendapat ini muncul karena para ulama berbeda pandangan dalam memahami ayat al-Qur’an yang berbunyi ( والراسخون فى العلم). Apakah dia mubtada khabarnya ( يقولون). Dan waw nya lil isti’naf, dan wakaf pada firman Allah yang berbunyi : ( والراسخون فى العلم).
“Pendapat pertama yaitu berpendapat isti’naf, mereka adalah Ubay bin Ka’ab, Ibnu Ma’ud, Ibnu Abbas, dan lain-lain dari sahabat dan tabiin, dan sesudah mereka . berdalil dengan apa yang diriwayatkan oleh Hakim pada “Mustadrak” nya dari Ibnu Abbas sesungguhnya beliau membaca :
( ومايعلم تأويله الا الله ويقول الراسخون فى العلم امنا به ).
Dan qira’at Ibnu Mas’ud :
( وان تأويله الا عند الله والراسخون فى العلم يقولون امنا به ).
Terhadap orang yang mengartikan ayat ini ( mutasyabih ) cercaan bagi yang mengikuti ayat mutasyabih dan membuat-buat fitnah. Dari Aisyah beliau berkata : Rasulullah SAW membaca ayat ini yaitu : ( هو الذى انزل عليك الكتاب ….) sampai kepada ( اول الألباب ). Bersabda Rasulullah SAW: Apabila kamu melihat orang yang mengikuti ayat mutasyabih, maka mereka telah dicela oleh Allah maka jauhilah mereka. ( H.R Bukhari Muslim, dan lain-lain ).
“Pendapat kedua ataf, mereka adalah Mujahid telah diriwayatkan darinya, ia berkata : saya telah membaca mushaf Ibnu Abbas dari fatihah sampai penutupnya, saya sangat paham setiap ayat dan permasalahan tafsirnya. An-Nawawi mengutip pernyataan yang menyatakan dalam Syami Muslim : Sesungguhnya itu adalah sangat sah, karena tidak mungkin Allah berfirman kepada hambanya, dengan firman yng hambanya tidak dapat memahaminya.
Dua pendapat ini dapat disatukan dengan terlebih dahulu memahami ma’na ta’wil, menjelaskan bahwa sesungguhnya tidak ada perbedaan di antara 2 pendapat di atas. Lafaz-lafz ta’wil ada 3 makna :
1. Memaling lafaz yang rajih kepada yang marjuh dengan qarinah dalilnya, dan ini adalah istilah kebanyakan Mutaakhirin.
2. Ta’wil dengan makan tafsir, yaitu menafsirkan lafz hingga dapat dipahami maknanya.
3. Hakikat dita’wilkannya kalam. Maka ta’wil itu apa yang diberikan Allah tentang zatnya, sifatnya, yaitu Dia-lah hakikat zat yang suci dan apa yang dimilikinya dari pada hakikat “sifat”. Dan ta’wil yang diberitakan Allah mengenai hari akhir, keadaan setiap jiwa di hari akhir.
Maka yang berpendapat wakafnya pada ayat yang berbunyi ( ومايعلم تأويله الا الله) dan menjadikan ( والراسخون فى العلم) isti’naf, sesungguhnya berpedoman pada yang ketiga, artinya hakikat pena’wilannya itu sangat condong dan mengarah ke kalam Nya itu sendiri, hakikat zat Allah. Bagaimana nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, hakikat kembalinya manusia tidak ada yang tahu kebenarannya selain Allah.
Dan yang berpendapat wakafnya pada ayat yang berbunyi ( والراسخون فى العلم ), yang menganggap huruf waw di sini lil ataf bukannya isti’naf, sesungguhnya berpedoman pada makna ta’wil yang kedua atau yang memakai ta’wil dengan tafsir. Adapun Mujahid merupakan seorang Imam Mufassirin. As-Tsauri berkata : “Apabila kamu telah mempelajari tafsir Mujahid maka cukuplah sudah. Maka apabila ada yang mengatakan tahu ta’wil ayat mutasyabih maka maksudnya tahu tafsirnya.
Dan dengan ini sudah tidak ada perbedaan di antara dua pendapat itu pada akhirnya, sesungguhnya permasalahan ini berpangkal pada berbedanya pemaknaan ta’wil.[7]
D. Al-Muqath-tha’at.
Al-Muqath-tha’at adalah sebutan bagi “huruf-huruf singkatan” yang merupakan bagian penting dari mutasyabihat, dan sejauh ini maknanya belum diketahui dengan pasti, sebutan tersebut berasal dari kata Qatha’a yang artinya memotong dan artinya apa yang terpotong dan juga yang disingkat.
Dalam pengertian teknis, kata tersebut digunakan dalam ayat-ayat tertentu yang ditemukan di permulaan surat di dalam al-Qur’an yang biasanya disebut dengan “ayat-ayat yang disingkat”.
Ada empat belas huruf yang ada dalam berbagai kombinasi di permulaan 29 surat. Berikut ini adalah daftar tempat beradanya dan juga distribusinya di dalam Al-Qur’an :
· Alif Lam Raa : 10, 1, 12, 14, 15.
· Alif Laam Miim : 2, 29, 30, 31, 32.
· Alif Lam Miim Shaad : 7.
· Alif Laam Miim Raa : 13.
· Haa Miim : 40, 41, 43, 44, 45, 46.
· Shaad : 38.
· Thaa Siin : 27.
· Thaa Siin Miim : 26, 28.
· Thaa Haa : 20.
· Qaaf : 50.
· Kaaf Haa Yaa ‘Ain Shad : 19.
· Nuun : 68.
· Yaa Siin : 36.
Makna dan tujuan huruf-huruf tersebut tetap tidak jelas. Ada beberapa penjelasan yang ditawarkan oleh para ulama beberapa di antaranya adalah :
1. Beberapa huruf tersebut dianggap sebagai singkatan kalimat dan kata-kata, seperti misalnya Alif Laam Miim yang dianggap Anal-lahu-a’lam : atau Nuun yang berarti nuur ( cahaya ) dan lain-lainnya.
2. Huruf-huruf tersebut bukan singkatan melainkan hanya sebagai simbol dan nama-nama Allah, atau dan lain-lainnya.
3. Bahwa angka-angka tersebut memiliki makna numerik, sebagaimana halnya dengan huruf-huruf semitik lainnya yang biasa dianggap memiliki nilai atau harga tertentu.
4. Beberapa huruf-huruf tersebut dipergunakan sebagai penarik perhatian bagi Rasul ( dan para pengikutnya ) akan kandungan makna dari ayat-ayat selanjutnya.
Masih ada beberapa penjelasan lainnya, namun mungkin tidak perlu diungkapkan di sini. Huruf-huruf singkatan tersebut merupakan bagian dari wahyu Al-Qur’an, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Oleh sebab itu, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Al-Qur’an. Oleh sebab itu, huruf-huruf tersebut juga selalu dibaca ketika bagian-bagian yang sedang mengandung singkatan tersebut sedang dibaca. Ada salah sebuah ayat mutasyabihat yang menunjuk pada Al-qur’an itu sendiri ( 3 : 7 )yang maknanya hanya diketahui secara pasti oleh Allah semata. Al-Qur’an sendiri menyatakan hal tersebut :” …. ini adalah ayat-ayat Kitab ( Al-Qur’an ) yang terang. ( 12 : 1 ).[8]
E. Hikmah Diturunkannya Ayat-Ayat Mutasyabih.
Para ulama menyebutkan beberapa hikmah dari adanya ayat-ayat mutasyabih di antaranya :
1. Mengharuskan upaya yang lebih banyak untuk mengungkap maksudnya, sehingga dengan demikian menambah pahalanya.
2. Seandainya Al-Qur’an seluruhnya Muhkam niscaya hanya satu mazhab, sebab kejelasannya itu akan membatalkan semua mazhab lainnya, selanjutnya hal ini akan mengakibatkan para penganut mazhab tidak mau menerima dan memanfaatkannya. Tetapi jika mengandung Muhkam dan Mutasyabih, maka masing-masing dari penganut mazhab itu akan mendapatkan dalil yang menguatkan pendapatnya. Dengan demikian maka semua penganut mazhab memperhatikan dan memikirkannya. Jika mereka terus menggalinya maka ayat-ayat yang muhkam menjadi penafsiran bagi ayat-ayat mutasyabih.
3. Apabila Al-Qur’an mengandung ayat-ayat mutasyabih maka untuk memahaminya dapat diperlukan cara penafsiran dan tarjih antara satu dengan lainnya, selanjutnya hal ini memerlukan kepada berbagai ilmu seperti ilmu bahasa , gramatika, ma’any, bayan, ushul fiqh dan lain sebagainya. Seandainya tidak demikian niscaya tidak akan muncul ilmu-ilmu tersebut.
4. Al-Qur’an berisi da’wah kepada orang-orang tertentu dan umum. Orang-orang awam biasanya tidak menyukai hal-hal yang bersifat abstrak. Karena itu, jika mereka mendengar tentang sesuatu yang ada tetapi tidak berwujud fisik dan berbentuk, maka ia akan menyangka bahwa hal itu tidak benar, kemudian ia terjerumus kedalam fathil ( peniadaan sifat-sifat Allah ), oleh sebab itu, sebaiknya mereka diajak bicara dengan bahasa yang menunjukan kepada apa yang sesuai dengan imajinasi dan khayalnya dan dipadukan dengan kebenaran yang bersifat empirik.[9]
A. Kesimpulan.
1. Ada banyak sekali definisi Muhkam dan Mutasyabih, salah satu definisi Muhkam adalah : ayat yang maksudnya dapat diketahui baik secara nyata maupun dengan cara ta’wil. Sedangkan Mutasyabih ayat Al-Qur’an yang artinya tidak jelas atau belum sepenuhnya disetujui, sehingga terbuka bagi adanya lebih dari satu penafsiran.
2. Al-Qur’an dengan jelas menyatakan bahwa ada dua macam ayat yang merupakan elemen penting dari al-Qur’an itu sendiri, yaitu ayat muhkam dan ayat mutasyabih.
3. Ada dua pendapat tentang mungkin tidaknya diketahui ta’wil ayat-ayat mutasyabihat. Pendapat pertama menyatakan hanya Allah yang mengetahui ta’wilnya, sedangkan pendapat kedua menyebutkan selain Allah, orang-orang yang mendalami ilmu ( والراسخون فى العلم ) juga dapat menta’wilkan ayat mutasyabih tersebut.
4. Al-Muqath-tha’at adalah sebutan bagi huruf-huruf yang merupakan bagian penting dari mutasyabihat, akan tetapi makna ini bukan makna yang pasti.
5. Hikmah diturunkan ayat mutasyabihat banyak sekali salah satunya untuk membuka cakrawala berpikir dan lain-lain.
B. Saran-Saran.
- Kepada para pembaca agar tidak hanya membaca makalah ini saja untuk memahami muhkam dan mutasyabih, akan tetapi juga merujuk kepada kitab-kitab yang sudah mastur dan diakui oleh dunia Islam.
- Agar tidak hanya mempelajari tentang masalah ini saja, akan tetapi mempelajari bagian-bagian lain yang tidak kalah penting yang merupakan bagian dari Ulumul Qur’an.
- Untuk dapat membetulkan kesalahan pada makalah ini atau mengkritiknya dengan kritikan yang membangun.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim.
Al-Qattan, Manna’. Mabahits fi Ulumil Qur’an. Cetakan 1973 – 1393.
Al-Husni, Muhammad bin Alwi Al-Maki. Zubdatul Itqan fi Ulumil Qur’an. Beirut. Darul Fikri.
Denffer, Ahmad Von. Ilmu Al-Qur’an, Pengetahuan Dasar. Jakarta. Rajawali Press.
S, Zainal Abidin. Seluk-Beluk Al-Qur’an. Penerbit Rineka Cipta.
[1] Ahmad Von denffer. Al-Qur’an, Pengetahuan Dasar. Jakarta : Rajawali Press. Hlm. 87.
[2] Drs. Zainal Abidin. S. Seluk Beluk Al-Qur’an. Penerbit Renika Cipta. Hlm. 186.
[3] Muhammad bin Alwi al-Maki al-Husni. Zubdatul Itqan fi Ulumil Qur’an. Darul Fikri. Hlm. 83 – 84.
[4] Ahmad Von denffer. Op. Cit. hlm. 87.
[5] Q.S Ali-Imran ayat 3.
[6] Drs. Zainal Abidin. S. Op. Cit. hlm. 185 – 186.
[7] Mann’ Al-Qattan. Mabahits fi ulumil Qur’an. Cetakan 1973 – 1393. hlm. 217 – 219.
[8] Ahmd Von denffer. Op. Cit. hlm. 92 – 94.
[9] Drs. Zainal Abidin S. Op. Cit. hlm. 189.