Turki Utsmani (Kemajuan dan Kemundurannya)
TURKI UTSMANI
(Kemajuan dan Kemunduran)
OLEH : RASYID RIZANI, S.HI., M.HI
(Hakim pada Pengadilan Agama Bajawa NTT)
A. PENDAHULUAN
Rentang sejarah antara tahun 923 – 1342 H dari sejarah Islam merupakan masa Utsmaniyah. Selama 5 abad pemerintahan Utsmaniyah telah memainkan peran yang pertama dan satu-satunya dalam menjaga dan melindungi kaum muslimin. Utsmaniyah merupakan pusat khilafah Islamiah, karena merupakan pemerintahan Islam yang terkuat pada masa itu, bahkan merupakan negara paling besar di dunia.
Sekalipun telah muncul sejak tahun 699 H/1299 M, namun pemerintahan ini belum menjadi khilafah. Orang-orang Utsmaniyah belum mengumumkan kekhilafahan mereka, hingga akhirnya khalifah Abbasiyah di kairo menyerahkan kepada mereka kekhalifahannya pada tahun 923 H/1517 M.[1]
Turki Utsmani menjadi negara adikuasa setelah menaklukan Byzantium (1453 M), yang penting terutama untuk mengembangkan wilayah Islam. Dinasti Turki Utsmani berkuasa lebih dari 6 abad. Wilayah kekuasaan meliputi sebagian Asia, Afrika, dan Eropa. Puncak kejayaan Turki Utsmani berlangsung pada masa pemerintahan Sulaiman I (1520 – 1566 M). setelah itu, kerajaan Turki Utsmani semakin lemah karena pemberontakan internal dan kalah perang melawan bangsa Eropa. Kejayaan Utsmani akhirnya diganti dengan Republik Turki.
B. Proses Pembentukan Kerajaan Turki Utsmani
Kerajaan Turki Utsmani berdiri pada tahun 1281 M di Asia Kecil. Pendirinya ialah Utsman bin Erthogril. Wilayah kekuasannya meliputi Asia Kecil dan daerah Trace (1354 M), kemudian menguasai selat Dardaneles (1361 M), Casablanca (1389 M), Kerajaan Romawi (1453 M).[2]
Kata Utsmani diambil dari nama kakek mereka, pendiri kerajaan ini yaitu Utsman bin Erthogril bin Sulaiman Syah dari suku Qayigh, salah satu kabilah Oghuz yang mendiami daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina. Dalam jangka waktu kira-kira 3 abad, mereka pindah ke Turkistan, kemudian ke Persia dan Irak. Mereka masuk Islam sekitar abad ke-9 atau ke-10, ketika mereka menetap di Asia Tengah. Di bawah tekanan-tekanan serangan Mongol pada abad ke-13 M, mereka melarikan diri ke daerah Barat dan mencari tempat pengungsian di tengah-tengah saudara mereka, orang-orang Turki Seljuk, di dataran tinggi Asia Kecil. Di sana di bawah pimpinan Erthogril, mereka mengabdikan diri kepada Sultan Alauddin II, Sultan Seljuk yang kebetulan sedang berperang melawan Byzantium. Atas bantuan mereka, Sultan Alauddin mendapat kemenangan, maka atas jasa baik itulah kemudian dia memberikan sebidang tanah di Asia Kecil yang berbatasan dengan Byzantium. Sejak saat itu mereka terus membina wilayah barunya dan memilih kota Sukud sebagai ibu kota.[3]
Erthogril meninggal dunia tahun 1289 M, kemudian dia digantikan oleh puteranya, Usman. Usman inilah yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Turki Utsmani. (1290 – 1326 M). Sebagaimana ayahnya, ia banyak berjasa kepada sultan Alauddin II dengan keberhasilannya menduduki benteng-benteng Byzantium yang berdekatan dengan kota Broessa.
Pada tahun 1300 M, bangsa Mongol menyerang Kerajaan Seljuk dan sultan Alauddin terbunuh. Kerajaan Seljuk Rum ini kemudian terpecah-pecah dalam beberapa kerajaan kecil, Utsman pun menyatakan kemerdekaan dan berkuasa penuh atas daerah yang didudukinya. Sejak saat itulah kerajaan Turki Utsmani dinyatakan berdiri, dengan penguasa pertamanya Usman yang sering juga disebut dengan Usman I.[4] Dalam waktu yang bersamaan, wilayah Anatolia yang sebagian besar dikuasai Byzantium berada dalam keadaan bercerai-berai, pertentangan keagamaan (Kristen) juga timbul di wilayah Balkan, di samping itu juga terjadi pertentangan politik yang memudahkan pasukan Utsmani untuk menguasai wilayah daratan Eropa satu demi satu.[5] Kekuatan militer Usman menjadi benteng pertahanan sultan dinasti-dinasti kecil dari ancaman bahaya serangan Mongol. Dengan demikian,secara tidak langsung mereka mengakui Usman sebagai penguasa tertinggi dengan gelar “Padisyah Ali Utsman”.[6]
Sekalipun kerajaan Turki Utsmani memproklamirkan dirinya menjadi penguasa tunggal (khalifah) dari Dunia Islam, namun de factonya di beberapa wilayah masih berkuasa unsur Dinasti Shafawiyah Persia (de factonya wilayah Iran dan Khurasan) dan Dinasti Mogul (de factonya di timur Afghanistan sampai India). Di Sumatera berdiri Kerajaan Aceh Darussalam yang berdaulat penuh, yang wilayah kekuasannya melebar hampir seluruh pulau Sumatera dan sebagian besar semenanjung Tanah Melayu.
Adapun wilayah-wilayah yang dikuasai penuh oleh Turki Utsmani adalah : Asia Kecil, semananjung Balkan, pulau-pulau di Laut Tengah, Mesir, Syam, Marokko, Tunisia, Al jazair, Lybia, dan beberapa daerah lain yang membentang dari Teluk Persia dan sungai Dajlah di Timur sampai ke Samudera Atlantik di Barat; dari Asia Kecil dan Laut Tengah di utara sampai khatulistiwa dan laut arab di sebelah selatan, yang semuanya itu berbahasa Arab. Daulah Utsmaniyah membiarkan para sultan dari Dinasti Mamalik tetap menjadi penguasa dari wilayah Mesir dan Syam, karena mereka unsur Turki dan menganut Sunni.[7]
Kalau kita melihat sejarah proses terbentuknya kerajaan Turki Utsmani ini, ada beberapa point yang merupakan faktor penyebabnya, yaitu :
1. Hancurnya Dinasti Seljuk Rum
2. Wilayah Anatolia di bawah Byzantium dalam keadaan bercerai berai
3. Pertentangan keagamaan (Kristen) di Balkan
4. Pertentangan kekuasaan dan politik
Gelar bagi penguasa Utsmani, Padisyah atau sultan, menandai kaitannya dengan tradisi kerajaan Persia, akan tetapi, ia juga ahli waris tradisi Islam, dan dapat mengklaim sebagai pelaksana otoritas yang absah dalm terma-terma Islam. Klaim ganda ini tampak pada gelar yang digunakan dalam dokumen-dokumen resmi
Paduka yang mulia, sultan yang penuh kemenangan dan kesuksesan, penguasa yang memperoleh pertolongan Allah, yang pakaian dalamnya adalah kemenangan, padisyah yang kejayaannya setinggi langit, raja diraja yang laksana bintang-gemintang, bertahtakan mahkota kerajaan, bayangan Tuhan Yang Maha Pemberi, puncak kerajaan, lambang keberuntungan, garis keadilan yang seimbang, kesempurnaan penuh keagungan, lautan kasih sayang dan kemanusiaan, mutiara kemurahan hati, sumber monumen keberanian, wujud cahaya kebahagiaan, penegak rukun-rukun Islam, penulis keadilan di atas lembaran waktu, sultan dua benua dan dua lautan, penguasa dua timur dan dua barat, pelayan dua tempat suci, pemilik yang sama dengan nama Rasul untuk manusia dan jin, yaitu Sultan Muhammad Khan.[8]
Adapun gelar khalifah bagi penguasa Utsmani mengandung arti bahwa sang sultan lebih dari sekedar penguasa lokal, dan menggunakan kekuasaanya untuk tujuan yang diridhai agama. Adakalanya para penulis Utsmani mengklaim bahwa sang sultan menempati kedudukan yang utama di Dunia Islam dan merupakan “khalifah yang agung”.[9]
Demikianlah secara singkat tentang proses terbentuknya kerajaan Turki utsmani, yang asalnya hanyalah sebuah gerakan kelompok suatu kabilah, kemudian dengan perjuangan dan taktik politiknya sehingga menjadi sebuah kerajaan besar sepanjang sejarah umat Islam.
C. Perluasan Wilayah
Untuk sekitar 2/3 abad setelah didirikan di Anatolia pada tahun 1300 dengan mengorbankan kekaisaran Byzantium, dan dididrikan di atas reruntuhan kerajaan Saljuk, kerajaan Turki utsmani hanyalah sebuah emirat di perbatasan. Ibu kota negara ini pertamakali didirikan pada 1326, adalah Brusa (Bursa).[10]
Pada masa pemerintahan Orkhan (726 H/1326 M – 761 H/1359 M) Kerajaan Turki Usmani dapat menaklukan Azmir (Smirna) tahun 1327 M, Thawasyanli (1330 M), Uskandar (1338 M), Ankara (1354 M), dan Gallipoli (1356 M). daerah ini merupakan bagian dari benua Eropa yang pertamakali diduduki Kerajaan Usmani.
Pada masa pemerintahan Murad I (761 H/1359 M – 789 H/1389 M), selain memantapkan keamanan negara, ia juga memperluas daerah kekuasaan dengan menaklukan Adrianopel yang selanjutnya dijadikan sebagai ibu kota kerajaan yang baru, Macedonia, Sopia, Salonia, dan seluruh bagian utara wilayah Yunani. Karena merasa cemas terhadap kemajuan kerajaan Usmani ini, Paus kemudian mengobarkan semangat perang. Untuk memukul mundur pasukan Turki pasukan sekutu Eropa di bawah pimpinan Sijisman, raja Hongaria diperintahkan menyerang Turki Usmani, namun Sultan Bayazid I (1389 – 1403 M), pengganti Murad I dapat menghancurkan pasukan sekutu Kristen itu.[11]
Ekspansi kerajaan Turki usmani ini sempat terhenti beberapa lama, ketika ekspansi diarahkan ke Konstatinopel, tentara Mongol di bawah pimpinan Timur Lenk menyerang Asia Kecil, pertempuran hebat itu tejadi di Ankara tahun 1402 M yang mengakibatkan kalahnya tentara Turki usmani. Sultan Bayazid bersama puteranya Musa tertawan dan wafat dalam tawanan tahun 1403 M.[12]
Akibat kekalahan itu, penguasa-penguasa Seljuk di Asia Kecil melepaskan diri dari gengamana Turki usmani. Wilayah-wilayah Serbia dan Bulgaria juga memproklamasikan kemerdekaan. Dalam pada itu putera-putera Bayazid saling berebut kekuasaan. Suasana buruk ini baru berakhir setelah Sultan Muhammad I (1403 – 1421 M) dapat mengatasinya. Ia berusaha keras menyatukan negaranya dan mengembalikan kekuatan dan kekuasaan seperti sediakala.
Setelah Timur Lenk meninggal dunia tahun 1405 M, kesultanan Mongol dipecah dan dibagi-bagi kepada putera-puteranya yang satu sama lain saling berselisih. Kondisi ini dimanfaatkan oleh penguasa Turki usmani untuk lepas dari kekuasaan Mongol. Namun pada saat seperti itu juga terjadi perselisihan antara putera-putera bayazid (Muhamamd, Isa dan Sulaiman) selama 10 tahun, yang pada akhirnya Muhammad berhasil mengalahkan saudara-saudaranya. Usaha yang ia lakukan pertama kali adalah mengadakan perbaikan-perbaikan dan meletakkan dasar-dasar kemananan dalam negeri. Usahanya ini kemudian dilanjutkan oleh Murad II (1421 – 1451 M), sehingga Turki usmani mencapai puncak kemajuannya di masa Muhammad II yang disebut Muhammad al-Fatih (1451 – 1484 M).[13] Pada tahun 1453 ia menaklukan Bizantium dan Konstatinopel yang secara formal mengantarkan negara ini pada satu era baru yaitu era kerajaan. Raksasa baru ini mengangkang di Bosparus, satu kakinya di asia dan kaki lainnya di Eropa.[14]
Dengan takluknya Konstatinopel sebagai benteng pertahanan terkuat kerajaan Bizantium, maka semakin mudahlah arus ekspansi Turki usmani ke Benua Eropa. Namun ketika Sultan Salim I (1512 – 1520 M) berkuasa, ia mengalihkan perhatian ke arah Timur dengan menaklukkan Persia, Syria dan Dinasti Mamalik di Mesir. Usahanya ini kemudian dikembangkan oleh Sultan Sulaiman al-Qanuni (1520 – 1566 M). Sulaiman berhasil menundukkan Irak, Belgrado, Pulau Rhodes, Tunis, Budapest, dan Yaman. Demikianlah luas wilayah kerajaan Turki Usmani pada masa Sultan Sulaiman ini mencakup Asia Kecil, Armenia, Irak, Syria, Hejaz, dan Yaman di Asia; Mesir, Libia, Tunis, dan Al-Jazair di Afrika; Bulgaria, Yunani, Yugoslavia, Albania, Hongaria, dan Rumania di Eropa.[15]
Setelah Sultan Sulaiman meninggal dunia, terjadilah perebutan kekuasaan antara putera-puteranya, yang menyebabkan kerajaan Turki Usmani mundur. Akan tetapi, walaupun terus mengalami kemunduran, kerajaan ini untuk masa beberapa abad masih dipandang sebagai negara yang kuat, terutama dala bidang militer, kerajaan ini memang masih bertahan 5 abad lagi setelah itu.[16]
D. Perkembangan dan Kemajuan Peradaban
Secara garis besar, peta perkembangan kerajaan Turki Utsmani dapat dibagi menjadi beberapa periode yaitu sebagai berikut :
Periode Pertama, periode ini dimulai dari berdirinya kerajaan, ekspansi pertama sampai kehancuran sementara oleh serangan Timur. Sultan-sultannya adalah sebagai berikut : Utsman I (1299-1326), Orkhan (1326-1359), Murad I (1359-1389), Bayazid I Yilldirim (1389-1402). (masa kesultanan)
Periode Kedua, periode ini ditandai dengan restorasi kerajaan dan cepatnya pertumbuhan sampai ekspansinya yang terbesar. Sultan-sultannya adalah: Muhammad I (1403-1421), Murad II (1421-1451), Muhammad II Fatih (1451-1481), Bayazid II (1481-1512) (masa kesultanan), Salim I (1512-1520), Sulaiman I Qanuni (1520-1566) (masa khilafah Utmaniyah).
Periode Ketiga, periode ini ditandai dengan kemampuan kerajaan Turki Utsmani mempertahankan wilayahnya, sampai lepasnya Hungaria, sampai kemunduran terjadi. Terdapat sultan-sultan yang berkuasa setelah kemundurannya, yaitu : Salim II (1566-1573), Murad III (1573-1596), Muhammad III (1596-1603), Ahmad I (1603-1617), Mustafa I ( 1617-1618), Usman II (1618-1622), Mustafa I (yang keduakalinya) (1622-1623), Murad IV (1623-1640), Ibrahim I (1640-1648), Muhammad IV (1648-1687), Sulaiman III (1687-1691), Ahmad II (1691-1695), Mustafa II (1691-1703).
Periode Keempat, periode ini ditandai dengan secara berangsur-angsur surutnya kekuatan kerajaan dan pecahnya silayah di tangan para penguasa wilayah. Sultan-sultannya adalah : Ahmad III (1703-1730), Mahmud I (1730-1754), Usman III (1754-1757), Mustafa III (1757-1774), Abdul Hamid I (1774-1788), Salim III (1789-1807), Mustafa IV (1807-1808), Mahmud II (1808-1839).
Periode Kelima, periode ini ditandai dengan kebangkitan kultural dan administratif dari negara di bawah pengaruh ide-ide Barat. Sultan-sultannya adalah : Abdul Majid I (1839-1861), Abdul Aziz (1861-876), Murad V (1876-1876), Abdul Hamid II (1876-1909), Muhammad V (1909-1918), Muhammad VI (1918-1922), Abdul Majid II (1922-1924), hanya bergelar khalifah, tanpa sultan yang akhirnya diturunkan pula dari jabatan khalifah. Turki Utsmani dihapus oleh Kemal Attatruk dan menjadi negara nasional Republik Turki.[17]
Dari 5 periode kekuasaan kerajaan Turki Utsmani di atas, ada beberapa point penting yang bisa dijabarkan, di antaranya :
1. Pada masa Sultan Murad I (periode I), Gallipoli dijadikan sebagai tempat pemusatan pasukan untuk penaklukan Balkan. Ia menaklukan Adrianopel (kota kedua terbesar di Byzantium setelah Constatinopel) (1361), Philippopolis (Filibe) (1363), Macedonia (1371-1387), Bulgaria Tengah (1382), Sofia (1385), Nish (1386), dan Kosovo (1389).
2. Pada masa Sultan Muhammad II (periode II) yang dijuluki “sang penakluk” (al-Fatih / The Conqueror) karena jasanya dalam menaklukkan Constatinopel pada tahun 1453. Ia dikenal sebagai seorang yang cerdas dan menguasai 6 bahasa.
3. Pada masa Sultan Sulaiman I (periode II), yang digelari “Yang Agung” (al-Qanuni atau The Magnificent) karena berjasa dalam meletakkan dasar-dasar hukum bagi Usmani dan sebagai sultan yang paling lama memerintah (1520-1566).[18]
Faktor-Faktor Kemajuan
Terdapat beberapa faktor yang mendukung kemajuan Turki Utsmani, di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Adanya pemberian hadiah berupa tanah kepada tentara yang berjasa menyebabkan mereka hidup berkecukupan dan mempunyai kedudukan tinggi di masyarakat.
2. Tidak adanya diskriminasi dari pihak penguasa.
3. Kepengurusan organisasi yang cakap.
4. Pihak Turki memberikan perlakuan yang baik terhadap saudara-saudara baru dan memberikan kepada mereka hak rakyat secara penuh baik dalam kehidupan beragama maupun kemasyarakatan sehingga mereka menaruh simpati dan kemudian memeluk agama Islam.
5. Turki telah menggunakan tenaga-tenaga yang profesional dan terampil, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan.
6. Kedudukan sosial orang-orang Turki menarik minat penduduk negeri-negeri Balkan untuk memeluk islam.
7. Rakyat yang memeluk agama Kristen hanya dikenai biaya perlindungan (Jizyah) yang relatif murah dibanding dengan masa pemerintahan Byzantium
8. Kebebasan menjalankan agama sesuai dengan kepercayaan masing-masing.
9. Karena Turki tidak fanatik agama, wilayah-wilayah Turki menjadi tempat perlindungan orang-orang Yahudi dari serangan kerajaan KristenSpanyol dan Portugal pada abad ke-16.[19]
Secara terperinci kemajuan-kemajuan yang dicapai kerajaan Turki Utsmani di berbagai bidang, antara lain :
1. Bidang militer dan perluasan wilayah, ada beberapa kemajuan yang terlihat dibidang militer ini, yakni :
a. Pecahnya perang dengan Byzantium, mengilhami khalifah Orkhan untuk mendirikan pusat pendidikan dan pelatihan militer sehingga terbentuklah sebuah kesatuan militer yang disebut Yeniseri atau Inkisariyah (Arab).
b. Di bidang perluasan wilayah misalnya, dengan jatuhnya kota-kota seperti Adriannopel, Macedonia, Bulgaria dan Serbia pada masa pemerintahan Sultan Murad.
c. Takluknya kekuatan imperium Romawi Timur, semenanjung Maura, Serbia, Albania sampai ke perbatasan Bundukia pada masa Sultan Muhammad al Fatih
d. Atas perhatian yang serius dari Sultan Muhammad al Fatih, terjadi pembangunan di berbagai bidang seperti perniagaan di ibu kota Konstatinopel, bahkan kota itu menjadi pusat perdagangan di perlintasan benua Asia dan Eropa.
e. Salah satu peninggalan yang penting adalah, diubahnya gereja St. Shopia menjadi Mesjid dengan nama Aya Sophia sebagai lambang kemenangan umat islam di kota Konstatinopel oleh Sultan Muhammad al Fatih. Dengan dihiasi arsitektur Islam, bertuliskan kaligrafi Al-Qur’an dengan tinta emas did inding dan tiang mesjid, maka mesjid ini menjadi mesjid yang terindah di dunia.[20]
2. Bidang pemerintahan, bentuk pemerintahan kerajaan Turki Utsmani adalah Feodal, tentara yang berjasa diberikan sebidang tanah yang dikendalikan oleh para petani. Bagi tentara yang berbakti secara pribadi juga akan diberikan hadiah yang lebih luas, demikian juga para gubernur. Ada beberapa hal yang penting di bidang pemerintahan ini, yaitu :
a. Sultan adalah penguasa tertinggi, pelantikannya mengikuti sistem feodal. Ia merupakan penguasa tertinggi baik dalam bidang agama, politik, pemerintahan, bahkan sampai masalah-masalah perekonomian. Pada mulanya sultan ini adalah para amir yang menjadi tuan tanah pada masa Seljuk yang berpusat di Konya.
b. Orang kedua yang berkuasa setelah sultan adalah wazir. Ia adalah ketua badan penasehat kesultanan yang membawahi semua wazir dan amir.
c. Di setiap daerah terdapat qadi yang merupakan pemimpin agama di daerah tersebut yang mempunyai kekuasaan untuk menjalankan hukum pidana dan perdata menurut syari’at islam berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits.
d. Pada masa Sultan Salim I dibentuk Majelis Syaikhu al-islami (Mufti) berkedudukan di Istanbul, yang tugas utamanya memberikan fatwa dalam semua permasalahan keagamaan, termasuk keputusan perang terhadap sesama Muslim. Ia juga diberi hak untuk melantik pegawai-pegawai istana di ibu kota Istanbul.[21]
e. Untuk mengatur urusan pemerintahan negara, di masa Sultan Sulaiman I disusun sebuah kitab undang-undang (qanun) yang diberi nama Multaqa al-Abhur, yang menjadi pegangan hukum bagi kerajaan turki Utsmani sampai datangnya reformasi pada abad ke-19.[22]
f. Terbitnya undang-undang yang mengatur tentang pertanahan, yaitu Undang-Undang Agraria Usmani, yang mengatur: tanah dibagi menjadi beberapa kategori; al-Iqta’ al-asgar atau timar, diberikan kepada para tuan tanah, zi’amah, pemiliknya adalah mereka yang telah berjasa kepada negara, khass, diberikan kepada wali atau gubernur[23]
Penulis berpendapat, inilah salah satu yang menjadi inspirasi lahirnya sebuah gagasan terbentuknya sistem pemerintahan kerajaaan seperti sekarang, sistem pemerintahan yang kepala negaranya Raja atau Presiden namun kepala pemerintahannya perdana menteri (Turki Utsmani: wazir), adanya gubernur sebagai penguasa wilayah propinsi, hakim-hakim pengadilan Agama (Turki Utsmani: qadi), dan adanya Majelis Ulama (Majelis Syaikhu al-Islam), serta adanya sebuah peraturan untuk mengatur sistem pemerintahan (undang-undang) dan peraturan pemerintah lainnya.
3. Bidang agama dan budaya
Kebudayaan Turki merupakan perpaduan antara berbagai macam corak kebudayaan. Dari kebudayaan Persia lahirlah corak-corak yang artistik, pola-pola yang indah, ide-ide politik yang mengangkat keagungan raja, etika dan tata kehidupan istana ; dari Asia Tengah mewariskan kebiasaan berperang dan menaklukkan, kecenderungan untuk berasimilasi dengan lentur ; dari kebudayaan Byzantium mewariskan sistem organisasi pemerintahan dan konsep-konsep kemiliteran,; sedangkan dari kebudayaan Arab yang merupakan guru bagi bangsa Turki mewariskan ajaran tentang prinsip ekonomi, kemasyarakatan dan ilmu pengetahuan.[24]
Selama pemerintahan Turki Utsmani yang lebih menonjol kebanyakan di bidang militer, namun ada juga beberapa peninggalan yang berarti dibidang-bidang lain, seperti di bidang arsitektur: adanya sejumlah bangunan Islam dibangun dengan seni yang indah, Mesjid Muhammad al Fatih, Mesjid Agung Sulaiman, Mesjid Aya Shopia (dahulunya gereja St.Shopia), dan lain-lain.
Dalam bidang keagamaan, ulama mempunyai kedudukan yang tinggi dalam kehidupan negara dan masyarakat. Mufti sebagai pejabat tinggi agama, tanpa legitimasi Mufti keputusan hukum kerajaan tidak dapat berjalan.[25]
Pada masa ini tarekat juga mengalami kemajuan, tarekat yang paling berkembang adalah tarekat Bektasyi dan tarekat Maulawi. Kedua tarekat ini dianut oleh kalangan sipil dan militer. Tarekat Bektasyi mempunyai pengaruh yang sangat dominan dikalangan tentara Jenissari sehingga mereka sering disebut Tentara Bektasyi, sementara tarekat Maulawi mendapat dukungan dari para penguasa dalam mengimbangi Jenissari Bektasyi.[26] Selain itu, berkembang pula tarekat Naksyabandiyah yang disebarkan oleh Muhammad bin Muhammad Bahauddin Naqsyabandi yang lahir, hidup hingga wafat pada tahun 971 H/1389 M di Bukhara. Tarekat ini mengajarkan zikir dalam hati atau zikir diam dan tidak disuarakan dengan keras.[27]
Kajian-kajian ilmu keagamaan seperti fikih, ilmu kalam, tafsir dan hadits tidak mengalami perkembangan yang begitu berarti, karena para penguasa lebih cenderung menegakkan satu paham (mazhab) saja dan menekan paham yang lainnya. Misalnya Aultan Abdul hamid II begitu fanatik terhadap aliran Asy’ariyah, ia merasa perlu untuk mempertahankan aliran itu, oleh karena itu ia memerintahkan kepada Syekh Husien al-Jisr menulis kitab Al-Hushunu al-Hamidiyah (Benteng pertahanan Abdul Hamid) untuk melestarikan aliran yang dianutnya itu. Akibatnya ijtihad tidak berkembang, para ulama hanya menulis buku dalam bentuk syarah (penjelasan) dan hasyiyah (semacam catatan) terhadap karya-karya masa klasik.[28]
Kitab al-Hushunu al-Hamidiyah inilah yang merupakan salah satu warisan dari kerajaan Turki utsmani , di samping karya-karya lainnya, yang sampai sekarang diajarkan oleh mualim-mualim di sebagin pondok pesantren.
4. Bidang intelektual
Dari aspek intelektual ada beberapa hal yang dicapai olehTurki utsmani, yaitu :
a. Terdapat 2 buah surat kabar yang muncul pada masa ini. Yaitu; 1) Berita harian Takvini Veka (1831) dan 2) Jurnal Tasviri Efkyar (1862) dan Terjumani Ahval (1860).
b. Pendidikan, dengan terjadinya transformasi pendidikan , adanya sekolah dasar dan menengah (1861) dan perguruan tinggi (1869), juga mendirikan fakultas kedokteran dan fakultas hukum. Ada juga beasiswa bagi pelajar berprestasi untuk melanjutkan studinya di Perancis.[29]
Di bidang ilmu pengetahuan, seperti munculnya ilmuwan-ilmuwan besar di antaranya :
a. Haji Kholifa (Mustafa ibn Abdullah) (w.1068 H/1658 M), seorang yang berpengetahuan luas, prajurit yang berani, dan pengarang yang cakap. Kitab karangannya banyak mengenai sejarah, ilmu bumi, sejarah hidup, dan lain-lain, di antara karya-karyanya adalah: Kasyfu al-Dzunun (kamus yang memuat kira-kira 14.500 buah nama kitab dalam bahasa Arab yang disusun menurut abjad), Taqwimu al-Tawarikh, Tuhfatu al Kibar Fi Asfari al-Bihar tentang armada Daulah Usmaniyah, Mizan al Haq Fi Ikhtiyari al-Ahaq tentang tasawuf.
b. Daud Inthaqy (Daud ibn Umar al-Inthaqy al-Dharif) (w.1008 H/1598 M), seorang dokter yang terkenal, karya-karyanya seperti: Tadzkirah Uli al-Albab wa al-Jumu’u li al-Ujbi al-Ujab tentang kedokteran sebanyak 3 jilid, dan an-Nuzhatu al-Mubhiyah Fi Tasyhizi al-Azhan wa Ta’dili al-Amzijah tentang ilmu kedokteran.[30]
5. Bidang sastra dan bahasa
Kemajuan dibidang ini ditandai dengan munculnya sastrawan-sastrawan seperti: Ibrahim Shinasi pendiri surat kabar Tasviri Efkyar. Di antara karya yang dihasilkan adalah The Poets Wedding (komedi). Salah seorang pengikutnya dalah Namik Kemal dengan karyanya Fatherland atau Silistria. [31]
Dalam bidang sastra seni bersyair berkembang di Turki atas jasa Jalaluddin Rumi (dari Iran) (w.672 H/1273 M). di antara para penyair ternama Turki seperti : sultan Walid, putera jalaluddin Rumi, Yazzi Oghlu sangat ternama karena syairnya tentang sejarah hidup Nabi Muhammad SAW, Syekh Zada yang telah mengarang “Sejarah 40 orang menteri” yang dipersembahkan kepada Sultan Murad II, dan lain-lain.[32]
E. Kemunduran Turki Usmani dan Faktor-Faktor Penyebabnya
Pada abad ke-17 dan 18 berlangsung perubahan situasi yang sangat menonjol dalam sistem Utsmani dan sebuah desentralisasi kekuasaan secara serius. Dengan breakhirnya ekspansi Utsmani, beberapa institusi kerajaan kehilangan kapasitas administratif dan kemiliteran mereka, imperium dilanda sejumlah pemberontakan besar, kemorosotan ekonomi, dan akhirnya dilanda berbagai kekalahan militer.[33]
Tidak lama setelah wafatnya Sulaiman, kerajaan mulai menapaki jalan yang menurun curam, sebuah perjalanan panjang dan berliku. Kegagalan serangan kedua ke Wina tahun 1683 M dianggap sebagai tanda-tanda awal berakhirnya kerajaan; ekspansi Turki ke Eropa tidak mengalami kemajuan yang berarti. Penguasa Turki lebih banyak bertahan daripada menyerang. Kekuatan internal yang semakin melemah bertambah buruk dengan munculnya gangguan dari luar ketika abad ke-18 Perancis, Inggris, Austria dan terakhir Rusia mulai melebarkan pengaruh mereka dan melirik wilayah-wilayah yang dikuasai oleh “orang sakit” dari Eropa ini.
Di daerah Arab, wilayah Afrika Utara merupakan wilayah yang pertama lepas dari kekuasaan Usmani. Wilayah-wilayah itu membentuk satu blok tersendiri. Jarak yang dekat dengan Eropa Selatan, jautuh dari pusat islam di Asia Barat, lemahnya tradisi Islam, serta proporsi keturunan Berber dan Eropa yang lebih banyak membuat penduduk di wilayah ini bertindak mandiri untuk kemajuan mereka sendiri.
Aljazair merupakan negara Arab pertama yang memisahkan diri dari Turki Usmani, ini terjadi tahun 1830 M ketika pasukan Perancis mendarat di pantai dengan berpura-pura ingin membalas dendam atas aksi bajak laut, dan membalas penghinaan yang dilakukan oleh dey Husayn kepada seorang diplomat Perancis. 18 tahun kemudian, negeri itu dideklarasikan sebagai bagian dari wilayah Perancis berikut daerah pesisirnya. Ketika pasukan Amerika berlabuh di sana pada Nopember 1942 M, Laval memprotesnya, menuntut keluarnya dekrit 1848 yang menyatakan bahwa Aljazair merupakan perpanjangan wilayah dari Perancis. Konflik berdarah selama 80 tahun antara pasukan Perancis dengan pejuang kemerdekaan Aljazair berakhir pada 1962 dengan keluarnya suatu perjanjian perdamaian yang merintis jalan bagi kemerdekaan Aljazair.
Pada tahun 1881 M Tunisia juga diduduki Perancis dengan melakukan kebijakan politis yang sama sebagaimana yang dilakukan terhadap Aljazair, yaitu dengan menggantikan bahasa Arab sebagai bahasa kesusasteraan bagi penduduk pribumi. Di Tunisia ini, ribuan penduduk Perancis menetap di sana, situasi orang Tunisia semakin rumit dengan banyaknya bermunculan koloni-koloni Italia. Otonomi internal Tunisa disetujui pada 1955 M dan negara ini mendapat kemerdekaan penuh pada 1956 M. kini Tunisia dan Aljazair merupakan negara Republik.
Tripolitania merupakan pos terakhir Turki di antara negara-negara Berber. Ketika terjadi perang Turki – Italia tahun 1911 – 1912 M, Tripolitania direbut dari tangan Turki Usmani, dijadikan sebagai sebuah negara jajahan, dan bersama-sama Siranikus bergabung pada 1934 M menjadi negara Libya-Italia. Pada Perang Dunia II, pasukan Italia yang dibantu oleh Jerman diusir dari Libya oleh Pasukan Inggris, Perancis dan kekuatan pribumi. Negeri ini memproklamirkan diri sebagai negara merdeka tahun 1951 M.[34]
Faktor-faktor penyebab Kemunduran
Faktor-faktor yang menyebabkan mundurnya Turki utsmani dapat dikategorikan menjadi 2 faktor, yaitu :
1. Faktor internal
a. Luasnya kekuasaan dan buruknya sistem pemerintahan yang ditangani oleh orang-orang berikutnya yang tidak cakap, hilangnya keadilan, korupsi, meningkatnya kriminalitas.
b. Heterogenitas penduduk dan agama.
c. Kehidupan istimewa yang bermegahan dari para penguasa kerajaan.
d. Merosotnya perekonomian negara akibat peperangan yang pada sebagian besar Turki mengalami kekalahan. Di satu sisi negara mengalami defisit, sementara di sisi lain uang negara dihambur-hamburkan untuk kepuasan dan kesenangan penguasa.
2. Faktor eksternal
a. Timbulnya gerakan nasionalisme. Bangsa-bangsa yang tunduk terhadap kerajaan Turki Utsmani mulai menyadari kelemahan dinasti tersebut, maka kesempatan itulah mereka bangkit untuk melepaskan diri dari cengkraman kerajaan tersebut.
b. Terjadinya kemajuan teknologi di Barat, khususnya dibidang persenjataan. Sementara di Turki mengalami stagnasi ilmu pengetahuan, sehingga ketika terjadi kontak senjata, Turki mengalami kekalahan, karena masih menggunakan senjata tradisional.[35]
F. PENUTUP / KESIMPULAN
Dari pembahasan sebelumnya ada beberapa hal yang dapat disimpulkan, yaitu:
1. Kerajaan Turki Utsmani didirikan pada tahun 1281 M di Asia Kecil oleh Utsman bin Erthogril.
2. Ada beberapa faktor penyebab terbentuknya kerajaan Turki Utsmani yaitu: hancurnya dinasti Seljuk Rum, wilayah Anatolia di bawah Byzantium dalam keadaan bercerai berai, pertentangan keagamaan (Kristen) di Balkan, dan pertentangan kekuasaan dan politik.
3. Secara garis besar, peta perkembangan kerajaan Turki Utsmani terbagi menjadi 5 periode.
4. Dalam masa kejayaannya wilayah Turki Usmani meliputi Asia Kecil, Armenia, Irak, Syria, Hejaz, dan Yaman di Asia; Mesir, Libia, Tunis, dan Al-Jazair di Afrika; Bulgaria, Yunani, Yugoslavia, Albania, Hongaria, dan Rumania di Eropa.
5. Selama masa kekuasaanya, kerajaan Turki Utsmani memiliki berbagai macam kemajuan peradaban di berbagai bidang, antara lain: bidang militer dan perluasan wilayah. bidang pemerintahan, bidang agama dan budaya, bidang intelektual dan bidang sastra dan bahasa.
6. Faktor-faktor Kemajuan Turki utsmani di antaranya : tidak adanya diskriminasi dari pihak penguasa, kepengurusan organisasi yang cakap, kebebasan menjalankan agama sesuai dengan kepercayaan masing-masing, dan lain-lain.
7. Faktor-faktor yang menyebabkan mundurnya Turki utsmani dapat dikategorikan menjadi 2 faktor, yaitu : faktor internal dan faktor eksternal.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,Taufik et all, 2002, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
Ali, Amir K., 1996, A Study of Islamic History, terj. Gufron A. Mas’adi, Jakarta: Sri Gunting.
Hasjmy, A, 1995, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Hitti, Philip K., 1970, History of The Arabs, London: The Macmillan Press Ltd.
Hourani, Albert, 2004, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, Bandung: Mizan.
Lapidus, Ira M, 2000, Sejarah Sosial Umat Islam Buku Kesatu dan Kedua, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mughni, Syafiq A., 1997, Sejarah Kebudayaan Islam di Kawasan Turki, Jakarta: Logos
Nasution, Harun, Prof. Dr, 1985, Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, jilid I, Jakarta: UI Press, cet ke 5.
Sunanto, Musyrifah, Prof, Dr, Hj, 2003, Sejarah islam Klasik, Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, Jakarta: Prenada Media.
Syalabi, Ahmad, 1988, Sejarah dan Kebudayaan Islam: Imperium Turki Utsmani, Jakarta: Kalam Mulia.
Thohir, Ajid, Drs, M.Ag, 2004, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Melacak Akar-Akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
‘Usairy, Ahmad al-, 2003, al-Tārīkhu al-Islāmy, terj. Oleh H. Samson Rahman, MA, Sejarah Islam, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.
Yatim, Badri, Dr, MA, 2002, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Lampiran I
Daftar keturunan penguasa Turki Utsmani
Sultan-sultan kuat
(sebelum khilafah)
dua orang khalifah
Yang kuat
Para Khalifah pada Masa kelemahan
Para Khalifah pada masa Kemerosotan dan Kemunduran
[1]Ahmad al-‘Usairy, al-Tārīkhu al-Islāmy, terj. Oleh H. Samson Rahman, MA, Sejarah Islam, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003), h. 351
[2]Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Melacak Akar-Akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 181
[3]Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam: Imperium Turki Utsmani, (Jakarta: Kalam Mulia, 1988), h. 2
[4]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 130
[5]Taufik Abdullah, et all, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), cet. 1, h. 236
[6]Amir K. Ali, A Study of Islamic History, terj. Gufron A. Mas’adi, (Jakarta: Sri Gunting, 1996), h. 362
[7]A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 352 – 353.
[8]T.W. Arnold, The Caliphate, Edis Baru (London, 1965), h. 203, dikutip dari buku Albert Hourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, (Bandung: Mizan, 2004), h. 423
[9]Ibid
[10]Philip K. Hitti, History of The Arabs, (London: The Macmillan Press Ltd, 1970) h. 905.
[11]Badri Yatim, Op. Cit, h. 131
[12]A. Syalabi, Op. Cit, h. 7
[13]Badri yatim, Op. Cit, h. 132
[14]Philip K. Hitti, Op. Cit, h. 906. Lihat juga: Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, jilid I, (Jakarta: UI Press, 1985), cet ke 5, h. 84
[15]Badri Yatim, Loc. Cit
[16]Ibid, h. 133
[17]Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Kawasan Turki, (Jakarta: logos, 1997), cet. 1, h. 54 – 66
[18]Taufik Abdullah et all, Op. Cit, h. 233-235
[19]Ajid Thohir, Op. Cit, h. 189-190
[20]Ibid, h. 183-185
[21]Ibid, h. 186
[22]Philip K. Hitti, Op. Cit, h. 713-714
[23]Taufik Abdullah, et all, Op. Cit, h. 23
[24]Philip K. Hitti, Op.Cit h. 912-913
[25]Ajid Thohir, Op. Cit, h. 187
[26]Badri Yatim, Op. cit, h. 137
[27]Taufik Abdullah et all, Op.Cit, h. 238
[28]Badri Yatim, Loc. Cit
[29]Ibid, h. 188
[30]Hj. Musyrifah Sunanto, Sejarah islam Klasik, Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 243
[31]Ajid Thohir, Loc. Cit
[32]Hj. Musyrifah Sunanto, Op. Cit, h. 244
[33]Ira M. Lapidus,Sejarah Sosial Umat Islam Buku Kesatu dan Kedua, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 514
[34]Philip K. Hitti, Op. Cit, h. 914 – 915
[35]Ibid, h. 191-192