June 22

Legislasi Hukum Islam di Indonesia

LEGISLASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Oleh: Rasyid Rizani, S.HI., M.HI

(Hakim Pratama Utama pada Pengadilan Agama Labuan Bajo, NTT)

  1. Landasan Historis
  2. Hukum Islam dalam Konstitusi

Membicarakan posisi hukum Islam dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak terlepas dari sejarah tentang keberadaan Piagam Jakarta dengan tujuh kata di dalamnya: “dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Walaupun draf Piagam Jakarta itu sudah disetujui pada tanggal 22 Juni 1945 untuk menjadi preambule Konstitusi RI, namun pada tanggal 18 Agustus 1945 (sehari setelah proklamasi), tujuh kata tersebut dicoret dan diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan dicoretnya tujuh kata tersebut, tentu saja berdampak pada keberlakuan hukum Islam secara legal formal di Indonesia. Hingga dua dekade pertama sejak merdeka (1945 – 1965), peraturan perundang-undangan yang mengakomodasi hukum Islam hampir tidak ada yang signifikan. Paling-paling hanya berkenaan dengan soal administrasi dan pencatatan seputar masalah perkawinan.

Pembicaraan mengenai posisi hukum Islam dalam konstitusi muncul kembali pada sidang Konstituante (1957-1959) yang mempersiapkan UUD baru bagi Indonesia. Diskusi dalam sidang tersebut mengalami kebuntuan karena tidak tercapainya kesepakatan tentang dasar Negara dan posisi tujuh kata Piagam Jakarta dalam draf konstitusi yang dibahas oleh anggota Konstituante. Untuk mengatasi krisis konstitusional tersebut, pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit yang antara lain berisikan diktum pernyataan kembali ke UUD 1945. Pernyataan ini didahului oleh sebuah konsideran yang meyakini bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.[1]

Walaupun Piagam Jakarta diakomodasi dalam konsiderans Dekrit Presiden 5 Juli 1959, konsensus yang menyeluruh tentang posisi konstitusional hukum Islam tidak pernah tercapai. Penafsiran terhadap implikasi Dekrit tersebut bagi posisi hukum Islam berbeda-beda tergantung pada masing-masing golongan dan sesuai dengan kepentingan politik mereka. Bagi sebagian besar pemimpin Islam pada saat itu, Dekrit itu bermakna pemulihan fungsi dan isi tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang dicoret sehari setelah proklamasi. Namun, menurut sejumlah besar politisi bukan berasal dari partai Islam, konsiderans Dekrit yang menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai kembali kepada UUD 1945 itu tidak lebih dari sebuah dokumen historis dan sekedar pernyataan keyakinan pribadi Presiden Soekarno yang tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum untuk membuat peraturan perundang-undangan bagi umat Islam.[2]

Sungguhpun Piagam Jakarta diakui menjiwai UUD 1945 sebagaimana termaktub dalam Dekrit Presiden 1959 dan dipercaya oleh sebagian besar tokoh Muslim sebagai sumber hukum yang absah, keberadaanya pada masa awal Orde Baru tetap kontroversial. Presiden Soeharto bahkan sampai memanggil pimpinan partai-partai Islam (NU, Parmusi, PSII, dan Perti) untuk mencapai kesepakatan mengenai definisi atau pengertian yang terkandung dalam tujuh kata Piagam Jakarta. Hingga penghujung tahun 1968, panitia yang terdiri dari partai-partai Islam dan bertugas mengolah pandangan bersama mengenai Piagam Jakarta itu tidak mampu mencapai kata sepakat dalam mendefinisikan Piagam itu. Akhirnya ABRI meminta panitia itu untuk berhenti di situ saja. Menurut pandangan ABRI, perdebatan pemaknaan Piagam Jakarta hanya akan menambah gawat ketegangan-ketegangan di saat stabilitas Orde Baru dinilai masih belum mantap. Sejak saat itu, Piagam Jakarta tidak pernah lagi terdengar sebagai wacana hukum apalagi sebagai referensi peraturan perundang-undangan nasional.[3]

Tata hukum Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 telah memberikan landasan dan arahan politik hukum terhadap pembangunan bidang agama (hukum agama) dengan jelas. Menurut Mochtar Kusumatmadja, sila Ketuhanan Yang Maha Esa pada hakekatnya berisi amanat bahwa tidak boleh ada produk hukum nasional yang bertentangan dengan agama atau bersifat menolak atau bermusuhan dengan agama. Pasal 29 UUD 1945 menegaskan tentang jaminan yang sebaik-baiknya dari Pemerintah dan para penyelenggara negara kepada setiap penduduk agar mereka dapat memeluk dan beribadah menurut agamanya masing-masing. Hal ini menunjukkan bahwa negara mengakui dan menjunjung tinggi eksistensi agama termasuk hukum-hukumnya, melindungi dan melayani keperluan pelaksanaan hukum-hukum tersebut.[4]

Dalam menghadapi era globalisasi, hukum nasional Indonesia harus mampu menjawab tantangan fenomena global yang futuristik demi menjamin kelangsungan penyelenggaraan kehidupan bernegara secara adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dengan didampingi oleh kaidah-kaidah hukum Islam, ditambah dengan nilai-nilai intrinsik dari hukum adat dan modernisasi positif dalam hukum Barat, maka hendaknya hukum nasional bukan lagi merupakan kodifikasi dari aturan-aturan yang ada, melainkan sebagai alat modifikasi bagi terwujudnya kehidupan bernegara di Indonesia secara lebih baik. 

Konstitusi sebagai dasar dan pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengatur secara dasar mengenai hukum di Indonesia dan menjadi landasan rujukan terhadap konstitusionalitas produk hukum di bawahnya.[5]

SELENGKAPNYA KLIK DI SINI


[1]Arskal Salim, “Pluralisme Hukum di Indonesia: Keberadaan Hukum Islam dalam Peraturan Perundang-undangan Nasional”, Harmoni, (Oktober – Desember, 2008,) h. 19.

[2]Ibid.

[3]Ibid, h. 21-22.

[4]Reza Fikri Febriansyah, makalah, “Eksistensi Hukum Islam dalam Struktur Hukum Nasional Indonesia”, http// www.legalitas.org/2011/01/20.

[5] Secara Hierarki Produk hukum di bawah konstitusi (UUD 1945) dapat berupa: Undang-Undang (UU), PP Pengganti Undang-undang (Perppu), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), dan Peraturan Daerah (perda). Lihat Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10. Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.




Copyright 2021. All rights reserved.

Posted June 22, 2020 by Admin in category "Umum

Comments on Facebook