June 24

Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Menurut Ibnu ‘Athailah

“TAK TERHIMPIT TATKALA SEMPIT”

(Untaian Hikmah Ibnu ‘Athaillah dalam Al-Hikam)

kaitannya dengan etika Hakim dalam penyelenggaraan peradilan.

Oleh : Rasyid Rizani, S.HI., M.HI

(Hakim pada Pengadilan Agama Bajawa Kelas II)

 

“Dia memberimu kelapangan agar engkau tidak terus berada dalam kesempitan. Sebaliknya, Dia memberimu kesempitan agar tidak terus berada dalam kelapangan. Lalu Dia mengeluarkanmu dari keduanya agar tidak tergantung kepada selain-Nya”

 A.     PENDAHULUAN

Sejatinya al-Hikam dipandang sebagai kitab kelas berat bukanlah karena struktur kalimatnya yang tak mudah dimengerti, melainkan karena kedalaman makrifat yang dituturkan lewat kalimat-kalimatnya yang singkat. Ia menjadi kitab yang penuh rima tetapi juga kaya makna. Karena itulah banyak ulama kenamaan telah menyusun syarahnya, seperti Ibn ‘Abbad (1332-1390) dan Ibn ‘Ajibah (1747-1809).

Ibnu ‘Athaillah, pengarang kitab al-Hikam dilahirkan pada pertengahan abad ke-7 H / 13 M. ia tumbuh besar di Alexandria semasa era Mamluk. Ia memiliki guru-guru terbaik pada semua disiplin ilmu keislaman dan terkenal sebagai fakih besar dalam Mazhab Maliki. Pada saat ia hidup, tumbuh pesat beberapa tarekat. Ayahnya sendiri ialah seorang murid tarekat Syadziliyyah, awalaupun ia tak pernah bertemu dengannya. Mulanya Ibn ‘Athaillah tidak berkecimpung dalam dunia tasawuf dan lebih suka menggeluti fikih. Kendati amat tak tertarik dengan dunia sufi, ia menjadi murid dari Abu al-‘Abbas al-Mursi (w.686/1288). Ia pun telah menjadi syekh sufi ketika al-Mursi wafat, dan ia menempati urutan ke-21 dalam silsilah tarekat Syadziliyyah, yang mulanya tumbuh dari Maroko dan menyebar di sepanjang Afrika Utara.

Al-Hikam menjadi pusakanya yang paling kerap disebut-sebut. Pasalnya, kitab ini memadukan kematangan pengalaman religious dengan keindahan sastrawi sekaligus, dan tampil sebagai panduan efektif bagi para penempuh jalan spiritual-yang dikancah tasawuf dikenal sebagai murid atau salik.

Tugas qadi (hakim) adalah melaksanakan keadilan. Oleh sebab itu, seorang qadi harus menjaga segala tingkah lakunya dan menjaga kebersihan pribadinya dari perbuatan yang dapat menjatuhkan martabatnya sebagai qadi. Sehubungan dengan hal tersebut, seorang qadi harus menjauhkan diri dari keadaan yang dapat mempengaruhi mereka di dalam menegakkan keadilan, baik di dalam mahkamah ataupun di luar mahkamah. Berdasarkan hal tersebut, terlihat begitu berat tanggung jawab seorang qadi, bagaimana ia harus menyelaraskan antara kodratnya sebagai manusia dengan tugasnya sebagai “Wakil Tuhan” di bumi dalam menegakkan hukum-hukum-Nya. Adakalanya seorang Qadi diberikan kelapangan, dan adakalanya diberikan-Nya kesempitan. Di kala kesempitan merasuk dalam hidupnya, godaan mulai datang silih berganti, tidak kenal lelah dan putus asa. Godaan datang dari arah yang tidak disangka-sangka, dari isteri, suami, anak ataupun keluarga, yang akhirnya “kepentingan” lah yang akan menjadi kekal dalam hidupnya. Ketika “kepentingan” itu mengarah kepada hal-hal negative, dan pada saat itu seorang Qadi berada dalam kesempitan. Di sinilah Iman diuji dan berperan dalam meluruskan jalan kehidupannya.

 B.      BEBERAPA UNTAIAN HIKMAH IBNU ‘ATHAILLAH DALAM KITAB AL-HIKAM

  1. Untaian hikmah pertama:

بسطك كى لايبقيك مع القبض وقبضك كى لايتركك مع البسط وأخرجك عنهما كى لاتكون لشيء دونه

“Dia memberimu kelapangan agar engkau tidak terus berada dalam kesempitan. Sebaliknya, Dia memberimu kesempitan agar tidak terus berada dalam kelapangan. Lalu Dia mengeluarkanmu dari keduanya agar tidak tergantung kepada selain-Nya”

Dia sengaja menghadirkan dua keadaan silih berganti dalam diri manusia yaitu dengan diberikan kelapangan dan kesempitan. Allah Swt ingin membuat manusia sadar bahwa ada Dia yang mengatur hidup. Pada saat bahagia, Allah Swt hadir dengan sentuhan kelapangan dan sebaliknya pada saat sedih, Allah Swt menyentuh dengan kesempitan. Ini berkaitan dengan sifat Jalaliah dan Jamaliah-Nya, maka sebagai manusia seyogyanya belajar dari dua keadaan itu. Orang yang cerdas tidak akanmenjadikan selain-Nya sebagai pusat perhatian, tidak peduli lapang dan sempit, hatinya tetap kepada sang Pemilik.

Apa hubungan untaian hikmah tersebut dengan perilaku Hakim? Tentu saja ada hubungannya. Hakim sebagai “wakil Tuhan” di muka bumi dalam menegakkan hukum-hukum-Nya, juga tidak terlepas dari kodratnya sebagai manusia biasa. sebagai penegak hukum, seorang hakim dituntut menyelenggarakan peradilan dengan bersih, professional, jujur, dan adil. Sebaliknya, sebagai manusia, dia juga tidak terlepas dari dua keadaan – sempit dan lapang – yang merupakan ujian dalam melaksanakan tugasnya sebagai hakim.

Mutasi adalah hal yang pasti terjadi dan wajar, kadang mutasi dianggap sebagai sesuatu yang “menakutkan” bagi yang ditempatkan di tempat yang terpencil, dan kadang pula sesuatu yang “membahagiakan”, karena dengan adanya mutasi, seorang hakim dapat “belajar” – belajar adat istiadat setempat dan hubungannya dengan penerapan hukum – ketika seorang hakim yang dulunya bekerja di Pengadilan Agama yang ramai dan di sana segala kebutuhan terpenuhi – ingin ke Mall ada Mall, ingin membeli buku-buku hukum, Gramedia sudah tersedia, belanja dengan menggunakan kartu kredit karena fasilitasnya mendukung, mau beli keperluan dapur, tidak perlu ke pasar-pasar yang becek, karena sudah tersedia Hypermart atau sejenisnya. Sungguh kehidupan yang “enak” dipandang mata. Ketika TPM tiba, dia kemudian dimutasi ke tempat “terpencil”, segala pernak-pernik hidup pun mulai berubah, mau beli buku-buku harus memesan dulu, berhari-hari bahkan mungkin berminggu-minggu, ingin membeli keperluan rumah tangga, harus masuk ke pasar tradisional, mau beli makanan, terpaksa nongkrong di warung pinggiran jalan, yang konon katanya seorang hakim tidak boleh nongkrong karena menyalahi kode etik PPH.

Keadaan-keadaan tersebut apakah akan membuat seorang hakim kehilangan jatidirinya? Tentu saja tidak, dengan syarat apabila seorang hakim dapat menyadari tugas pokoknya sebagai penyelenggar peradilan dan kodratnya sebagai manusia yang sudah ada yang mengatur. Hal-hal tersebut adalah bentuk “KENIKMATAN” yang tiada duanya, tidak bisa diukur dengan materi, maka oleh sebab itu, nikmatilah dan bersyukurlah dengan keadaan sekarang. Janganlah suatu keadaan yang “sempit” membuat lupa diri. Tetap konsentrasi dalam melaksanakan tugas. Nanti Tuhan Tolong (NTT).

  1. Untaian hikmah kedua:

العارفون إذا بسطوا أخوف منهم إذا قبضوا, ولايقف على حدود الأدب في البسط إلا قليل

Kaum arif lebih khawatir ketika diberi kelapangan daripada ketika diberi kesempitan. Yang bisa menjaga adab pada saat berada dalam kelapangan hanyalah sedikit.

Jangan memilih bila hatimu belum terlatih. Biarkan Allah memberimu kelapangan, sebagaimana Allah memberimu kesempitan. Meski engkau dituntut untuk memeprbaiki perilakumu dalam setiap keadaan. Berhati-hatilah dengan kelapangan, sebab ia bisa menghancurkanmu. Pada saat lapang (bahagia, sukses, kaya, menjadi pemimpin) manusia dapat berbuat apa saja.

Berdasarkan untaian hikmah tersebut, biasanya manusia terlena karena telah diberi kelapangan, begitu juga dengan seorang hakim, sebagai manusia biasa ketika diberi kelapangan dan persediaan yang serba cukup, ia sering lalai, bergaul kurang terkontrol yang pada akhirnya menyebabkan dirinya “celaka”. Masih hangat dalam ingatan, ada oknum hakim yang terjerat kasus narkoba, kasus perempuan, kasus suap dan lain sebagainya. Hal tersebut karena kurangnya pengawasan terhadap dirinya. Apa hubungannya contoh tersebut dengan untaia hikmah di atas? Tentu ada. Ketika orang berada dalam kesempitan, misalkan di tempatkan di suatu daerah yang apabila memerlukan sesuatu harus mencurahkan pikiran, tenaga bahkan keuangan. Orang tersebut tentu akan lebih dapat memanagenya, apa yang diperlukan, itulah yang diutamakan, sehingga dengan kebiasaan manajemen tersebut secara tidak langsung dirinya telah terlatih untuk mengontrol emosi dan nafsunya.

C.      POLA PEMBINAAN MENTAL PRIBADI SESEORANG MENURUT ALQURAN

.Akhlak adalah pembahasan terpenting dalam al- Quran, bahkan ini menjadi misi terpenting dalam risalah para nabi. Karena tanpa akhlak, agama tidak akan bermakna dan masalah duniawi tidak akan terurus.

Sebuah masyarakat yang tidak berakhlak akan musnah! Karena pada hakikatnya, seseorang akan menjadi manusia ketika dia berakhlak. Jika tidak maka dia adalah hewan yang sangat berbahaya, yang akan menggunakan akalnya untuk merusak dan mengacau. Demi kepentingan materinya secara ilegal, maka dia akan mencakar, dan untuk menjual senjata dia akan mengadu domba.

Benar jika secara lahiriyah dia tampil seperti orang yang beradab, namun pada saat yang sama dia adalah binatang buas yang tidak mengenal halal dan haram, serta tidak membedakan antara kezaliman dan keadilan atau antara zalim dan mazlum.

Masalah ini telah dijelaskan dalam al-Quran dalam di antaranya pada surat al-jum’ah ayat 2:

uqèd “Ï%©!$# y]yèt/ ’Îû z`¿Íh‹ÏiBW{$# Zwqߙu‘ öNåk÷]ÏiB (#qè=÷Ftƒ öNÍköŽn=tã ¾ÏmÏG»tƒ#uä öNÍkŽÏj.t“ãƒur ãNßgßJÏk=yèãƒur |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur bÎ)ur (#qçR%x. `ÏB ã@ö6s% ’Å”s9 9@»n=|Ê &ûüÎ7•B ÇËÈ

Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.

Para sahabat/sahabiyah sangat rajin membina diri mereka sendiri. Mereka tiada henti-hentinya mencari ilmu, mengembangkan potensi dirinya, mendiskusikan ayat-ayat Allah. Padahal mereka tidak memiliki wadah formal semacam sekolah atau pesantren. Untuk itu tidaklah heran bila mereka berhasil menjadi manusia-manusia pilihan sebagai generasi militan.

Berdasarkan hal tersebut, apabila pola pembinaan dan pendidikan terhadap hakim merata dan terorganisir, maka SDM yang diharapkan tentu akan tumbuh dan terbina dengan baik. Pola pendidikan yang terbina dengan baik juga berpengaruh terhadap mental dan jiwa hakim tersebut. Suasana kerja yang kondusif dan nyaman juga akan mempengaruhi terhadap pribadi hakim, bahkan pola mutasi yang “adil dan merata” juga ikut mempengaruhi jiwa sang penegak keadilan itu. Maka, tidak lah berlebihan jika seorang hakim ada saja waktu luangnya yang seharusnya digunakan untuk menambah pengetahuan dengan membaca buku ataupun lainnya, tetapi digunakan untuk membuka website tiket pesawat terbang maupun kapal laut – mumpung ada promo misalnya, karena mau beli harga regular akan memerlukan uang saku yang tidak sedikit dan tidak sesuai dengan penghasilan yang diterimanya per bulan. Hal tersebut dilakukan untuk mengatur jadwal pulang menjenguk keluarga yang jauh sekedar melepas rindu dan menjalin silaturrahmi.

Oleh karena itu, pola-pola manajeman seperti yang disebutkan di atas, apabila diatur dengan baik, maka hasilnya juga tentu dapat dibanggakan.

Tags: , , ,
Copyright 2021. All rights reserved.

Posted June 24, 2013 by Admin in category "Filsafat Hukum Islam

Comments on Facebook