June 24

Larangan Membujang dan Peringatan Mempermudah Perceraian

Takhrij Hadis Anjuran Menikah, Larangan Membujang, dan Peringatan Mempermudah Perceraian (HR. Al-Thabrani)

 Oleh: Rasyid Rizani, S.HI., M.HI (Hakim pada Pengadilan Agama Bajawa – NTT) dan Miftah Faridh, S.HI., M.HI (Dosen pada Fakultas Syariah IAIN Antasari Banjarmasin)

 Pendahuluan

Salah satu makna syumuliyyah (universalitas) Islam adalah ke-sempurnaan doktrin yang terkandung di dalamnya, relevan untuk semua orang kapan dan di mana saja. Apapun seluk-beluk kehidupan tidak ada yang lepas dari ‘ketundukan’ kepada keteraturan undang-undang Allah SWT. Pendek kata, dien yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. ini mengatur seluruh ruang-lingkup kehidupan manusia. Tidak hanya masalah-masalah ibadah mahdhah, seperti shalat, puasa, zakat, dan sebagainya melainkan juga menyentuh sisi muamalah (interaksi sesama manusia), ekonomi, sosial, budaya, peradaban, bahkan politik dan kepemimpinan sekalipun.

Dalam kehidupan ini, kita mengenal institusi pernikahan sebagai sebuah lembaga hidup yang menjadi salah satu elemen masyarakat secara luas. Pernikahan dibangun atas dasar komitmen membentuk kehidupan rumah tangga yang harmonis dengan landasan kasih sayang, yang dalam istilah Al-Qur’an disebut sakinah, mawaddah, wa rahmah. Islam tidak membenarkan ikatan suami istri yang hanya berorientasi kepada kepentingan pemuas kebutuhan sesaat, apalagi untuk menginjak-injak hak pasangannya. Oleh karena itulah pernikahan yang diinginkan adalah pernikahan yang langgeng dan berhasil melahirkan generasi penerus yang kuat.

Pembahasan

 A.  METODE PENELITIAN

1.   Data dan Sumber Data

Data yang digali dalam penelitian ini adalah data tentang sanad dan matan hadis tentang anjuran menikah sekaligus larangan mempermudah perceraian—yang meliputi biografi para perawi, cara periwayatan, dan komentar para ulama tentang hadis tersebut. Penelitian hadis ini lebih pada penelitian kepustakaan atau literatur (library research).

Penelitian dilakukan dengan merujuk pada sumber-sumber yang berkenaan langsung dengan keberadaan hadis yang dimaksud. Adapun redaksi hadis yang dimaksud adalah:

تزوجوا ولا تطلقوا فإن الله لا يحب الذواقين والذواقات

Artinya: Hendaklah kalian menikah dan janganlah (mempermudah) untuk mentalak, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai laki-laki dan perempuan yang hidup membujang .

 

2.   Teknik Pengumpulan dan Analisi Data

Data yang menjadi fokus penelitian ini diperoleh melalui langkah-langkah berikut:

  1. Takhrij al-Hadis. Yakni melakukan penelitian di mana saja hadis tersebut tertulis dalam kodifikasi. Hadis yang dimaksud ditemukan dalam kitab-kitab hadis standar.
  2. Melakukan kritik sanad dengan beberapa tahapan:

1)      Al-I’tibar dan Penyajian Skema Sanad

2)      Meniliti biografi ruwat al-hadis dan metode transmisi (periwayatan) yang digunakan.

3)      Menarik kesimpulan dengan memperhatikan jarh dan ta’dil, sehingga dapat diperoleh kepastian kedudukan hadis tersebut.

Berdasarkan metode di atas, dapat dikatakan bahwa penelitian ini berada pada tataran tadrib al-hadis, yakni meneliti sejauh mana kualitas hadis dengan memperhatikan sanad dan matan.

 

B.  HASIL PENELITIAN

1.  Takhrij al-Hadis

Melakukan takhrij hadis berarti kita berupaya untuk menemukan letak hadis tersebut dan mengumpulkan sebanyak-banyaknya riwayat yang berkenaan.

تزوّجوا

Penulis mencoba melakukan takhrij melalui lafaz pertama matan hadis yang dimaksud. Langkah-langkahnya adalah dengan melacak lafal     ….                                dalam kitab Al-Jami’ al-Shaghir fii Ahadits al-Basyir al-Nadzir karya al-Imam al-Hafizh Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman ibn Abu Bakr al-Suyuthi. Kitab ini merupakan salah satu kitab standar takhrij hadis yg tersusun berdasarkan urutan huruf mu’jam (model ensiklopedi), dengan metode lafal pertama matan hadis.

Berdasarkan penulusuran tersebut ditemukan lafal redaksi (matan) hadis berikut:

تَزَوَّجُوْا وَلاَ تُطَلِّقُوْا فإَِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الذَّوَّاقِيْنَ وّالذَّوَّاقَاتِ     [1]

Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam al-thabrani dengan perawi pertama sahabat Abu Musa al-Asy’ari ra.

Penulis mengalami sedikit kesulitan dalam menemukan redaksi hadis lengkap (sanad dan matan) pada referensi kitab karya Imam al-Thabrani sebagai perawi hadis tersebut. Akan tetapi dengan bantuan fasilitas teknologi CD Program Maktabah Alfiyyah li al-Sunnah al-Nabawiyyah sanad dan matan hadis tersebut dapat diketahui. Hanya saja redaksi tersebut penulis dapatkan dalam kitab Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya Imam al-Qurthubi.[2] Berikut petikan dari kitab Tafsir al-Qurthubi tersebut:

حدثنا عبد الباقي بن قانع قال حدثنا محمد بن خالد بن يزيد النيلي قال حدثنا مهلب بن العلاء قال حدثنا شعيب بن بيان عن عمران القطان عن قتادة عن أبي تميمة الهجيمي عن أبي موسى الأشعري قال : قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَزَوَّجُوْا وَلاَ تُطَلِّقُوْا فإَِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الذَّوَّاقِيْنَ وّالذَّوَّاقَاتِ      [3]

 

Artinya: ‘Abd al-Baqi ibn Qani’ menceritakan kepada kami bahwa Muhammad ibn Khalid ibn Yazid al-Nayli menceritakan kepada kami bahwa Muhallab ibn al-‘Ala’ menceritakan kepada kami bahwa Syu’aib ibn Bayan dari ‘Imran ibn al-Qaththan dari Qatadah dari Tamimah al-Hajimi dari Abu Musa al-Asy’ari berkata, Rasulullah SAW. pernah bersabda: Hendaklah kalian menikah dan janganlah (mempermudah) untuk mentalak, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai laki-laki dan perempuan yang hidup membujang.

 Dari hadis di atas terdapat rangkaian sanad sebagai berikut: 1) Sahabat Abu Musa al-Asy’ari ra.; 2) Tamimah al-Hajimi; 3) Qatadah; 4) ‘Imran al-Qaththan; 5) Syu’aib ibn Bayan; 6) Muhallab ibn al-‘Ala’; 7) Muhammad ibn Khalid ibn Yazid al-Nayli; 8) ‘Abd al-Baqi ibn Qani’; dan 9) al-Imam al-Thabrani sendiri, selaku mukharrij sekaligus perawi terakhir bagi kita.

2.   Kritik Sanad

a.  Al-I’tibar dan Penyajian Skema Sanad

Sumber kitab al-Jami’ al-Shagir hanya memberikan keterangan satu letak sumber hadis tentang anjuran menikah sekaligus larangan mempermudah talak di atas, yakni hadis yang dimulai dari periwayatan Abu Musa al-Asy’ari (dan akhirnya diriwayatkan/ditakhrij oleh Imam al-Thabrani). Oleh karena itulah dalam penelitian ini penulis hanya mengambil hadis tersebut sebagai objek tadrib al-hadis.

dari kedua hadis di atas ditemukan 8 orang yang menjadi rangkaian sanad periwayatan, ditambah satu orang perawi mukharrij. Jenis hadis keutamaan shalat orang yang telah menikah ini adalah hadis qauli dan diriwayatkan secara lafzhi (artinya setiap susunan kalimat yang diriwayat-kan sama persis dengan hasil periwayatan lain).

Untuk memperjelas kegiatan I’tibar al-Sanad dapat dilihat pada skema berikut:

 

 

 

 

 


 

 

Nama Perawi

Urutan Sebagai

Perawi

Urutan Sebagai

 Sanad

Abu Musa al-Asy’ari

Perawi 1

Sanad 8

Tamimah al-Hajimi

Perawi 2

Sanad 7

Qatadah

Perawi 3

Sanad 6

’Imran al-Qaththan

Perawi 4

Sanad 5

Syua’ib ibn Bayan

Perawi 5

Sanad 4

Muhallab ibn al-’Ala’

Perawi 6

Sanad 3

Muhammad ibn Khalid ibn Yazid al-Naily

Perawi 7

Sanad 2

‘Abd al-Baqi ibn Qani’

Perawi 8

Sanad 1

Al-Imam al-Thabrani

Perawi 9

Mukharrij Hadits

 

b.  Sejarah dan Kualitas Para Periwayat Hadis

Berikut adalah uraian 9 orang perawi hadis dari sumber kitab hadis yang telah kita temukan. Dimulai dari Imam al-‘Thabrani sebagai mukharrij hadis dan diikuti perawi berikutnya hingga sahabat selaku pangkal sanad.

1)  Imam al-Thabrani

Beliau adalah seorang Imam yang sangat ’alim, banyak menghafal hadis, dan mendalam ilmunya. Beliau memiliki nama lengkap Abu al-Qasim Sulaiman ibn Ahmad ibn Ayyub ibn Mathir al-Lakhmi al-Thabrani. Berasal dari daerah Thabariyyah di Syam (Syiria).[4]

Beliau wafat pada hari sabtu, dua malam di penghujung bulan Dzulqa’dah pada tahun 360 H. Meskipun demikian ada juga rtiwayat lain yang menyebutkan tahun 399.[5]

Banyak para muhadditsin sesudahnya yang mengambil riwayat dari beliau seperti Abu ’Ali al-Rastaqi, Abu Thahir ibn ’Urwah, Abu Ahmad al-’Aththar, ’Ali ibn al-Husain al-Iskafi, dan lain-lain. Di antara guru-guru al-Thabrani antara lain: Ibrahim ibn Muhammad, Mahmud ibn Ahmad al-Faraj, Ibrahim ibn Matwaih (yakni al-Imam Abu Ishaq Ibn muhammad ibn al-Hasan ibn Abi al-Husain), Abu ’Abd Allah ibn Yahya ibn Mandah. Tidak hanya itu al-Thabrani juga mengambil riwayat yang tak terhitung dari para ulama berbagai bidang, ahli astronomi, dan para Syaikh (sesepuh) lainnya.[6]  

2)  ’Abd al-Baqi ibn Qani’

Nama lengkapnya adalah al-Qadhi Abu al-Husain ’Abd al-Baqi ibn Qani’ ibn Marzuq ibn Watisq al-umawi. Lahir pada tahun 265 H.[7] Pernah menyimak hadis dari al-Harits ibn Abi Usamah, Ibrahim ibn al-Haistam al-Baladi, Muhammad ibn Maslamah al-Wasithi, Isma’ail ibn al-Fadhl al-Balkhi, Bisyr ibn Musa, dan lain-lain.[8]

Al-Daruquthni mengatakan bahwa ’Abd al-Baqi adalah seorang penghafal hadis akan tetapi terkadang ia keliru dan terkadang juga benar dalam hafalannya. Sedangkan al-Barqani menilainya dha’if meskipun sejumlah ulama Baghdad memandang-nya tsiqah.[9]

Al-Khatib berkomentar, ”Aku tidak mengetahui apa yang menyebabkan al-Barqani mendhaifkannya, padahal ’Abd al-Baqi adalah salah seorang ahli ilmu. Aku melihat banyak guru kami yang memandangnya tsiqah, meskipun dua tahun menjelang wafatnya terlihat mengalami gangguan dalam berpikirnya. Beliau wafat pada tahun 351 H.” Sedangkan Ibn Hazm mengatakan bahwa Ibn Qani’ memang mengalami gangguan pada penghujung usianya, dan dia termasuk seorang munkir al-hadis sehingga secara umum para ulama ahli hadis meninggalkan hadisnya.[10]

Ibn Abi al-Fawaris di dalam kitab Tarikh-nya menyebutkan tersiar berita dari banyak orang tentang gangguan ’Abd al-Baqi tersebut. Dia adalah salah seorang ash-hab al-ra’y (kelompok rasionalis), lahir pada tahun 266 H. Hamzah al-Sahmi juga menceritakan pandangan Abu Bakr ibn ’Abdan yang mengatakan-nya tidaklah termasuk golongan shahih.[11]

3)  Muhammad ibn Khalid ibn Yazid al-Naily

Hasil penelusuran penulis menggunakan Tahdzib al-Tahdzib karya Ibn Hajar al-‘Asqalani tidak ditemukan biografi nama Muhammad ibn Khalid ibn Yazib al-Naily. Berdasarkan kriteria nisbah perawi yang ada hanya nama Khalid ibn Dinar al-Naily dan Ibrahim ibn al-Hajjaj al-Naily.[12] Penelusuran berlanjut kepada sumber-sumber lain yang juga ternyata tidak mencantumkan biografi Muhammad ibn Khalid ibn Yazid al-naily yang dimaksud.

4)  Muhallab ibn al-’Ala’

Penulis mencoba melakukan penelusuran siapa sebenarnya Muhallab ibn al-’Ala melalui berbagai referensi mu’tabarah dan fasilitas Maktabah al-Syamilah maupun Maktabah Alfiyyah namun tetap tidak menemukan informasi. Hasil penelitian penulis sementara boleh jadi Muhallab adalah sosok yang majhul di kalangan ahli hadis sendiri.

5)  Syua’ib ibn Bayan

Beliau memiliki nama lengkap Syua’ib ibn Bayan ibn Ziyad ibn Maimun al-Shafar al-Bashri al-Qasmali. Beliau pernah mengambil riwayat hadis dari: ’Imran al-Qaththan, Syu’bah, Salam ibn Miskin, dan lain-lain. Sedangkan di antara mereka yang pernah mengambil riwayat hadis darinya adalah Abu Daud al-harani, Ibrahim ibn Mustamir al-’Aruqi, Ahmad ibn ’Ali al-Ammi, Muhallab ibn al-’Ala, dan lain-lain.[13]

’Ali ibn al-Madini pernah menulis hadis dari beliau. Al-Nasa’i juga meriwayatkan satu hadis darinya tentang shalat. Kemudian Ibn hajar al-’Asqalani menjelaskan bahwa menurut al-Jauzjani mengatakan Syua’ib ibn Bayan mempunyai banyak hadis munkar. Begitu juga dengan al-’uqaili yang menyebutkan bahwa Syua’ib memang mengambil hadis munkar dari orang-orang tsiqah, sehingga kebanyakan hadisnya meragukan. [14]

6)  ’Imran al-Qaththan

Nama lengkapnya adalah ’Imran ibn Dawar al-’Ammi, dikenal juga dengan Abu al-’Awam al-Qaththan al-Bashri. Pernah mengambil riwayat hadis dari Qatadah, Muhammad ibn Sirin, Abu Jamrah al-Dhab’i, Abu Ishaq al-Syaibani, Aban ibn Abi Ayyas, Yahya ibn Abi Katsir, dan lain-lain.[15]

Sedangkan orang-orang yang pernah mengambil riwayat hadis darinya antara lain: Ibn Mahdi, Abu Daud al-Thayalisi, Syua’ib ibn Bayan, Muhammad ibn Bilal, ’Abd Allah ibn Raja’ al-ghadani, ’Amru ibn Marzuq, dan lain-lain.[16]

’Abd Allah ibn Ahmad meriwayatkan dari ayahnya, ”Aku berharap ’Imran adalah seorang shalih al-hadis.” Al-Dawri menceritakan dari Ibn Ma’in bahwa ’Imran bukanlah seorang yang kuat (hadisnya). Sedangkan al-Ajuri meriwayatkan dari Abu Daud yang mengatakan bahwa dia termasuk orang-orang yang hadisnya berstatus hasan.[17]

Al-Nasa’i menilainya dhaif. Menurut ibn ’Adi, hadisnya boleh dicatat. Sedangkan Ibn Hibban mencantumkan namanya dalam kumpulan orang-orang tsiqah.

7)   Qatadah

Nama lengkapnya adalah Qatadah ibn Di’amah ibn Qatadah ibn ‘Aziz ibn ‘Amru ibn Rabi’ah ibn ‘Amru ibn al-Harits Ibn Sudus, Abu al-Khaththab al-Sudusi al-Mishri. Beliau mengambil riwayat hadis dari Anas ibn Malik, ‘Abd Allah ibn Sarjas, Abu al-Thufail, Shafiyyah binti Syaibah, Safinah (periwayatan secara mursal), Abu Sa’id al-Khudri, ‘Imran ibn Hushain, Sa’id ibn al-Musayyib, ‘Ikrimah, Humaid ibn ‘Abd al-Rahman ibn Aufa, Hasan al-Bashri, Muhammad ibn Sirin, ‘Abd Allah ibn Abu ‘Utbah, Abu Burdah ibn Abu Musa, Mu’adzah al-‘Adawiyyah, dan lain-lain.[18]

Adapun orang-orang yang pernah mengambil riwayat darinya antara lain Ayyub al-Sakhtiyani, Sulaiman al-Taimi, Jarir ibn Hazim, Syu’bah, Hisyam al-Dustuwa’i, Hammam ibn Yahya, Ma’mar, Hammad ibn Salamah,al-Auza’i, ‘Imran al-Qaththan, al-Laits ibn Sa’d, Abu ‘Awanah, dan banyak lagi yang lainnya.[19]

Bukair ibn ‘Abd Allah al-Muzni mengatakan, “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih hafizh dari Qatadah. Tidak pula ada yang lebih pantas untuk menyampaikan hadis seperti apa yang telah diperoleh Qatadah.” Ibn Sirin mengatakan bahwa beliau adalah orang yang paling hafizh (pada masanya).

Al-Atsram pernah mendengar Ahmad berkata, “Qatadah adalah lebih hafizh dari pada para penduduk Bashrah. Tidaklah dia mendengar sesuatu melainkan dihafalnya. Pernah suatu ketika dibacakan satu kali kepadanya shahifah (kumpulan hadis) Jabir dan langsung dihafalnya. Sulaiman al-Taimi dan Ayyub selalu berhujjah dengan hafalan Qatadah dan bertanya kepadanya. Beliau berusia 55 tahun”. Ishaq ibn Manshur mengatakan dari yahya ibn Ma’in bahwa beliau adalah tsiqqah. Abu Zar’ah mengatakan bahwa beliau termasuk sahabat al-Hasan yang paling alim.

‘Amru ibn ‘Ali mengatakan bahwa Qatadah lahir pada tahun 61 H dan wafat pada tahun 117 H. Ahmad ibn Hanbal mengatakan dari Yahya ibn Sa’id bahwa beliau meninggal dunia pada tahun 117 H atau 118 H. [20]

8)  Tamimah al-Hajimi

Nama lengkapnya adalah tharif ibn Majalad, yang bergelar Abu Tamimah al-Hajimi al-bashri. Beliau pernah mengambil riwayat hadis dari Abu Musa al-Asy’ari, Abu Hurairah, Ibn ’Umar, Jundub ibn ’Abd Allah, Abu ’Utsman al-Nahidi, dan lain-lain. Sedangkan orang-orang yang pernah mengambil periwayatan darinya antara lain: Khalid ibn al-Khida’, Sulaiman al-Taymi, Sa’id al-Jariri, Qatadah, Anas ibn Sa’id, Abu ’Affan al-Tha’i, Hakim al-Atsram, Ja’far ibn Maimun, dan lain-lain.[21]

Ibn Ma’in menilainya sebagai seorang yang tsiqah. Demikian pula Ibn Hibban menyebutnya dalam kelompok orang-orang tsiqah. Riwayat wafatnya pun berbeda-beda, ada yang menyebut-kan tahun 95 H, ada yang menyebutkan tahun 97 H, dan ada pula yang menyebutkan tahun 99 H.[22] Ibn Hajar al-’Asqalani menyebut-kan pendapat al-Bukhari bahwa tidak sampai kepada beliau (al-Bukhari) informasi bahwa Tamimah pernah mengambil riwayat dari Abu Hurairah. Al-Daruquthni dan Ibn ’Abd al-Barr menilainya tsiqah.[23]

9)  Abu Musa al-Asy’ari

Beliau adalah ’Abd Allah ibn Qais ibn Salim ibn Hadhar ibn Harb ibn ’Amir ibn ’Itr ibn Bakr ibn ’Amir ibn ’Adzr ibn Wa’il ibn Najiyah ibn al-Jamahir ibn al-Asy’ar. Di kalangan sahabat beliau lebih dikenal dengan nama Abu Musa al-Asy’ari. Ia adalah salah seorang yang datang ke Mekkah sebelum tahun Hijrah, masuk Islam dan mengikuti juga Hijrah ke Habsyah.[24]

Beliau mengambil riwayat hadis dari Rasulullah SAW langsung, Abu Bakr, ’Umar, ’Ali, Ibn ’Abbas, Ubayy ibn Ka’b, ’Ammar ibn Yasir, dan Mu’adz ibn Jabal. Sedangkan orang-orang yang menerima riwayat dari beliau antara lain anak-anaknya sendiri seperti Ibrahim, Abu Bakr, Abu Bardah, Musa, Ummu ’Abd Allah (istrinya sendiri), Anas ibn Malik, Abu Sa’id al-Khudri, Thariq ibn Syihab, Abu ’Abd al-Rahman al-Sulami, Zaid ibn Wahb, Sa’id ibn al-Musayyib, Abu ’Utsman al-Nahidi, Masruq ibn Aus al-Hanzhali, Huzail ibn Syurahbil, dan sejumlah sahabat lainnya.

’Umar ibn al-Khaththab pernah mengangkatnya sebagai gubernur Bashrah sebagai seorang yang sangat fakih dan men-dalam ilmunya. Pada masa ’Utsman ia menjadi gubernur Kufah. Menurut Abu ’Ubaidah, beliau wafat pada tahun 42 H. Sedangkan Abu bakr ibn ’Abi Syaibah menyebut bahwa beliau berusia 63 tahun. Ada juga beberapa riwayat lain yang berebda-beda yang menyebutkan wafatnya tahun 50 H, 51 H, serta 53 H. Ibn al-Madini pernah mengatakan, ”Qadhi umat ini ada empat orang, yakni ’Umar, ’Ali, Abu Musa al-Asy’ari, dan Zaid ibn Tsabit.[25]

A n a l i s i s

 Dalam bab ini penulis mengambil kesimpulan penelitian, apakah hadis  di atas memang berkualitas dan layak untuk dipegangi atau sebaiknya. Setidaknya ditempuh dua jalan pemikiran untuk mencapai sasaran penelitian tersebut, yakni memperhatikan persambungan transmisi periwayatan dan penilaian jarh dan ta’dil terhadap para perawi hadis.

A.  Persambungan Periwayatan

Dikarenakan riwayat yang menjadi objek penelitian penulis pada hanya satu, maka hal ini sangat membantu dalam proses analisis persambungan riwayat.

Imam al-Thabrani merupakan seorang ulama ahli hadits yang diakui keilmuan dan hafalannya. Menurut Ibn Mandah, beliau meninggal dunia pada tahun 360 H, meskipun ada riwayat lain pada tahun 399 H. setidaknya dapat di-ihtimal-kan berkisar dari tahun 360-400 H. sedangkan sanad berikutnya adalah ‘Abd al-Baqi ibn Qani yang meninggal dunia sekitar tahun 251 H. Dalam ukuran normal tergolong masa yang panjang antara kedua. Penulis juga mengalami kesulitan dalam melacak kapan lahirnya al-thabrani sendiri sehingga tidak bisa diambil kesimpulan pertemuan keduanya. Seandainya diperkirakan al-Thabrani berusia sekitar 60-80 tahun, berarti setidaknya beliau lahir sekitar tahun 280-290-an H. Dari sini terlihat tidak terjadi persambungan riwayat yang jelas.

Penulis kembali kesulitan melacak siapa al-Naily yang dimaksud karena banyaknya yang memakai nisbah al-Naily, sementara informasi periwayatan-nya sangat minim. Dalam kitab al-Ikmal karya Ibn Makula memang disebutkan nama Muhammad ibn Khalid Abu ‘Abd Allah al-Rasibi al-Naily yang pernah meriwayatkan hadis dari Muhallab ibn al-‘Ala’ dan hadisnya diriwayatkan oleh al-thabrani. Ibn Makula selanjutnya juga menyebutkan nama Muhammad ibn Khalid ibn Yazid al-Nayli yang pernah mengambil riwayat dari Hasyim ibn al-Qasim al-Harani. Ibn Makula sendiri akhirnya menyatakan ketidakpastian siapa sebenarnya yang terakhir disebutkan dengan harapan adalah memang al-Naily sabelumnya.[26]

Dalam kitab Mu’jam al-Kabir karya Imam al-thabrani memang terdapat beberapa riwayat hadis yang menyebutkan Muhammad ibn Khalid ibn Yazid al-Naily, Muhallab ibn al-‘Ala’ dan Syu’aib ibn Bayan memang terjadi persambung-an periwayatan.[27]

Syu’aib ibn Bayan disebutkan memang pernah berguru dengan ‘Imran al-Qaththan, meskipun tidak ditemukan secara jelas kapan lahir dan meninggalnya.[28] Data yang dikemukakan oleh Ibn Hajar al-‘Asqalani tersebut setidaknya cukup memadai untuk mengatakan bahwa antara Syu’aib ibn Bayan dan ‘Imran al-Qaththan memang terjadi persambungan periwayatan.

‘Imran al-Qaththan sendiri juga mengambil riwayat dari Qatadah, berdasarkan data Ibn Hajar dalam Tahdzib al-Tahdzib.[29] Bersambungnya periwayatan Qatadah dengan Tamimah al-Hajimi dapat dilihat dari biografi al-Hajimi sendiri yang dikemukakan Ibn Hajar.

Sedangkan Tamimah al-Hajimi, menurut al-‘Asqalani juga pernah meng-ambil riwayat dari Abu Musa al-‘Asy’ari. Tamimah wafat sekitar tahun 95-99 H, dan Abu Musa al-Asy’ari wafat sekitar tahun 50 H. Jelas sekali berdasarkan data tersebut bahwa keduanya memang pernah bertemu.

Penelitian sementara menunjukkan bahwa periwayatan hadis tersebut memang terjadi ittishal al-sanad (persambungan sanad).

B.  Kualitas Para Perawi Hadis

Untuk menilai kualitas para perawi hadis terlebih dahulu harus dilakukan pengkajian mendalam melalui ilmu rijal al-hadis dan ilmu al-jarh wa al-ta’dil. Ilmu rijal al-hadis adalah ilmu untuk mengetahui para perawi hadis dalam kapasitas mereka sebagai perawi hadis.[30] Sedangkan ilmu al-jarh wa al-ta’dil adalah ilmu yang membahas tentang para perawi hadis dari segi yang dapat menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan ungkapan atau lafal tertentu.[31]

Berdasarkan uraian sebelumnya penulis telah mengemukakan sosok Abu al-Qasim al-Thabrani sebagai seorang mukharrij hadis yang bergelar Imam dan al-Hafizh pada masanya. Predikat yang beliau sandang menunjukkan pengakuan keulamaan dan kedalaman ilmunya.

’Abd al-Baqi dinilai oleh al-daruquthni sebagai seorang yang kadang keliru dalam hafalan. Sedangkan al-Barqani menilainya dha’if. Di penghujung usianya beliau mengangalami gangguan hafalan. Ibn Hazm menilainya seorang munkir hadis sehingga hadis yang diriwayatkannya bersifat matruk.

Muhammad ibn Khalid ibn Yazid al-Naily dan Muhallab ibn al-’Ala’ berdasarkan penelitian sementara penulis merupakan dua sosok perawi majhul yang biografinya tidak tercantum dalam kitab-kitab tarjamah al-ruwat. Di sini terjadi cacat periwayatan dan tidak adanya kelayakan sebagai perawi yang diakui. Problematika ini jelas berdampak kepada hadis yang diriwayatkannya.

Syu’aib ibn Bayan memang tidak mendapat celaan Ibn Hajar al-’Asqalani maupun para kritikus hadis lainnya, akan tetapi beliau diinformasikan banyak mengambil hadis-hadis munkar dari orang-orang yang tsiqah sehingga hadisnya diragukan.[32]

Selanjutnya ’Imran al-Qathan mendapatkan penilaian yang beragam, seperti Ibn Ma’in yang menyebutnya bukan seorang yang kuat. Al-Nasa’i berpendapat ia adalah dha’if. Abu daud mengelompokkan hadis-hadisnya berderajat hasan. Sedangkan Ibn Hibban menyebutnya sebagai seorang yang tsiqqah. Penilaian Ibn Hibban tersebut bisa dipahami karena beliau—Ibn Hibban—terkenal tasahul dalam menentukan kriteria perawi hadis, meskipun para ahli hadis lain banyak yang menilainya cacat.

Qatadah dinilai oleh banyak ulama sebagai seorang yang tsiqah dan banyak menghafal hadis. Tamimah al-Hajimi merupakan seorang tabi’in yang banyak menerima periwayatan dari kalangan sahabat. Ibn Ma’in dan Ibn Hibban menilainya tsiqah. Demikian pula al-Daruquthni dan Ibn ’Abd al-Barr.

Terakhir, Abu Musa al-Asyari adalah salah seorang sahabat Nabi SAW yang diakui keadilan dan kefakihannya. Kedudukannya sebagai seorang sahabat mulia menempati posisi tertinggi dalam penilaian ahli hadis.

D.  Kualitas dan Makna Hadis (Kritik Matan)

Setelah memperhatikan komentar pada ulama jarh dan ta’dil terdahulu setidaknya penulis dapat mengatakan bahwa hadis tersebutmengalami cacat dari segi periwayatan. Dari sembilan orangyang meriwayatkan hadis, diketahui bahwa ’Abd al-Baqi ibn Qani’ (sanad kedua) adalah seorang yang dicurigai keliru dalam periwayatan. Muhammad ibn Khalid ibn Yazid al-Naily (sanad ketiga) dan Muhallab ibn al-’Ala’ (sanad keempat) tidak diketahui sosok yang bersangkutan. Syua’ib ibn Bayan (sanad kelima) diinformasikan banyak memiliki hadis munkar yang diragukan. Adapun ’Imran al-Qaththan mendapat penilaian beragam, namun berdasarkan kaidah jarh wa al-ta’dil, maka penilaian jarh-lah yang diutamakan, sehingga setidaknya berpredikat dha’if. Sedangkan sisanya memang merupakan para perawi yang dapat di-terima periwayatannya. Jika kita berangkat dari kriteria hadis shahih selaku hadis maqbul (yang dapat diterima), maka dapat disimpulkan bahwa hadis tentang anjuran menikah sekaligus larangan mempermudah perceraian (riwayat al-Thabrani) di atas merupakan hadis dha’if.[33]

Secara eksplisit, hadis tersebut mengandung beberapa hal yakni:

1)      Anjuran untuk menikah dan larangan hidup membujang.

2)      Larangan mempermudah perceraian.

Mengenai anjuran untuk menikah, memang terdapat banyak hadis yang menyebutkannya. Salah satunya adalah:

عن عبد الله بن مسعود رضى الله تعالى عنه قال : قال لنا رسول الله عليه وسلم : يا معشر الشباب من استطاع منكم البائة فلتزوج فا نه اغض للبصر واحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه باصوم فانه له وجاء ” متفق عليه”

 

 “Dari Abdullah bin Mas’ud ra., ia berkata: Rasulullah saw bersabda kepada kami: “Wahai kaum muda, barang siapa diantara kamu mampu berumah tangga, maka kawinlah, karena kawin dapat menundukan pandangan dan memelihara kemaluan. Dan barang siapa belum mampu, maka hendaknya berpuasa, karena yang demikian dapat lebih mengendalikanmu.”

(HR. Bukhari dan Muslim).

 

Pada hadits lain juga terdapat keutamaan dari perkawinan.

عن أنس , قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إذا تزوج العبد فقد استكمل نصف الدين , فاليتق الله في نصف الباقي   (رواه البيهقي)[34]

 

Apabila seorang hamba menikah, sungguh ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Oleh karena itu maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah pada separuh yang lainnya. (HR. al-Baihaqi).

 

Kedua hadis ini mengisyaratkan bahwa dengan melangsungkan perkawinan, seseorang menjaga dirinya dari kerusakan agama (akhlaknya).[35]

Dalam hadis riwayat al-Thabrani sebelumnya juga disebutkan redaksi ”al-dzawwaqiin” dan ”al-dzawwiiqaat” yang sementara ini juga biasa diartikan laki-laki dan perempuan yang hidup membujang, sehingga tampak jelas sekali adanya larangan membujang. Akan tetapi kata tersebut juga bisa diartikan sebagai orang yang hanya suka merasakan enaknya saja. Penggunaan kata ”dzawwaq” menurut al-Manawi memang mengacu kepada kata dasar yang berarti rasa.[36]

Keterangan bahwa Allah tidak menyukai orang yang hanya suka merasakan enaknya saja paralel dengan larangan agar jangan sampai mempermudah perceraian setelah diikat oleh akad nikah.

Perceraian ialah putusnya hubungan perkawinan antara suami dengan isteri. Dalam bahasa Arab biasa disebut talak. Talak sendiri menurut bahasa artinya mengurai atau melepaskan ikatan (hallul ’aqdi). Menurut hukum Islam, ”mengurai (melepaskan) ikatan perkawinan dan hubungan suami isteri”. Para ulama juga mendefinisikan, ”Melepaskan akad nikah dengan lafaz talak dan yang seumpamanya.”[37]

Keberadaan talak memang diakui dalam hukum Islam dengan landasan hukum yang berasal dari Al-Qur’an,

,»n=©Ü9$#Èb$s?§sD(88$|¡øBÎ*sù>$rá÷èoÿÏ3÷rr&7xƒÎŽô£s?9`»|¡ômÎ*Î/3…..

 

Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik……

(QS. Al-Baqarah: 229)

 

Dan hadis Nabi SAW berikut:

أَبْغَضُ الْحَلاَلِ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ الطَّلاَقُ

Suatu yang halal namun paling dibenci Allah adalah talak.

(HR. Abu Daud dan Al-Hakim, dishahihkan dari Ibn ‘Umar).[38]

Ayat dan hadis di atas menunjukkan adanya hukum talak menurut ajaran Islam. Dan tentang adanya hukum talak itu, para ulama ijma’ mengakuinya.tidak terdapat khilaf di antara mereka. Dan menunjukkan pula dari semua yang halal yang paling tidak disukai Allah adalah talak.[39]

Talak merupakan hak suami, dia bisa menjatuhkannya kapan dia mau. Hak itu diberikan kepada suami karena dia yang menanggung biaya hidup rumah tangga, dia pula yang membayar mahar ketika akad dan memberinya nafkah ketika dalam masa menunggu (iddah). Meskipun demikian menjatuh-kan talak kepada isteri tidaklah termasuk sikap yang terpuji dan amat tidak disukai, karena hal itu termasuk kufur nikmat Allah SWT. Sedangkan kufur nikmat itu tercela dan dilarang. Menurut pendapat Imam Abu Hanifah dan Ahmad ibn Hanbal, menjatuhkan talak itu halal kecuali dalam keadaan terpaksa (darurat).[40]

Beralih kepada kritik hadis, berdasarkan sebelumnya di atas kita telah dapat melihat bahwa hadis yang menjelaskan anjuran menikah dan larangan mempermudah perceraian yang diriwayatkan al-Thabrani dapat dipastikan tidak berderajat shahih. Bahkan dari segi kritik sanad dan matan terhadap hadis tersebut menunjukkan itu hadis dha’if bahkan dicurigai munkar. Kedhaifannya secara umum disebabkan kualitas beberapa perawi yang mengalami cacat, seperti dhaif, tidak kuat (laisa bi al-qawi), maupun keliru atau tersalah dalam periwayatan. Bahkan salah seorang perawinya Syu’aib ibn Bayan diketahui banyak memiliki koleksi hadis munkar.

Di samping itu dari segi sanad, adanya dua orang yang tergolong majhul (tidak diketahui kondisi perawi). Menurut Manna’ al-Qathtahn, jahalah al-rawi (ketidakjelasan/majhul) merupakan salah satu sebab tertolaknya suatu hadis dari segi ’adalah-nya yang cacat.[41]

Keberadaannya sebagai hadis dhaif menyebabkan hadis tersebut tidak dapat dijadikan dasar hukum, meskipun sebagian ulama ada yang mem-pergunakannya sebagai targhib wa al-tarhib (motivasi dan peringatan) sekaligus fadhilah amal saja. Setidaknya, hadis riwayat yang sering terdengar di sela-sela khutbah nikah di atas masih dapat diambil pelajaran yang terkandung di dalamnya sepanjang bukan sebagai tolak ukur hukum yang bersifat qath’i.

 KESIMPULAN

 Berdasarkan uraian di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1.      Hadis tentang anjuran menikah dan larangan membujang sekaligus peringatan agar jangan mempermudah perceraian diriwayatkan oleh Imam Abu al-Qasim al-thabrani.

2.      Hadis tersebut berstatus dha’if dan dicurigai munkar, sehingga tidak layak dijadikan hujjah. Hal ini sebabkan cacatnya beberapa orang perawinya, seperti ‘Abd al-Baqi (status dhaif menurut sebagian muhadditsin) Muhammad ibn Khalid ibn Yazid al-Naily dan Muhallab ibn al-‘Ala’ (status majhul), Syu’aib ibn Bayan (dicurigai mengoleksi hadis munkar), ‘Imran al-Qaththan (status dha’if menurut Ibn Ma’in dan al-Nasa’i).

3.      Meskipun hadisnya dha’if dan tidak bias dijadikan tolak ukur hukum yang qath’i, setidaknya ada beberapa pelajaran yang bisa diambil seperti: anjuran menikah dan larangan hidup membujang, serta peringatan agar jangan mempermudah perceraian. Intisari hadis tersebut sangat perlu untuk diterapkan dan menjadi pertimbangan setiap muslim dalam kehidupannya.

DAFTAR PUSTAKA

 

‘Asqalani, Al-Hafizh Syihab al-Din Ahmad ibn Hajar al-. Lisan al-Mizan, (T.p), Juz 2, dikutip dari CD Program Maktabah al-Syamilah edisi ke-2 dalam www.waqfeya.net/shamela.

 

___________. Tahdzib al-Tahdzib. Beirut, Dar al-Fikr, 1995, jilid 3, 4, 6, 9, 10.

 

Dzahabi, Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsman Al-, Siyar al-A’lam al-Nubala, Beirut, Mu’assasah al-Risalah, 1993, Cet. IX, Juz 15.

 

Hamdani, Abu Syuja’ Syirwaih al-Dailami al-, Al-Firdaus bi al-Ma’tsur. Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1986, Juz 2.

 

Hindi, Al-‘Allamah ‘Ala’ al-Din ‘Ali al-Muttaqi ibn Hisam al-Din al-, Kanz al-Ummal fii Sunan al-Aqwaal wa al-Af’aal. Beirut, Mu’assasah al-Risalah: 1989, Juz 9.

 

Ibn Makula, ‘Ali ibn Hibatullah ibn Abi Nashr, Al-Ikmal. Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000, Juz 1.

 

ibn Mandah, Al-Hafizh Abu ‘Abd Allah, Tarjamah al-Thabrani, Juz 1, dikutip dari CD Program Maktabah al-Syamilah edisi ke-2 dalam http://www.waqfeya.net/shamela

 

Junaidi Dedi, Bimbingan Perkawinan, Jakarta, Akademika Pressindo, 2001.

 

Manawi, Al-Hafizh ‘Abd al-Ra’uf al-, Faidh al-Qadir Syarh al-Jami’ al-Shaghir. Mesir, Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, 1356 H, Cet. I, Juz 3

 

Qaththan, Manna’ al-, Mabahits fii ‘Ulum al-Hadits. Diterjemahkan oleh Mifdhol Abdurrahman, Lc dengan judul Pengantar Studi Ilmu Hadis. Jakarta, Pustaka Al-Kaustar, 2006, Cet. 2.

 

Qurthubi, Abu ‘Abd Allah Muhammad al-, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an. Kairo, Dar al-Sya’b, 1951, Juz 18, Cet. II

 

Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah. Beirut, Dar al-Fikr, 2007, Juz 2.

 

Shalih, Subhi al-. Ulum al-hadis wa Mushthalahuh. Beirut, Dar al-Ilmi li al-Malayin, 1988, Cet.XIX.

 

Said, Fuad, Perceraian Menurut Hukum Islam. Jakarta, Pustaka Al-Husna, 1993.

 

Suyuthi, Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman al-, Al-Jami’ al-Shagir fii Ahadits al-Basyir al-Nadzir Juz 1, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006), hal. 197.

 

Thabrani, Abu al-Qasim Sulaiman ibn Ahmad ibn Ayyub al-, Mu’jam al-Kabir. Mousol, maktabah al-‘ulum wa al-Hikam, 1983, Juz 3, Juz 7, Juz 19.

 

Tibrizi, Abu Abdullah Muhammad Khathib al-, Misykat al-Mashabih, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2007, Jilid 1.


[1]Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman al-Suyuthi, Al-Jami’ al-Shagir fii Ahadits al-Basyir al-Nadzir Juz 1, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006), hal. 197.

[2]Abu ‘Abd Allah Muhammad al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an. (Kairo: Dar al-Sya’b, 1951), Juz 18, Cet. II, hal. 149; penulis juga menemukan sumber-sumber lain yang memuat hadis tersebut antara lain dalam Al-‘Allamah ‘Ala’ al-Din ‘Ali al-Muttaqi ibn Hisam al-Din al-Hindi, Kanz al-Ummal fii Sunan al-Aqwaal wa al-Af’aal. (Beirut: Mu’assasah al-Risalah: 1989), Juz 9, hal. 661; lihat juga dalam Abu Syuja’ Syirwaih al-Dailami al-Hamdani, Al-Firdaus bi al-Ma’tsur. (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1986), Juz 2, hal. 51 melalui sanad Abu Hurairah.

[3]Ibid.

[4]Al-Hafizh Abu ‘Abd Allah ibn Mandah, Tarjamah al-Thabrani, Juz 1, hal. 1.

[5]Ibid., hal. 2

[6]Ibid, hal. 3-4

[7]Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsman Al-Dzahabi, Siyar al-A’lam al-Nubala, (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1993), Cet. IX, Juz 15, hal. 526 dikutip dari CD Program Maktabah al-Syamilah edisi ke-2 dalam http://www.waqfeya.net/shamela

[8]Ibid.

[9]Al-Hafizh Syihab al-Din Ahmad ibn Hajar al-‘Asqalani. Lisan al-Mizan, (T.p), Juz 2, hal. 78 dikutip dari CD Program Maktabah al-Syamilah versi 2 dalam www.waqfeya.net/shamela.

[10]Ibid.

[11]Ibid.

[12]Al-Hafizh Syihab al-Din Ahmad ibn Hajar al-‘Asqalani. Tahdzib al-Tahdzib. (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), jilid 10, hal. 382.

[13]Al-Hafizh Syihab al-Din Ahmad ibn Hajar al-‘Asqalani. Tahdzib al-Tahdzib. (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), jilid 3, hal. 637.

[14]Ibid.

[15]Al-Hafizh Syihab al-Din Ahmad ibn Hajar al-‘Asqalani. Tahdzib al-Tahdzib. (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), jilid 6, hal. 238.

[16]Ibid.

[17]Ibid, hal. 239

[18]Al-Hafizh Syihab al-Din Ahmad ibn Hajar al-‘Asqalani. Tahdzib al-Tahdzib. (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), jilid 6, hal. 482

[19]Ibid., hal. 483

[20]Ibid., hal. 485

[21]Al-Hafizh Syihab al-Din Ahmad ibn Hajar al-‘Asqalani. Tahdzib al-Tahdzib. (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), jilid 9, hal. 159.

[22]Ibid.

[23]Ibid.

[24]Al-Hafizh Syihab al-Din Ahmad ibn Hajar al-‘Asqalani. Tahdzib al-Tahdzib. (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), jilid 4, hal. 438.

[25]Ibid.hal. 440.

[26]‘Ali ibn Hibatullah ibn Abi Nashr ibn Makula, Al-Ikmal. (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), Juz 1, hal. 403

[27]Abu al-Qasim Sulaiman ibn Ahmad ibn Ayyub al-Thabrani, Mu’jam al-Kabir. (Mousol: maktabah al-‘ulum wa al-Hikam, 1983), Juz 3, hal. 179; lihat juga dalam Juz 7, hal. 294-295; lihat juga dalam Juz 8, hal. 280; lihat juga dalam Juz 19, hal. 286.

[28]Lihat kembali dalam Tahdzib al-Tahdzib, jilid 3, hal. 637; lihat pula dalam Tahdzib al-Tahdzib, jilid 6, hal. 238.

[29]Ibid, Jilid 6, hal. 483

[30]Subhi al-Shalih. Ulum al-hadis wa Mushthalahuh. (Beirut: Dar al-Ilmi li al-Malayin, 1988). Cet.XIX. hal.110

[31]Ibid. hal.109

[32]Tahdzib al-Tahdzib, jilid 3, hal. 637

[33]Hadis dha’if adalah hadis yang di dalamnya tidak terhimpun sifat-sifat hadis shahih dan tidak pula hadis hasan. Lihat dalam Subhi Shalih, Op.cit., hal. 165.

[34]Abu Abdullah Muhammad Khathib al-Tibrizi, Misykat al-Mashabih, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2007), Jilid 1, hal. 570

[35]Dedi Junaidi, Bimbingan Perkawinan, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2001), hal. 20

[36]Al-Hafizh ‘Abd al-Ra’uf al-Manawi, Faidh al-Qadir Syarh al-Jami’ al-Shaghir. (Mesir: Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, 1356 H), Cet. I, Juz 3, hal. 242

[37]Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam. (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1993), hal. 3

[38]Lihat dalam Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah. (Beirut: Dar al-Fikr, 2007), Juz 2, hal. 577.

[39]Fuad Said, Op.cit., hal. 4

[40]Ibid., hal. 6

[41]Manna’ al-Qaththan, Mabahits fii ‘Ulum al-Hadits. Diterjemahkan oleh Mifdhol Abdurrahman, Lc dengan judul Pengantar Studi Ilmu Hadis. (Jakarta: Pustaka Al-Kaustar, 2006), Cet. 2, hal. 145

Tags: , , ,
Copyright 2021. All rights reserved.

Posted June 24, 2013 by Admin in category "Hadits dan Ilmu Hadits

Comments on Facebook