Tahammul wa al ‘ada (Berbagai cara dalam menerima dan meriwayatkan Hadits)
BERBAGAI CARA DALAM MENERIMA DAN MERIWAYATKAN HADITS
OLEH : RASYID RIZANI, S.HI., M.HI
A. PENDAHULUAN
Hadits Rasulullah SAW sampai kepada kita merupakan jasa dari para periwayat hadits, yang dalam perjalanan penerimaannya mempunyai berbagai macam metode. Begitu pula dengan periwayatannya.
Para ulama ahli hadits mengistilahkan “menerima dan mendengar suatu periwayatan hadits dari seseorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadits” dengan istilah at-taħammul. Sedang “menyampaikan atau meriwayatkan hadits kepada orang lain” mereka istilahkan dengan al-ada’.
Jumhur ulama hadits berpendapat bahwa seorang anak yang belum dewasa ketika dia menerima periwayatan, maka hukumnya adalah sah asalkan ketika dia meriwayatkan haditsitu kembali dia sudah mukallaf.
Al-Qadhi Iyad menetapkan bahwa batas minimal anak-anak sah menerima hadits (mengadakan tahammul) adalah berusia 5 tahun, karena pada usia itu anak-anak sudah bisa menghafal apa-apa yang ia dengar dan mengingat-ingat apa yang dihafalnya.
B. BERBAGAI CARA DALAM MENERIMA HADITS
Dalam menerima hadits tidak disyaratkan seorang harus muslim dan baligh. Inilah pendapat yang benar. Namun, ketika menyampaikannya disyaratkan Islam dan baligh. Maka diterima seorang riwayat Muslim yang baligh dari hadits yang diterimanya sebelum masuk Islam atau sebelum baligh, dengan syarat tamyiz atau dapat membedakan bagi yang belum baligh. Sebagian ulama memberikan minimal berumur 5 tahun (seperti yang dikemukakan oleh Al Qadhi Iyad). Namun yang benar adalah cukup dengan batasan tamyiz atau dapat membedakan. Jika ia dapat memahami pembicaraan dan dapat memberikan jawaban dan pendengaran yang benar itulah tamyiz atau mumayyiz. Jika tidak maka haditsnya ditolak.[1]
Jumhur ulama ahli hadits berpendapat bahwa penerimaan periwayatan suatu hadits oleh anak yang belum sampai umur adalah sah bila periwayatan hadits itu kepada orang lain pada waktu sudah mukallaf. Abu Abdullah Al-Zuba’I mengatakan, bahwa sebaiknya anak diperbolehkan menulis suatu hadits saat usia mereka mencapai 10 tahun, karena pada usia ini akal mereka telah dianggap sempurna.
Sementara ulama Syam memandang usia yang ideal bagi seorang untuk meriwayatkan hadits setelah berusia 30 tahun, dan ulama Kufah berpendapat minimal 20 tahun. Kebanyakan ulama ahli hadits tidak menetapkan batasan usia tertentu bagi anak diperbolehkan untuk bertahammul, akan tetapi lebih menitikberatkan kepada ke-tamyiz-an mereka.[2]
Jalan untuk menerima hadits itu ada 8 macam, yaitu: as-sama’ atau mendengar lafazh Syaikh, al-qira’ah,atau membaca kepada syeikh, al-Ijazah, al-Munawalah, al-Kitabah, al-I’lam, al-Washiyyah, dan al-wijadah. Pada pembahasan ini akan dijelaskan lafazh-lafazh penyampaian masing-masing metode tersebut.
1. As-Sama’, atau mendengar lafazh guru
Gambarannya: seorang guru membaca dan murid mendengarkan, baik guru membaca dari hafalannya atau tulisannya, dan baik murid mendengar dan menulis apa yang didengarnya, atau mendengar saja dan tidak menulis. Menurut jumhur ulama, as-Sama’ ini merupakan bagian yang paling tinggi dalam pengambilan hadits.
Lafazh-lafazh penyampaian hadits dengan cara ini adalah :سمعت أو حدثنى أو اخبرنى أو انبأنى أو قال لي أو ذكرلي (aku telah mendengar dan telah menceritakan kepadaku. Jika perawinya banyak :سمعنا أو حدثنا أو اخبرنا أو انبأنا أو قال لنا أو ذكرلنا{kami telah mendengar dan telah menceritakan kepada kami}. Ini menunjukkan bahwasanya dia mendengar dari syekh bersama yang lain. [3]
2. Al-Qira’ah, artinya membaca kepada syeikh
Yakni suatu cara penerimaan hadits dengan cara seseorang membacakan hadits di hadapan gurunya, baik dia sendiri yang membacakan, maupun orang lain sedang sang guru mendengarkan atau menyimaknya, baik sang guru hafal ataupun tidak dan dia memegang kitabnya atau mengetahui tulisannya dan dia tergolong tsiqah.
Ajjaj al-Khatib dengan mengutip pendapat Imam Ahmad mensyaratkan oarang yang membaca (qari’) itu mengetahui dan memahami apa yang dibacanya. Sementara syarat bagi syekh – dengan mengutip pendapat Imam Haramain hendaknya yang ahli dan teliti ketika mendengar atau menyimak dari apa yang dibacakan oleh qari, sehingga tahrif maupun tashif dapat terhindarkan. Jika tidak demikian maka proses tahammul tidak sah.[4]
Para ulama sepakat bahwa cara seperti ini dianggap sah, namun mereka berbeda pendapat mengenai derajat al-Qira’ah. Di antara mereka, seperti al-Laits bin Sa’ad, Syu’ban, Ibnu Juraih, Sufyan ats-Tsauri, Abu hanifah, menganggap bahwa al-qira’ah lebih baik jika dibandingkan dengan as-Sama’. Sebab dalam as-Sama’ bila bacaan guru salah, murid tidak leluasa menolak kealahan, tetapi dalam al-Qira’ah bila bacaan murid salah, guru segera membenarkannya. Imam Malik, Bukhari, sebagian besar ulama Hijaz dan Kufah menganggap bahwa antara al-Qira’ah dengan as-Sama’ mempunyai derajat yang sama. Ibnu Abbas mengatakan (kepada muridnya) “Bacakanlah kepadaku, sebab bacaan kalian kepadaku seperti bacaanku kepada kalian”. Sementara Ibnu Al-Shalah, Imam Nawawi dan Jumhur Ulama memandang bahwa as-Sama’ lebih tinggi derajatnya dibanding dengan cara al-Qira’ah.[5]
3. Al-Ijazah
Yakni seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatan hadits atau kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu, sekalipaun sang murid tidak membacaan kepada gurunya atau tida mendengar bacaan gurunya.
Para ulama berbeda pendapat mengenai penggunaan al-ijazah sebagai cara untuk meriwayatkan hadits. Ibnu Hazm mengatakan bahwa cara meriwayatkan hadits dengan menggunakan ijazah dianggap bid’ah dan tidak diperbolehkan. Adapun ulama yang membolehkan cara al-ijazah ini menetapan syarat bahwa sang guru harus benar-benar mengerti tentang hadits atau kita yang diijazahkan, dan naskah muridnya harus menyamai dengan yang asli, sehingga seolah-olah naskah tersebut adalah aslinya. Selain itu, guru yang memberikan ijazah itu benar-benar ahli ilmu.
Al-Qadi Iyad membagi al-Ijazah menjadi 6 macam, sedangkan Ibnu Ash-Shalah menambahkan 1 macam lagi, sehingga menjadi 7 macam, yaitu sebagai berikut :
a. Seorang guru mengijazahkan kepada seseorang atau beberapa orang tertentu sebuah kitab yang dia sebutkan kepada mereka. Al-Ijazah seperti ini diperbolehkan menurut jumhur.
b. Bentuk ijazah kepada orang tertentu untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu, seperti “Aku ijazahkan kepadamu sesuatu yang saya riwayatkan untuk kamu riwayatkan”. Cara seperti ini menurut jumhur juga tergolong yang diperbolehkan.
c. Bentuk ijazah secara umum, seperti ungkapan “Aku ijazahkan kepada kaum muslimin atau kepada orang-orang yang ada (hadir).
d. Bentuk ijazah kepada orang yang tidak tertentu untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu. Cara seperti ini dianggap fasid.
e. Bentuk ijazah kepada orang yang tidak ada, seperti mengijazahkan kepada bayi yang masih dalam kandungan. Bentuk ijazah seperti ini tidak sah.
f. Bentuk ijazah mengenai sesuatu yang belum diperdengarkan kepada penerima ijazah, seperti ungkapan “Aku ijazahkan kepadamu untuk kamu riwayatkan dariku sesuatu yang akan kudengarkan”. Cara seperti ini dianggap batal.
g. Bentuk ijazah al-mujaz seperti perkataan guru “Aku ijazahkan kepadamu ijazahku”. Bentuk seperti ini diperbolehkan.[6]
4. Al-Munawalah, atau menyerahkan
Yakni seorang guru memberikan sebuah materi tertulis kepada seseorang untuk meriwayatkannya.[7] Munawalah itu mempunyai 2 tipe, yaitu :
a. Dengan dibarengi ijazah. Misalnya setelah sang guru menyerahkan kitab-kitab asli atau salinannya, lalu mengatakan: “Riwayatkanlah dari saya ini. Atau naskah yang dibacakan seorang murid di hadapan sang guru, lalu dikatakan: “itu adalah periwayatan saya, karenanya riwayatkanlah”. Periwayatan seperti ini diperkenankan dan bahkan ada yang berpendapat kebolehannya itu secara ijma’, karenanya tidak ragu lagi kewajiban untuk mengamalkannya.
b. Tidak dibarengi ijazah. Yakni ketika naskah asli atau turunannya diberikan kepada muridnya dengan dikatakan bahwa itu adalah apa yang didengar dari si Pulan, tanpa diikuti dengan suatu perintah untuk meriwayatkannya.
Menurut Ibnu Shalah dan An- Nawawy meriwayatkan dengan cara ini tidak dianggap sah oleh para ahli ushul dan ahli fiqih. Mereka mencela para muhadditsin yang membolehkan meriwayatkan hadits yang diterimanya dengan munawalah tanpa dibarengi ijazah.[8]
5. Al-Kitabah
Yaitu seorang Syekh menulis sendiri atau menyuruh orang lain menulis riwayatnya kepada orang yang hadir di tempatnya atau yang tidak hadir di situ. Kitabah ada 2 macam, yaitu :
a. Kitabah yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan sang Syaikh, “Aku ijazahkan kepadamu apa yang aku tulis untukmu”, atau yang semisal dengannya. Dan riwayat dengan cara ini adalah shahih karena kedudukannya sama kuat dengan munawalah yang disertai dengan ijazah.
b. Kitabah yang tidak disertai dengan ijazah, seperti Syaikh menulis sebagian hadits untuk muridnya dan dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi ini diperbolehkan untuk meriwayatkannya. Di sini terdapat perselisihan masalah hukum periwayatannya. Sebagian tidak membolehkannya jika dieketahui bahwa tulisan tersebut adalah karya Syaikh itu sendiri.[9]
6. Al-I’lam
Yakni memberikan informasi kepada seseorang bahwa ia memberikan izin untuk meriwayatkan hadits tertentu.[10] Sebagian ulama ahli ushul dan pendapat ini dipilih oleh Ibnu Ash Shalah menetapkan bahwa tidak sah meriwayatkan hadits dengan cara ini. Karena dimungkinkan bahwa seorang guru telah mengetahui ada sedikit atau banyak cacatnya. Sedangkan kebanyakan ulama ahli hadits, ahli fiqih, dan ahli ushul membolehkannya.[11]
7. Al-Washiyyah
Yaitu seorang Syeikh mewasiatkan di saat mendekati ajalnya atau dalam perjalanan, sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi. Riwayat seorang yang diterima dengan jalan wasiat ini boleh dipakai menurut sebagian ulama, namun yang benar adalah tida boleh dipakai.
Ketika menyampaikan riwayat dengan wasiat ini, perawi mengatakan: “Ausha ilayya fulanun bi kitabin” (Si Fulan mewasiatkan kepadaku sebuah kitab) atau “Haddatsni fulanun washiyyatan”. (fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah wasiat).[12]
8. Al-Wijadah
Yakni seorang memperoleh hadits orang lain dengan mempelajari kitab-kitab hadits dengan tidak melalui cara as-sama’, al-Ijazah atau al-Munawalah. Para ulama hadits berselisih pendapat mengenai cara ini. Kebanyakan ahli hadits dan ahli fiqih dari mazhab Malikiyyah tidak memperbolehkan meriwayatkan hadits dengan cara ini. Imam Syafi’I dan para pengikutnya memperbolehkan beramal dengan hadits yang periwayatannya melalui cara ini. Ibnu Al-Shalah mengatakan bahwa sebagian ulama muhaqqiqin mewajibkan mengamalkannya bila diyakini kebenarannya.[13] Dalam menyampaikan hadits atau kitab yang didapati dengan jalan wijadah ini, si perawi berkata: “wajadtu bikhaththi fulanin” (aku dapatkan buku ini dengan tulisan Fulan), atau “qara’tu bi khati fulanin “ (aku telah membaca buku ini dengan tulisan Fulan), kemudian menyebutkan sanad dan matannya.[14]
C. BERBAGAI CARA DALAM MERIWAYATKAN HADITS
Al-‘Ada atau periwatan hadits adalah menyampaikan atau meriwayatkan hadits kepada orang lain. Oleh karena itu, ia mempunyai peranan yang sangat penting dan sudah barang tentu menurut pertanggungjawaban yang cukup berat, sebab sah atau tidaknya suatu hadits juga sangat tergantung padanya.
Jumhur ahli hadits, ahli ushul dan ahli fiqih menetapkan beberapa syarat bagi periwayatan hadits, yaitu sebagai berikut :
a. Islam, yaitu seseorang yang beragama Islam waktu dia menyampaikan hadits itu. Firman Allah SWT :
$pkr‘¯»ttûïÏ%©!$#(#þqãZtB#uäbÎ)óOä.uä!%y`7,Å$sù:*t6t^Î/(#þqãY¨t6tGsùbr&(#qç7ÅÁè?$JBöqs%7‘s#»ygpg¿2(#qßsÎ6óÁçGsù4n?tã$tBóOçFù=yèsùtûüÏBÏ»tRÇÏÈ
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS. Al-Hujurat: 6)
b. Baligh, artinya cukup umur ketika ia meriwayatkan hadits, meskipun ia masih kecul waktu menerima hadits itu.
رفع القلم عن ثلاثة : عن المجنون المغلوب على عقله حتى يبرأ وعن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم[15]
Artinya :
Hilang kewajiban menjalankan syari’at Islam dari 3 golongan: yaitu orang gila sampai ia sembuh, orang yang tidur sampai bangun, dan anak-anak sampai ia mimpi (HR. Abu Daud dan Nasa’i)
c. ‘Adalah (adil) yaitu orang Islam yang telah baligh lagi berakal, tidak mengerjakan dosa besar dan tidak selalu memperbuat dosa kecil.
d. Dhabit artinya tepat menangkap apa yang didengarnya, dan dihafalkannya dengan baik, sehingga di mana perlu dapat ia mengeluarkan atau menyebutkannya kembali.[16]
Karena perbedaan cara-cara para perawi menerima hadits dari guru yang memberikan, maka berbeda pulalah lafazh-lafazh yang dipakai untuk menyampaikan hadits. Perbedaan lafazh-lafazh menyampaikan hadits itu mengakibatkan pula perbedaan nilai suatu hadits.
Lafazh-lafazh untuk menyampaikan hadits itu dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu :
1. Lafazh meriwayatkan hadits bagi para rawi yang mendengar langsung dari gurunya. Lafazh-lafazh itu tersusun sebagai berikut :
سمعت, سمعنا(saya telah mendengar……kami telah mendengar). Lafazh ini menjadikan nilai hadits yang diriwayatkannya tinggi martabatnya, lantaran rawi-rawinya mendengar sendiri, baik berhadapan muka dengan guru yang memberikannya atau di belakang tabir: kemudian
حدثنى, حدثنا(seseorang telah bercerita kepadaku…………seseorang telah bercerita kepada kami). Lafazh-lafazh hadits ini, oleh jumhur kadang-kadang dirumuskan dengan : ثنى, نى, دثنى, ثنا, نا, دثناdan lain sebagainya.
2. Lafazh meriwayatkan hadits bagi para rawi yang mungkin mendengar sendiri atau tidak mendengar sendiri. Seperti lafazh : روى, حكى, عن, أن,…..(diriwayatkan oleh….dihikayatkan oleh……dari….bahwasanya….). Hadits yang diriwayatkan dengan shighat tamridh ini tidak dapat untuk menetapkan bahwa Nabi benar-benar menyabdakan, kecuali dengan adanya qarinah yang lain.[17]
D. PENUTUP / KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah lalu, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan, yaitu sebagai berikut :
1. Jalan untuk menerima hadits itu ada 8 macam, yaitu:
a. as-sama’ atau mendengar lafazh Syaikh,
b. al-qira’ah,atau membaca kepada syeikh,
c. al-Ijazah,
d. al-Munawalah,
e. al-Kitabah,
f. al-I’lam,
g. al-Washiyyah, dan
h. al-wijadah.
2. Jumhur ahli hadits, ahli ushul dan ahli fiqih menetapkan beberapa syarat bagi periwayatan hadits, yaitu sebagai berikut :
a. Islam, yaitu seseorang yang beragama Islam waktu dia menyampaikan hadits itu.
b. Baligh, artinya cukup umur ketika ia meriwayatkan hadits, meskipun ia masih kecul waktu menerima hadits itu.
c. ‘Adalah (adil) yaitu orang Islam yang telah baligh lagi berakal, tidak mengerjakan dosa besar dan tidak selalu memperbuat dosa kecil.
d. Dhabit artinya tepat menangkap apa yang didengarnya, dan dihafalkannya dengan baik, sehingga di mana perlu dapat ia mengeluarkan atau menyebutkannya kembali.
3. Lafazh-lafazh untuk menyampaikan hadits itu dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu :
a. Lafazh meriwayatkan hadits bagi para rawi yang mendengar langsung dari gurunya
b. Lafazh meriwayatkan hadits bagi para rawi yang mungkin mendengar sendiri atau tidak mendengar sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Azamiy, Muhammad Mustafa Al-, 1992, Studies in Hadits Methodology and Literature, diterjemahkan oleh A. Yamin dengan judul “Metodologi Kritik Hadits”, Jakarta: Pustaka Hidayah. Cet ke-1
Aziz, Mahmud dan Mahmud Yunus, 1958, Ilmu Mushthalah Hadits, Jakarta: PT. Jayamurni.
Daud, Abu, 1974, Sunan Abu Daud, Juz 4, Suriyah: Dar Al-Hadits. cet ke-1
Karim, Abdullah, Drs, M.Ag, 2005, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits, Banjarmasin: Comdes Kalimantan.
Khatib, M. Ajjaj al-, 1981, Ushul al-Hadits ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu, Beirut: Dar al-Fikri .
Mudasir, Drs, H, 1999, Ilmu Hadits untuk IAIN, STAIN, PTAS semua Fakultas dan Jurusan, Bandung: CV. Pustaka Setia.
Qaththan, Syaikh Manna’ Al-, 2005, Pengantar Studi Hadits, terj. Mifdhol Abdurrahman, Lc, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Rahman, Fatchur, Drs, 1974, Ikhtishar Mushthalahul Hadits, Bandung: PT. Al-Ma’arif.
Suparta, Munzier, Drs, MA, 2008, Ilmu Hadits, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Thahan, Mahmud, Taisir Mushthalah al-hadits, Dar al-Fikr.
[1]Syaikh Manna’ Al Qaththan, Pengantar Studi Hadits, terj. Mifdhol Abdurrahman, Lc, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h. 181
[2]Munzier Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008), h. 195 – 196
[3]Mahmud Thahan,Taisir Mushthalah al-hadits, (Dar al-Fikr, t.t) h. 132
[4]M. Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu, (Beirut: Dar al-Fikri, 1981), h. 234
[5]Munzier Suparta, Op. Cit, h. 199 – 200
[6]Mudasir, Ilmu Hadits untuk IAIN, STAIN, PTAS semua Fakultas dan Jurusan, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999). h. 185 – 186.
[7]Abdullah Karim, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits, (Banjarmasin: Comdes Kalimantan, 2005), h. 40
[8]Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahul Hadits, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1974), h. 246
[9]Syaikh Manna’ Al Qaththan, Op. Cit, h. 184
[10]Muhammad Mustafa Al-Azamiy, Studies in Hadits Methodology and Literature, diterjemahkan oleh A. Yamin dengan judul “Metodologi Kritik Hadits”, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992) cet ke-1, h. 37
[11]Munzier Suparta, Op. Cit, h. 203
[12]Syaikh Manna’ Al Qaththan, Op. Cit, h. 185
[13]Munzier Suparta, Op. Cit, h. 204
[14]Syaikh Manna’ Al Qaththan, Loc. Cit
[15]Abu Daud, Sunan Abu Daud, Juz 4, (Suriyah: Dar Al-Hadits, 1974), cet ke-1, h. 559.
[16]Mahmud Aziz dan Mahmud Yunus, Ilmu Mushthalah Hadits, (Jakarta: PT. Jayamurni, 1958), h. 11
[17]Fatchur Rahman, Op. Cit, h. 252 – 254. Lihat juga : Ajjaj al-Khatib, Op. Cit, h. 248 – 249