Teori Emanasi Al Farabi
Teori Emanasi Al Farabi
Oleh : Rasyid Rizani, S.HI., M.HI
A. PENDAHULUAN
Tujuan filsafat dan agama bagi Al-Farabi adalah sama, yaitu mengetahui semua wujud. Hanya saja filsafat memakai dalil-dalil yang yakini dan ditujukan kepada golongan tertentu, sedang agama memakai cara iqna’I (pemuasan perasaan) dan kiasan-kiasan serta gambaran,dan ditujukan kepada semua orang, bangsa dan negara.
Mengenai pengertian filsafat, ia mengatakan bahwa filsafat adalah mengetahui semua yang wujud karena ia wujud (al-ilm bil maujudat bimahiya maujudah).[1]
Ia berkeyakinan bahwa filsafat tidak boleh dibocorkan dan sampai ke tangan orang awwam. Oleh karena itu filosof-filosof harus menuliskan pendapat-pendapat atau filsafat mereka dalam gaya bahasa yang gelap, agar jangan dapat diketahui oleh sembarangan orang, dan dengan demikian iman serta keyakinannya tidak menjadi kacau.
Pada pembahasan kali ini akan dipaparkan bagaimana pendapat Al-Farabi tentang teori emanasi /pancaran.
B. BIOGRAFI Al-FARABI
Nama lengkapnya adalah Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Tharkhan. Sebutna al-farabi diambil dari nama kota Farab, di mana ia dilahirkan pada tahun 257 H / 870 M. Ayahnya adalah seorang Iran dan kawin dengan seorang wanita Turkestan. Kemudian ia menjadi perwira tentara Turkestan. Karena itu,al-farabi dikatakan berasal dari keturunan Turkestan dan kadang-kadang ia juga dikatakan keturunan Iran.
Sejak kecil al-Farabi suka belajar dan ia mempunyai kecakapan luar biasa dalam lapangan bahasa. Bahasa-bahasa yang dikuasainya antara lain adalah bahasa-bahasa Iran, Turkestan, dan Kurdistan. Nampaknya ia tidak mengenal bahasa Yunani dan Siriani, yaitu bahasa-bahasa ilmu pengetahuan dan filsafat pada waktu itu.
Setelah besar, ia meninggalkan negerinya untuk menuju kota Baghdad, pusat pemerintahan dan ilmu pengetahuan pada masanya, untuk belajar antara lain pada Abu Bisyr bin mattius. Selama berada di Baghdad, ia memusatkan perhatiannya kepada ilmu logika.
Nampaknya pada waktu pertama datang di baghdad, hanya sedikit bahasa Arab yang telah dikuasainya. Ia sendiri mengatakan bahwa ia belajar ilmu nahwu (tata bahasa Arab) pada Abu bakar as-Sarraj, sebagai imbalan pelajaran logika yang diberikan oleh al-Farabi kepadanya.
Sesudah itu, ia pindah ke Harran – salah satu pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil – untuk berguru pada Yuhanna bin Jillan. Tetapi tidak lama kemudian, ia meninggalkan kota itu untuk kembali ke Baghdad dan untuk mendalami filsafat sesudah ia menguasai ilmu mantik (logika), dan di Baghdad ia menetap selama 30 tahun. Selama waktu itu ia memakai waktunya untuk mengarang, memberikan pelajaran, dan mengulas buku-buku filsafat. Muridnya yang terkenal pada waktu itu antara lain ialah Yahya bin ‘Ady.
Pada tahun 330 H / 941 M, ia pindah ke Damsyik, dan di sini ia mendapat kedudukan yang baik di Saifudaulah, khalifah Dinasti Hamdan di Halab (Aleppo), sehingga ia diajak turut serta dalam suatu pertempuran untuk merebut kota Damsyik, kemudian ia menetap di kota ini sampai wafatnya pada tahun 337 H / 950 M pada usia 80 tahun.
Al-farabi luas pengetahuannya, ia mendalami ilmu-ilmu bahasa, matematika, kimia, astronomi, kemiliteran, musik, ilmu alam, ketuhanan, fikih dan mantik.[2]
C. TEORI EMANASI AL-FARABI
Emanasi ialah teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam makhluk) dari Zat yang wajibul wujud (Zat yang mesti adanya; Tuhan). Teori emanasi disebut juga dengan nama “teori urut-urutan wujud”. Menurut al-Farabi, Tuhan adalah pikiran yang bukan berupa benda.[3]
Ia berpindirian, bahwa seluruh yang ada (maujud) tidak terlepas dari keadaan wajibul wujud atau mumkin wujud. Yang mumkinul wujud lahir karena ada sebab, sedangkan yang wajibul wujud adalah ada dengan tidak bersebab, ia memiliki Zat yang Agung dan sempurna, ia memiliki kesanggupan mencipta dalam keseluruhan sejak azali.[4]
Dengan filsafat ini, al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Satu. Tuhan bersifat Mahasatu, tidak berubah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Mahasempurna dan tidak berhajat pada apapun.[5] Ajaran itu dipinjam dari Plotinus yang menyebutnya “pro-odos” dan “prohiemi”: maju keluar. Al-farabi memakai kata fayd: meluap, meletus dan sudur: memantulkan atau melimpahkan.[6]
Persoalan emanasi telah dibahas oleh aliran Neo Platonisme yang menggunakan kata-kata simbolis (kiasan), sehingga tidak bisa didapatkan hakikatnya yang sebenarnya. Akan tetapi, al-Farabi telah menguraikannya secara ilmiah, di mana ia mengatakan bahwa segala sesuatu keluar dari Tuhan, karena Tuhan mengetahui Zat-Nya dan mengetahui bahwa Ia menjadi dasar susunan wujud yang sebaik-baiknya. Tuhan cukup dengan mengetahui Zat-Nya yang menjadi sebab adanya alam, agar alam ini terwujud. Dengan demikian, maka keluarnya alam (makhluk) dari Tuhan terjadi tanpa gerak dan alat, karena emanasi adalah pekerjaan akals emata-mata. Akan tetapi, wujud alam (makhluk) tersebut tidak memberi kesempurnaan bagi Tuhan, karena Tuhan tidak membutuhkannya. Alam tersebut bukan merupakan tujuan bagi Tuhan dan wujud-Nya pun bukanlah karena yang lainnya.[7]
Al-Farabi menemui kesulitan dalam menjelaskan bagaimana terjadinya yang banyak (alam) yang bersifat materi dari Yang Esa (Allah) jauh dari arti materi dan Mahasempurna. Dalam filsafat Yunani, Tuhan bukanlah pencipta alam, melainkan penggerak Pertama (Prime Cause), seperti yang dikemukakan Aristoteles. Sementara dalam doktrin ortodoks Islam (al-Mutakallimin), Allah adalah Pencipta (Shani’, Agent) yang menciptakan dari tiada menjadi ada (creito ex nihilo). Untuk mengislamkan doktrin ini, al-Farabi – juga filosof Muslim lainnya – mencari bantuan pada doktrin Neo Platonis monistik tentang emanasi. Dengan demikian, Tuhan Penggerak Aristoteles bergeser menjadi Allah Pencipta, yang menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada secara pancaran. Dengan arti, Allah menciptakan alam sejak azali, materi alam berasal dari yang qadim, sedangkan susunan materi yang menjadi alam adalah baharu. Sebab itu menurut filosof Muslim, kun Allah yang termaktub dalam Alquran ditujukan kepada syai’ (sesuatu) bukan pada la syai’ (nihil).[8]
Allah Mahasempurna, ia tidak tidak memikirkan dan berhubungan dengan alam, karena terlalu rendah bagi-Nya untuk memikirkan dan berhubungan dengan alam yang tidak sempurna. Allah cukup memikirkan zat-Nya, maka terciptalah energi yang maha dahsyat serta pancaran dan dari energi inilah terjadi Akal Pertama(juga memadat dalam bentuk materi).[9]
Proses emanasi al-Farabi yang sangat rumit ini dapat dilukiskan sebagai berikut :
Wujud pertama dari Tuhan disebut Akal Pertama, yang mengandung 2 segi: pertama, segi hakikatnya sendiri yaitu wujud yang mumkin, dan kedua, segi lain, yaitu wujudnya yang nyata dan yang terjadi karena adanya Tuhan, sebagai Zat yang menjadikan.
1. Dari pemikiran Akal Pertama, dalam kedudukannya sebagai wujud yang wajib (nyata) karena Tuhan, dan sebagai wujud yang mengetahui dirinya, maka keluarlah Akal Kedua. Dari pemikiran Akal Pertama, dalam kedudukannya sebagai wujud yang mumkin dan mengetahui dirinya, maka timbullah langit pertama atau benda langit terjauh dengan jiwanya sama sekali.
2. Dari Akal Kedua, timbullah Akal Ketiga dan langit kedua atau bintang-bintang tetap beserta jiwanya, dengan cara yang sama seperti yang terjadi pada Akal Pertama.
3. Dari Akal Ketiga keluarlah Akal Keempat dan planet Saturnus (Zuhal), juga beserta jiwanya.
4. Dari Akal Keempat keluarlah Akal Kelima dan planet Yupiter (al-Musytara) beserta jiwanya.
5. Dari Akal Kelima keluarlah Akal Keenam dan planet Mars (Mariiah) beserta jiwanya.
6. Dari Akal Keenam keluarlah Akal Ketujuh dan matahari (as-Syams) beserta jiwanya.
7. Dari Akal Ketujuh keluarlah Akal Kedelapan dan planet Venus (az-Zuharah) juga beserta jiwanya.
8. Dari Akal Kedelapan keluarlah Akal Kesembilan dan planet Mercurius (‘Utarid) beserta jiwanya pula.
9. Dari Akal Kesembilan keluarlah Akal Kesepuluh dan bulan (Qamar).[10]
10. Akal Kesepuluh, karena daya akal ini sudah lemah, maka ia tidak dapat lagi menghasilkan akal sejenisnya dan hanya menghasilkan bumi, roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar keempat unsur pokok: air, udara, api dan tanah. Akal Kesepuluh ini disebut Akal Fa’al (akal aktif) atau wahib al-shuwar (pemberi bentuk) dan terkadang disebut Jibril yang mengurusi kehidupan bumi.
Akal-akal dan planet-planet itu terpancar secara berurutan dalam waktu yang sama. Hal ini dapat terjadi karena dalam Allah berpikir tentang diri-Nya, seperti yang disebutkan, menghasilkan daya atau energi.
Kalau pada Allah hanya terdapat satu objek pemikiran, yakni zat-Nya, sedangkan pada akal-akal terdapat 2 objek pemikiran: Allah dan akal-akal.[11]
Demikianlah, maka jumlah akal ada 10, 9 di antaranya untuk mengurus benda-benda langit yang sembilan, dan akal kesepuluh, yaitu akal bulan, mengawasi dan mengurusi kehidupan di bumi. Akal-akal tersebut tidak berbeda, tetapi merupakan pikiran selamanya.[12]
Emanasi al-Farabi ini jelas cangkokan doktrin Plotinus yang dikombinasikan dengan sistem kosmologi Ptalomeus sehingga menimbulkan kesan bahwa al-Farabi hanya mengalihbahasakan dari bahasa sebelumnya ke dalam bahasa Arab.
Menurut Nurcholis Madjid, al-Farabi mempelajari dan mengambil ramuan asing ini terutama karena paham ketuhanannya memberikan kesan tauhid.[13]
Emanasi melahirkan alam kadim dari segi zaman (taqaddum zamany), bukan dari segi zat (taqaddum zaty), karena alam dijadikan Allah secara emanasi sejak azali tanpa diselangi waktu, namun ia sebagai ciptaan berarti ia baharu.[14]
Agar lebih jelas tentang teori emanasi al-Farabi ini, lihatlah tabel berikut ini :
(Subjek) akal yang ke |
sifat |
Berpikir tentang |
Keterangan |
|
|
|
Allah sebagai Wajibu al-Wujud menghasilkan |
Dirinya sendiri sebagai mumkin al-wujud menghasilkan |
|
I II III IV V VI VII VIII IX X
|
Mumkin wujud Mumkin wujud Mumkin wujud Mumkin wujud Mumkin wujud Mumkin wujud Mumkin wujud Mumkin wujud Mumkin wujud Mumkin wujud |
Akal II Akal III Akal IV Akal V Akal VI Akal VII Akal VIII Akal IX Akal X |
Langit pertama Bintang-bintang Saturnus Yupiter Mars Matahari Venus Merkuri Bulan Bumi, roh, materi pertama yang menjadi keempat unsur: udara, api, air dan tanah |
Masing-masing akal mengurusi satu planet
Akal ke X tidak lagi memancarkan akal-akal berikutnya, karena kekuatannya sudah lemah |
Struktur emanasi al-Farabi ini dipengaruhi oleh temuan saintis saat itu, yakni sembilan planet dan satu bumi. Karena itu, ia membutuhkan sepuluh akal. Setiap akal mengurusi satu planet termasuk bumi. Sekiranya al-Farabi hidup saat ini, tentu saja ia akan membutuhkan banyak sekali akal sebanyak planet yang ditemukan saintis sekarang.[15]
Jiwa manusia sebagaimana halnya dengan materi asal memancar dari Akal Kesepuluh. Sebagaimana Aristoteles, ia juga berpendapat bahwa jiwa mempunyai daya-daya :
1. Gerak ( محركة , motion )
a. Makan ( الغاذية , nutrition)
b. Memelihara ( المربية , preservation )
c. Berkembang ( المولدة , reproduction )
2. Mengetahui ( المدركة , cognition )
a. Merasa ( الحاسية , sensation )
b. Imajinasi ( المتخيلة , imagination )
3. Berpikir ( الناطقة , intellection )
a. Akal praktis ( العقل العملى, practical intellect )
b. Akal teoritis ( العقل النظرى, theoritical intellect )
Daya berpikir terdiri dari 3 tingkat :
1. Akal potensial ( العقل الهيولانى, material intellect ) baru mempunyai potensi berpikir dalam arti: melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk dari materinya.
2. Akal aktual ( العقل بالفعل, actual intellect ) telah dapat melepaskan arti-arti dari materinya, dan arti-arti itu telah mempunyai wujud dalam akal dengan sebenarnya, bukan dalam bentuk potensi, tetapi dalam bentuk aktual.
3. Akal mustafad ( الغقل المستفاد, acquired intellect ) telah dapat menangkap bentuk semata-mata. Kalau akal aktual hanya dapat menangkap arti-arti terlepas dari materi, akal mustafad sanggup menangkap bentuk semata-mata. Bentuk semata-mata itu berada tanpa materi seperti akal yang kesepuluh dan Tuhan. [16]
D. PENUTUP / KESIMPULAN
Demikianlah, apa yang dapat saya paparkan tentang teori emanasi al-Farabi ini. Melihat dari pembahasan tersebut, ada beberapa hal yang dapat ditarik sebagai kesimpulan, yaitu :
1. Emanasi ialah teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam makhluk) dari Zat yang wajibul wujud (Zat yang mesti adanya; Tuhan).
2. Seluruh yang ada (maujud) tidak terlepas dari keadaan wajibul wujud atau mumkin wujud. Yang mumkinul wujud lahir karena ada sebab, sedangkan yang wajibul wujud adalah ada dengan tidak bersebab, ia memiliki Zat yang Agung dan sempurna, ia memiliki kesanggupan mencipta dalam keseluruhan sejak azali.
3. al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Satu. Tuhan bersifat Mahasatu, tidak berubah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Mahasempurna dan tidak berhajat pada apapun.
4. Proses emanasi al-Farabi yang sangat rumit itu dapat dilukiskan dengan adanya sepuluh akal yang masing-masing akal mengurus satu planet dan bumi sebagaimana telah dijelaskan terdahulu.
5. jiwa mempunyai daya-daya, seperti gerak (makan, memelihara, dan berkembang), mengetahui (merasa dan imajinasi), dan berpikir (akal praktis dan akal teoritis). Daya berpikir terdiri dari 3 tingkat : akal potensial, akal aktual, dan akal mustafad.
DAFTAR PUSTAKA
Atjeh, H. Abu Bakar, Prof. Dr., 1970, Sejarah Filsafat Islam, Semarang: CV. Ramadhani.
Hanafi, Ahmad, MA, 1990, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Madjid, Nurcholis, 1984, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, Harun, 1999, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
SY, JWM. Bakker, 1978, Sejarah Filsafat dalam Islam, Yogyakarta: Kanisius.
Zar, H. Sirajuddin, Prof. Dr. MA, 2004, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
[1]Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 7
[2]Ibid, h. 81
[3]Ibid, h. 92
[4]Abu Bakar Atjeh, Sejarah Filsafat Islam, (Semarang: CV. Ramadhani, 1970), h. 49
[5]Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1999), h. 21
[6]JWM. Bakker SY, Sejarah Filsafat dalam Islam, (Yogyakarta: Kanisius, 1978), h. 33
[7]Ahmad Hanafi, Op. Cit, h. 93
[8]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 74
[9]Ibid, h. 75
[10]Ahmad Hanafi, Op. Cit, h. 93 – 94.
[11]Sirajuddin Zar, Op. Cit, h. 75 – 76
[12]Ahmad Hanafi, Op. Cit, h. 94
[13]Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 24
[14]Sirajuddin Zar, Op. Cit, h. 77
[15]Ibid, h. 78
[16]Harun Nasution, Op. Cit, h. 23 – 24.