Sejarah dan Konsep Aliran Kalam Asy’ariyah
ALIRAN KALAM – ASY’ARIYAH
Oleh: Rasyid Rizani, S.HI., M.HI
(Hakim pada Pengadilan Agama Bajawa – NTT)
Abstrak
Teologi sebagaimana diketahui, membahas ajaran-ajaran dasar dari sesuatu agama. Setiap orang yang ingin menyelami seluk beluk agamanya secara mendalam perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang dianutnya. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan yang berdasarkan pada landasan kuat, yang tidak mudah diombang-ambing oleh peredaran zaman.
Telog dalam Islam diberi nama Mutakallimin yaitu ahli debat yang pintar memakai kata-kata. Pada umumnya teolog Islam yang diajarkan di Indonesia adalah teolog dalam bentuk ilmu tauhid yang pembahasannya kurang bersifat filosofis dan biasanya memberikan pembahasan sepihak dan tidak mengemukakan pendapat serta paham dari aliran-aliran atau golongan-golongan lain yang ada dalam teologi Islam. Dan ilmu tauhid yang diajarkan dan dikenal di Indonesia pada umumnya ialah ilmu tauhid menurut aliran Asy’ariyah sehingga timbullah kesan dikalangan sementara umat Islam Indonesia bahwa inilah satu-satunya teologi yang ada dalam Islam.
Sebenarnya dalam Islam terdapat lebih dari satu aliran teologi. Ada aliran yang bersifat tradisionil, dan ada pula yang bersifat antara liberal dan tradisionil yang menurut ajaran dasar Islam tidak bertentangan. Dengan demikian orang yang memilih mana saja dari aliran-aliran itu sebagai teologi yang dianutnya tidaklah pula menyebabkan ia menjadi keluar dari Islam karena teologi membahas soal-soal dasar dan soal pokok dan bukan soal furu’ atau cabang dan ranting yang menjadi pembahasan fikih serta memebrikan pandangan yang luas dari pembahasan tentang detail dan perincian saja untuk lebih toleran ditinjau dari hukum.
ALIRAN PEMIKIRAN DALAM KALAM ASY’ARIYAH
- A. Riwayat Hidup Al-Asy’ari
Namanya Abdul Hasan Ali bin Isma’il Al-Asy’ary keturunan dari Abu Musa Al-Asy’ary salah seorang perantara dalam sengketa antara Ali dan Muawiyah. Al-Asy’ari lahir tahun 260 H / 873 M dan wafat pada tahun 324 H / 935 M. Pada waktu kecilnya ia berguru pada seorang Mu’tazilah terkenal, yaitu Al-Jubba’i, mempelajari ajaran-ajaran Mu’tazilah dan mendalaminya. Aliran ini diikutinya terus sampai berusia 40 tahun dan tidak sedikit dari hidupnya untuk mengarang buku-buku kemu’tazilahan.
Ketika mencapai usia 40 tahun ia bersembunyi di rumahnya selama 15 hari, kemudian eprgi ke Mesjid Basrah. Di depan orang banyak ia menyatakan bahwa ia mula-mula mengatakan Qur’an adalah makhluk: Tuhan tidak dapat dilihat matakepala; perbuatan buruk manusia sendiri yang membuatnya. (semuanya pendapat aliran Mu’tazilah). Kemudian ia mengatakan: “Saya tidak lagi memegangi pendapat-pendapat tersebut; saya harus menolak paham-paham orang Mu’tazilah dan menunjukkan keburukan-keburukan dan kelemahan-kelemahannya”.[1]
Al-Ay’ari meninggalkan aliran Mu’tazilah selain karena merasa tidak puas terhadap konsepsi aliran tersebut dalam soal-soal al-Ashlah (keharusan mengerjakan yang terbaik bagi Tuhan), juga karena ia melihat ada perpecahan di kalangan kaum Muslimin yang bisa melemahkan mereka, kalau tidak segera diakhiri. Sebagai seorang muslim yang gairat akan kebutuhan kaum Muslimin, ia sangat mengkhawatirkan kalau Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi akan menjadi korban faham-faham aliran Mu’tazilah yang menurut pendapatnya tidak dapat dibenarkan, karena didasarkan atas pemujaan kekuatan akal pikiran, sebagaimana dikhawatirkan juga akan menjadi korban sikap ahli hadits anthropomorphist yang hanya memegang lahir (bunyi) nas-nas agama dengan meninggalkan jiwanya dan hampir menyeret Islam ke lembah kebekuan yang tidak dapat dibenarkan. Melihat keadaan demikian, maka Asy’ari dan golongan textualist dan ternyata jalan tengah tersebut dapat diterima oleh mayoritas kaum Muslimin.[2]
- B. Karya-Karyanya
Ia bukan sekedar mengambil jalan tenagh tersebut di atas tetapi juga ditulisnya dalam kitab-kitabnya agar bisa dibaca orang banyak. Ia meninggalkan karangan-karangan kurang lebih berjumlah 90 buah dalam berbagai lapangan. Ia menolak pikiran-pikiran Aristoteles, golongan materialist, anthropomorphist, Khawarij dan golongan-golongan Islam lain, akan tetapi sebagian kegiatannya ditujukan untuk menghadapi orang-orang Mu’tazilah, seperti Jubba’i, Abil Huzail dan lain-lain, sebagaimana ditujukan terhadap dirinya sendiri sewaktu ia masih menjadi pengikut Mu’tazilah.
Kitab-kitabnya yang terkenal ada 3, yaitu :
- Maqalat al-Islamiyah (Pendapat-Pendapat golongan-golongan Islam)
Kitab ini adalah kitab yang pertama kali dikarang tentang kepercayaan-kepercayaan golongan Islam, dan juga merupakan sumber terpenting karena ketelitian dan kejujuran pengarangnya. Kitab tersebut dibagi 3 :
- Berisi pendapat bermacam-macam golongan Islam
- Tantang pendirian ahli hadits dan sunnah
- Tentang bermacam-macam persoalan ilmu kalam
- al-Ibanah an Ushulud Diniyah (Keterangan Tentang Dasar-Dasar Agama)
kitab ini berisi uraian tentang kepercayaan ahli Sunnah dan dimulainya dengan memuji Ahmad bin Hanbal dan menyebutkan kebaikan-kebaikannya. Uraian-uraian kitab ini tidak tersusun rapi, meskipun menyangkut persoalan-persoalan yang penting dan banyak sekali.
- al-Luma (Sorotan)
Kitab ini dimaksudkan untuk membantah lawan-lawannya dalam beberapa persoalan ilmu kalam.[3]
- C. Corak Pemikiran dan Pendapatnya
- Corak pemikirannya
Al-Ay’ari sebagai orang yang pernah menganut paham Mu’tazilah, tidak dapat menjauhkan diri dari pemakaian akal dan argumentasi pikiran. Ia menentang dengan kerasnya mereka yang mengatakan bahwa pemakaian akal pikiran dalam soal-soal agama atau membahas soal-soal yang tidak pernah disinggung-singgung oleh Rasul merupakan suatu kesalahan. Sahabat-sahabat Nabi sendiri, sesudah wafat beliau, banyak membicarakan soal-soal baru dan meskipun demikian mereka tidak disebut orang-orang yang sesat.
Ia menentang keras orang yang berkeberatan membela agama dengan ilmu kalam (Thelogy Islam) dan argumentasi pikiran, keberatan mana tidak ada dasarnya dalam Qur’an maupun hadits.
Ia juga mengingkari orang yang berlebih-lebihan menghargai akal pikiran yaitu aliran Mu’tazilah. Karena aliran ini tidak mengakui sifat-sifat Tuhan.
Dengan demikian jelaslah bahwa kedudukan Imam Al-Asy’ari seperti yang dilukiskan oleh pengikut-pengikutnya sebagai seorang muslim yang ikhlas membela kepercayaan dan mempercayai isi Qur’an dan Hadits dengan menempatkannya sebagai dasar (pokok) di samping menggunakan akal pikiran, di mana tugasnya tidak lebih daripada memeprkuat nas-nas tersebut.[4]
- Pendapat-pendapatnya
- Sifat
Pendapat Al-Asy’ari dalam soal sifat terletak di tengah-tengah antara aliran Mu’tazilah di satu pihak dan aliran Hasywiyah dan Mujassimah di lain pihak. Aliran Mu’tazilah tidak mengakui sifat-sifat wujud, qidam, baqa, dan wahdaniyah (Keesaan). Sifat zat lain, seperti sama’, bashar dan lain-lain tidak lain hanya zat Tuhan sendiri. Golongan Hasywiyah dan Mujassimah mempersamakan sifat-sifat Tuhan dengan sifat-sifat makhluk.
Al-Asy’ari dalam pada itu mengakui sifat-sifat Tuhan yang tersebut sesuai dengan Zat Tuhan sendiri, dan sama sekali tidak menyerupai sifat-sifat makhluk. Tuhan mendengar, tetapi tidak seperti kita mendengar dan seterusnya.[5]
- Kekuasaan Tuhan dan perbuatan manusia
Menurut aliran Asy’ariyah faham kewajiban Tuhan berbuat baik dan terbaik bagi manusia (as-shalah wa al-ashlah), sebagaimana dikatakan aliran Mu’tazilah tidak dapat diterima karena bertentangan dengan paham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Hal ini ditegaskan Al-Ghazali ketika mengatakan bahwa Tuhan tidak berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Dengan demikian aliran Asy’ariyah tidak menerima paham Tuhan mempunyai kewajiban.
Karena berpendapat pada kekuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa Tuhan tak mempunyai kewajiban apa-apa, aliran Asy’ariyah menerima paham pemberian beban di luar kemampuan manusia. Al-Asy’ari sendiri dengan tegas mengatakan dalam al-Luma bahwa Tuhan dapat meletakkan beban yang tak dapat dipikul pada manusia. [6]
- Melihat Tuhan pada hari Kiamat
Menurut aliran Mu’tazilah Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala dan dengan demikian, mereka menawilkan ayat-ayat yang mengatakan adanya ru’yat, di samping menolak hadits-hadits Nabi yang menetapkan ru’yat, karena tingkatan hadits itu menurut mereka adalah Ahad.
Menurut golongan Musyabbihah Tuhan dapat dilihat dengan cara tertentu dan pada arah tertentu pula
Dengan menempuh jalan tengah antara kedua golongan tersebut, Al-Asy’ari mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat, tetapi tidak menurut cara tertentu dan tidak pula pada arah tertentu.[7]
Tuhan dapat dilihat di akhirat, dengan alasan-alasan yang dikemukakannya ialah bahwa sifat-sifat yang tak dapat diberikan kepada Tuhan hanyalah sifat-sifat yang akan membawa kepada arti diciptakannya Tuhan. Sifat dapatnya Tuhan dilihat tidak membawa kepada hal ini; karena apa yang dapat dilihat tidak mesti mengandung arti bahwa ia mesti bersifat diciptakan. Dengan demikian kalau dikatakan Tuhan dapat dilihat, itu tidak mesti berarti Tuhan harus ebrsifat diciptakan.[8]
- Dosa besar
Terhadap pelaku dosa besar, agaknya Al-Asy’ari sebagai wakil ahl As-Sunnah tidak mengafirkan orang-orang yang sujud ke Baitullah walaupun melakukan dosa besar seperti berzina dan mencuri. Menurutnya mereka masih tetap orang yang beriman dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar.[9] Akan tetapi, jika dosa besar itu dilakukannya dengan anggapan dibolehkan (halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia dipandang telah kafir.[10]
Adapun balasan diakhirat kelak bagi pelaku dosa besar apabila ia meninggal dan tidak sempat bertobat, maka menurut Al-Asy’ari hal itu ebrgantung kepada kebijakan Tuhan Yang Maha Berkehendak Mutlak. Tuhan dapat saja mengampuni dosanya atau pelaku dosa besar itu mendapat syafa’at dari Nabi Muhammad SAW sehingga terbebas dari siksa neraka atau kebalikannya, yaitu Tuhan memberinya siksaan neraka sesuai dengan ukuran dosa yang dilakukannya. Meskipun begitu, ia tidak akan kekal di neraka seperti orang-orang kafir lainnya. Setelah penyiksaan terhadap dirinya selesai, ia akan dimasukkan ke dalam surga.[11]
Dari paparan singkat ini, jelaslah bahwa Asy’ariyah sesungguhnya mengambil posisi yang sama dengan Murji’ah, khususnya dalam pernyataan yang tidak mengafirkan para pelaku dosa besar.
- Keadilan
Pada dasarnya Al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala bagi orang yang baik.
Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah Penguasa Mutlak. Dengan demikian, jelaslah bahwa Mu’tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia memiliki dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik mutlak.[12]
Aliran Asy’ari seterusnya menentang faham keadilan yang dibawa Mu’tazilah. Dengan demikian ia juga tidak setuju dengan ajaran Mu’tazilah tentang al wa’d wa al-wa’id.[13]
- D. Perkembangan Aliran Asy’ariyah
Pendirian Al-Asy’ari tersebut di atas merupakan tali penghubung antara 2 aliran alam fikiran Islam, yaitu aliran lama (textualist) dan aliran baru (rasionalist).
Akan tetapai sesudah wafatnya, aliran Asy’ariyah mengalami perobahan yang cepat. Kalau ada permulaan berdirinya kedudukannya hanya sebagai penghubung antara kedua aliran tersebut, maka pada akhirnya aliran Asy’ariyah lebih condong kepada segi akal fikiran semata-mata dan memberinya tempat yang lebih luas daripada nas-nas itu sendiri. Mereka sudah berani mengeluarkan keputusan bahwa akal menjadi dasar naqal (nas) karena dengan akallah kita menetapkan adanya Tuhan, pencipta alam dan Yang Maha Kuasa. Pembatalan akal fikiran dengan nas berati pembatalan dasar (pokok) dengan cabangnya yang berakibat pula pembatalan pokok dan cabangnya sama sekali.
Karena sikap tersebut, maka Ahlus Sunnah tidak dapat menrima golongan Asy’ariyah, bahkan memusuhinya, sebab dianggap sesat (bid’ah). Kegiatan mereka sesudah adanya permusuhan ini menjadi berkurang, sehingga datang Nizamul Muluk (wafat 485 H / 1092 M), seorang menteri Saljuk, yang mendirikan 2 sekolah terkenal yang namanya, yaitu Nizamiyyah di Nizabur dan Baghdad, di mana hanya aliran Asy’ariyah saja yang boleh diajarkan. Sejak itu aliran Asy’ariyah menjadi aliran resmi negara, dan golongan Asy’ariyah menjadi golongan Ahlus Sunnah.[14]
- Tokoh-Tokoh Aliran Asy’ariyah
Suatu utama bagi kemajuan aliran Asy’ariyah, ialah karena aliran ini mempunyai tokoh-tokoh yang kenamaan, seperti yang telah disinggung di atas yang mengkonstruksikan ajaran-ajarannya atas dasar filsafat metafisika. Tokoh-tokoh tersebut antara lain :
- Al-Baqillani (wafat 403 H)
- Ibnu faurak (wafat 406 H)
- Ibnu ishak al-Isfaraini (wafat 418 H)
- Abdul Kahir al-Bagdadi (wafat 429 H)
- Imam al-Haramain al-Juwaini (wafat 478 H)
- Abdul Mudzaffar al-Isfaraini (wafat 478 H)
- Al-Ghazali (wafat 505 H)
- Ibnu Tumart (wafat 524 H)
- As-Syihristani (wafat 548 H)
- Ar-Razi (1149 – 1209 H)
- Al-Iji (wafat 756 H / 1359 M)
- As-Sanusi (wafat 895 H).[15]
KESIMPULAN
- Nama lengkap Asy’ari adalah Abdul Hasan Ali bin Isma’il Al-Asy’ary keturunan dari Abu Musa Al-Asy’ary salah seorang perantara dalam sengketa antara Ali dan Muawiyah. Al-Asy’ari lahir tahun 260 H / 873 M dan wafat pada tahun 324 H / 935 M.
- Karya-Karyanya yang terkenal ada 3, yaitu : Maqalat al-Islamiyah, al-Ibanah an Ushulud Diniyah, dan al-Luma
- Corak pemikiran Imam Al-Asy’ari seperti yang dilukiskan oleh pengikut-pengikutnya sebagai seorang muslim yang ikhlas membela kepercayaan dan mempercayai isi Qur’an dan Hadits dengan menempatkannya sebagai dasar (pokok) di samping menggunakan akal pikiran, di mana tugasnya tidak lebih daripada memeprkuat nas-nas tersebut.
- Pendapat-pendapatnya meliputi : Sifat Tuhan, kekuasaan Tuhan dan perbuatan manusia, melihat Tuhan pada hari Kiamat, dosa besar, dan keadilan.
- Pendirian Al-Asy’ari tersebut di atas merupakan tali penghubung antara 2 aliran alam fikiran Islam, yaitu aliran lama (textualist) dan aliran baru (rasionalist).
- Tokoh-Tokoh Aliran Asy’ariyah di antaranya :Al-Baqillani, Ibnu Faurak, Ibnu ishak al-Isfaraini, Al-Ghazali, dan lain-lain.
DAFTAR BACAAN
Al-Asy’ari, Abu Hasan, Maqalat Al-Islamiyyin wa Ikhhlaf Al-Musahllin, Wiesbaden France Steiner Verlag GBHN, 1963, cet II.
____________________, Al Ibanah an Ushul ad-Diyannah, Idarah At-Tiba’ah Al-Mishriyyah,, t.t.
Hanafi, Ahmad, MA, Thelogy Islam (Ilmu Kalam), Jakarta:Bulan Bintang, 1974.
________________, Pengantar Theology Islam, Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 1995, cet ke-6.
Nasution, Harun, Dr, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986, cet.V
Rozak, Abdul, Dr, M.Ag dan Drs. Rosihan Anwar, M.Ag, Ilmu Kalam Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, Bandung: Pustaka Setia, 2003.
[1] Ahmad Hanafi, Thelogy Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta:Bulan Bintang, 1974), h. 58 – 59.
[2] Ahmad Hanafi, Pengantar Theology Islam, (Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 1995), cet ke-6, h. 105 – 106.
[3] Ahmad Hanafi, Thelogy Islam (Ilmu Kalam), Op. Cit, h. 59 – 60
[4] Ahmad Hanafi, Pengantar Theology Islam,Op. Cit, h. 107 – 108
[5] Ibid, h. 108 – 109
[6] Abdul Rozak dan Rosihan Anwar,Ilmu Kalam Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), h. 155 – 156
[7] Loc. Cit
[8] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), cet.V, h. 69
[9] Abu Hasan Al-Asy’ari, Maqalat Al-Islamiyyin wa Ikhhlaf Al-Musahllin, Wiesbaden France Steiner Verlag GBHN, 1963, cet II, h. 270 271
[10] Al-Asy’ari, Al Ibanah an Ushul ad-Diyannah, Idarah At-Tiba’ah Al-Mishriyyah,, t.t, h. 10
[11] Abu Hasan Al-Asy’ari, Loc.Cit
[12] Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Op. Cit, h. 123 – 124
[13] Harun Nasution, Op. Cit, h. 70
[14] Ahmad Hanafi, Thelogy Islam (Ilmu Kalam), Op. Cit, h. 61 – 62
[15] Ahmad Hanafi, Pengantar Theology Islam,Op. Cit, h. 110