May 28

Metode Istinbath Hukum Syar’i

METODE ISTINBATH HUKUM SYAR’I

Oleh: Rasyid Rizani, S.HI., M.HI

(Hakim pada Pengadilan Agama Bajawa – NTT)

 

  1. A.      KAJIAN LAFAZH DARI SEGI LUAS DAN SEMPITNYA CAKUPAN MAKNA
    1. ’Amm dan Khash
      1. ’Amm

1)      Ta’rif

Lafazh “’Amm” adalah suatu lafazh yang sengaja diciptakan oleh bahasa untuk menunjukkan satu makna yang dapat mencakup seluruh satuan-satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.

2)      Lafazh-lafazh ’amm

Lafazh-lafazh yang digunakan untuk memberi faedah a’am itu banyak. Antara lain :

a)      Lafazh كل  dan جميع . misalnya sabda Rasulullah SAW :

كل راع مسؤل عن رعيته ( متفق عليه )

“Setiap pemelihara dimintai pertanggungjawaban terhadap pemeliharaannya…” (HR. Muttafaq ‘Alaih).

Dalam surat Albaqarah ayat 29 :

 

uqèd “Ï%©!$# šYn=y{ Nä3s9 $¨B ’Îû ÇÚö‘F{$# $YèŠÏJy_ ÇËÒÈ

 “Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu….(QS. Al-Baqarah: 29)

b)      Lafazh jama’ yang dita’rifkan dengan إضافة atau dengan ال جنسية. Misalnya firman Allah SWT :

يوصكم الله فى أولادكم ( النساء : 11 )

Artinya :

“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pusaka) anak-anakmu…. (QS. An-Nisa : 11).

Lafazh أولاد adalah lafazh jama’ dan dia adalah nakirah. Akan tetapi, karena lafazh tersebut diidhafatkan dengan lafazh كم, maka ia menjadi ma’rifat.

للرجال نصيب مما ترك الوالدان والأقربون وللنساء نصيب مما ترك الوالدان والأقربون ( النساء : 7 )

 “Bagi laki-laki ada hak bagian peninggalan ibu-ibu dan kerabat-kerabatnya dan bagi perempuan ada hak bagian peninggalan ibu-ibu dan kerabat-kerabatnya…..(QS. An-Nisa : 7).

Lafazh رجال dan نساء adalah lafazh jama’ yang dita’rifkan dengan ال جنسية . Oleh karena itu, keduanya adalah lafazh ‘amm yang mencakup seluruh satuan-satuan yang dapat dimasukkan ke dalamnya.

c)       اسم مفراد yang dita’rifkan dengan ال جنسية. Misalnya firman Allah SWT :

وأحل الله البيع وحرم الربا ( البقرة : 278 )

 “…..padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…..” (QS. Al-Baqarah : 278).

Lafazh البيع dan الربا keduanya adalah lafazh isim mufrad yang dita’rifkan dengan ال جنسية . Oleh karena itu, keduanya adalah lafazh ‘amm yang mencakup seluruh satuan-satuan yang dapat dimasukkan ke dalamnya.

d)      اسم موصل seperti : الذى, الذين, التى, الائى dan lain sebagainya. Contoh firman Allah SWT :

وأحل لكم ما وراء ذلكم ( النساء : 24 )

 “… dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian…” (QS. An-Nisa : 24).

 

Lafazh ما dalam ayat tersebut adalah isim maushul. Oleh karena itu, mencakup seluruh satuan-satuan yang dapat dimasukkan ke dalamnya.

e)      اسم شرط seperti : من (barang siapa), ما (apa saja), أيما (yang mana saja). Misalnya firman Allah SWT :

وما تنفقوا من خير فلأنفسكم ( البقرة : 272 )

“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan allah), maka (pahalanya) untuk dirimu sendiri… “(QS. Al-Baqarah : 272).

 

Lafazh ما dalam ayat tersebut adalah isim syarat. Oleh karena itu, mencakup seluruh satuan-satuan yang dapat dimasukkan ke dalamnya.

f)       اسم إستفهام (untuk bertanya), seperti : من (siapakah), ماذا (apakah), متى (kapan). Misalnya firman Allah SWT :

ماذا أراد الله بهذا مثلا ( البقرة : 26 )

 “Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan ?” (QS. Al-Baqarah: 26).

Lafazh ماذا dalam ayat tersebut adalah isim istifham. Oleh karena itu, mencakup seluruh satuan-satuan yang dapat dimasukkan ke dalamnya.

g)      اسم نكرة dalam susunan kalimat nafi (negatif). Misalnya sabda Nabi SAW :

لاهجرة بعد الفتح ( متفق عليه )

 “Tidak wajib Hijrah setelah Mekkah ditaklukkan” (HR. Muttafaq ‘Alaih).

Lafazh هجرة adalah lafazh nakirah. Akan tetapi, karena lafazh tersebut dalam susunan kalimat nafi (negatif), yaitu didahului dengan lafazh لا, maka pengertian hijrah tersebut adalah umum, yaitu mencakup segala pengertian hijrah.

3)      Macam-macam ‘amm

  1. العام يرد به العام (‘amm yang benar-benar yang dimaksudkan untuk umum). Yaitu ‘amm yang disertai qarinah yang menghilangkan kemungkinan untuk dikhususkannya. Misalnya firman Allah SWT :

وجعلنا من الماء كل شيء حي ( الأنبياء : 30 )

 “….Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup..” (QS. Al-Anbiya: 30).

Pada ayat itu dijelaskan bahwa segala sesuatu yang hidup itu berasal dari unsur air.

  1. العام يرد به الخصوص (‘amm, tetapi yang dimaksud adalah khusus). Yakni ‘amm yang disertai qarinah yang menghilangkan arti umumnya dan menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah khusus. Misalnya firman Allah SWT:

ولله على الناس حج البت من استطاع إليه سبيلا (ال عمران : 97 )

 “…Mengerjakan ibadah haji adalah kewajiban manusia bagi Allah bagi siap yang mampu mengadakan perjalanan ke sana … (QS. Ali-Imran: 97).

Lafazh الناس pada ayat di atas adalah lafazh ‘amm, tetapi yang dimaksudkan dengan الناس itu adalah khusus, yaitu orang-orang mukallaf (dewasa lagi berakal) saja.

  1. العام المخصوص (‘amm yang khusus untuk ‘amm). Yaitu ‘amm mutlak, artinya ‘amm yang tidak disertai qarinah yang menghilangkan kemungkinan dikhususkan dan tidak disertai pula qarinah yang menghilangkan keumumannya. Misalnya firman Allah SWT :

والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء ( البقرة : 228 )

“Wanita-wanita yang ditalak, hendaklah menahan diri (menunggu) sampai tiga kali suci…” (QS. Al-Baqarah: 228)

Lafazh المطلقات adalah ‘amm makhshush. Karena tidak disertai qarinah yang menghilangkan kemungkinan kekhususannya dan keumumannya. Ia tetap dalam keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya.

Perbedaan antara العام يرد به الخصوص (‘amm, tetapi yang dimaksud adalah khusus)  dengan العام المخصوص (‘amm yang khusus untuk ‘amm) adalah:

  1.                                                      i.            الخصوص العام يرد به(‘amm, tetapi yang dimaksud adalah khusus) adalah khitab-khitab ‘amm yang disertai qarinah yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah khusus, bukan umum. Seperti pada khitab-khitab pemberian beban taklif yang bersifat umum, akan tetapi yang dimaksud adalah khusus bagi orang-orang yang sudah mukallaf saja.
  2.                                                     ii.            Sedangkan العام المخصوص (‘amm yang khusus untuk ‘amm) adalah ‘amm yang tidak disertai qarinah yang menjelaskannya bahwa yang dimaksudkan adalah sebagian satuannya.

4)      Qashrul ‘amm

‘Amm itu dapat dipersempit perluasan artinya kepada sebagian satuannya dengan salah satu dari 4 hal berikut :

  1. كلام مستقل منفصل (kalimat sempurna yang berdiri sendiri tetapi terpisah dengan kalimat yang pertama). Mislanya firman Allah SWT :

والذين يرمون المحصنات ثم لم يأتوا بأربعة شهداء فاجلدوهم ثمانين جلدة ( النور : 4 )

 “Dan orang-orang yang menuduh (zina) wanita yang baik-baik dan mereka tidak membawa 4 orang saksi, maka deralah mereka 80 kali. (QS. An-Nuur: 4)

 

Lafazh الذين dalam ayat tersebut adalah umum, yaitu mencakup suami dan bukan suami orang yang dituduh zina, sebagaimana lafazh المحصنات juga umum, yaitu mencakup isteri si penuduh zina sendiri dan isteri orang lain. Kemudian terjadi kasus, Hilal bin Umaiyah menuduh isterinya berzina. Sewaktu itu ia dihadapkan kepada Rasulullah SAW. Rasul bertanya kepadanya, katanya: “Apakah kau bersedia mengemukakan bukti atas tuduhanmu itu atau bersedia dijatuhi hukuman had, lantaran kamu tidak sanggup mengemukakan saksi-saksi ?” jawab Hilal: “Hai Rasulullah, apabila seorang dari kami melihat isterinya tidur dengan seorang laki-laki lain perlukah dia pergi mencari bukti ?” “Tunjukkanlah bukti, jika tidak kujatuhi hukuman had bagi kamu, ”sahut Rasulullah SAW. Kemudian turunlah ayat :

والذين يرمون أزواجهم ولم يكن لهم شهداء إلا أنفسهم فشهادة أحدهم أربع شهدات بالله إنه لمن الصادقين ( النور : 6 )

 “Dan orang-orang yang menuduh (zina) isterinya, padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian (yang diperlukannya) orang itu ialah 4 kali bersumpah dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar.” (QS. An-Nuur: 6).

Berdasarkan surat An-Nuur ayat 6 ini, sang suami yang menuduh isterinya berzina dan tidak sanggup mendatangkan 4 orang saksi, maka dia tidak didera 80 kali sebagaimana terdapat dalam surat An-Nuur ayat 4, akan tetapi ia diwajibkan bersumpah li’an.

  1. كلام مستقل متفصل (kalimat sempurna yang berdiri sendiri tetapi kalimat itu masih bersambung). Misalnya firman Allah SWT :

فمن شهد منكم الشهر فليصمه ومن كان مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر ( البقرة : 185 )

”Karena itu barang siapa di antara kamu menyaksikan bulan, maka hendaklah ia berpuasa di bulan itu dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka wajib (berpuasa) sebanyak hari-hari (yang ditinggalkan) di hari lain…”(QS. Al-Baqarah: 185).

 Rangkaian kalimat فمن شهد sampai dengan فليصمه mengandung perintah wajib berpuasa di bulan Ramadhan kepada setiap orang yang menyaksikan bulan. Kemudian kalimat itu disambung dengan kalimat sempurna yang lain dalam ayat itu juag yang mempersempit keumuman lafazh من شهد kepada orang yang sedang sakit atau dalam perjalanan untuk tidak berpuada pada bulan Ramadahan tetapi membayarnya di hari lain di luar bulan Ramadhan.

  1. كلام غير مستقل (kalimat yang tidak berdiri sendiri atau kalimat yang tidak sempurna). Kalimat yang tidak sempurna itu ada 5 macam, yaitu :

1)      الإستثنا متصل (pengecualian yang bersambung). Misalnya firman Allah SWT :

….إلا أن تكون تجارة حاضرة يرونها بينكم فليس عليكم جناح أن لاتكتبوها….. ( البقرة : 282 )

 “…..Kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu (jika) tidak menulisnya…” (QS. Al-Baqarah: 282).

 

Adalah rangkaian kalimat yang tidak dapat berdiri sendiri jika sekiranya tidak diperhatikan kalimat yang ada sebelumnya. Kalimat tersebut berfungsi mempersempit keumuman kalimat sebelumnya yang memerintahkan catat-mencatat hutang piutang yang terdapat pada awal ayat 282 surah Al-Baqarah. Yaitu :

ياأيها الذين امنوا إذا تداينتم بدين إلى أجل مسمى فاكتبوه….

 “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu menulisnya….”

 

2)      شرط (Syarat). Misalnya firman Allah SWT :

ليس على الذين امنوا وعملوا الصالحات جناح فيما طعموا إذا مااتقوا وامنوا وعملوا الصالحات (المائدة : 93 )

 “Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman dan mengerjakan amalan-amalan shalih…..” (QS. Al-Maidah: 93)

 

Syarat إذا مااتقوا dalam ayat tersebut adalah mempersempit keumuman orang-orang yang beriman dan beramal shalih memakan suatu makanan. Dengan pengertian bahwa kebolehan makan itu dengan syarat selama mereka bertakwa, beriman dan beramal shalih. Jadi tidak sembarang orang.

3)      صفة (Sifat). Mislanya firman Allah SWT :

ياايها الذين امنوا لاتدخلوا بيوتا غير بيوتكم حتى تستأنسوا وتسلموا على اهلها ( النور : 27 )

 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. (QS. An-Nuur: 27).

 

Lafazh بيوتا (rumah-rumah) adalah umum, baik rumah sendiri maupun rumah orang lain, tetapi lafazh tersebut disifati oleh lafazh غير بيوتكم (selain rumahmu), maka keumuman arti rumah itu dipersempit keumumannya. Maka yang dilarang adalah memasuki rumah orang lain tanpa izin dan tanpa memberi salam kepada penghuninya.

4)      غاية (pembatasan). Misalnya firman Allah SWT :

وماكنا معذبين حتى نبعث رسولا ( الاسراء : 15 )

 “… dan Kami tidak akan mengadzab sampai Kami mengutus seorang Rasul. (QS. Al-Isra: 15)

 

Lafazh وماكنا معذبين adalah umum, yaitu siapa saja. Akan tetapi keumuman tersebut dipersempit pengertiannya, dengan adanya ghayah حتى نبعث رسولا. Dengan demikian orang-orang yang tidak diadzab itu adalah orang-orang yang hidup dimasa Allah belum mengutus seorang Rasul.

5)      بدل بعد من كل (mengganti sebagian dari keseluruhannya). Misalnya firman Allah SWT :

ولله على الناس حج البت من استطاع إليه سبيلا (ال عمران : 97 )

Artinya :

“…Mengerjakan ibadah haji adalah kewajiban manusia bagi Allah bagi siap yang mampu mengadakan perjalanan ke sana… (QS. Ali-Imran: 97).

Ibadah haji adalah wajib bagi setiap manusia sebagaimana dalam lafzh ولله على الناس حج البت adalah lafazh yang umum. Keumuman itu dipersempit oleh lafazh من استطاع إليه سبيلا (bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke sana).

  1. ما ليس بكلام (bukan berupa kalimat). Yang bukan berupa kalimat ini antara lain berupa :

1)      العقل (Akal). Misalnya firman Allah SWT :

قل الله خالق كل شيء ( الرعد : 16 )

“.. dan katakanlah: “Allah adalah pencipta segala sesuatu (QS. Ar-Ra’d: 16).

 

Lafzh كل شيء adalah lafazh umum, karena itu masuk segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi. Akan tetapi menurut logika tentu tidak termasuk zat Allah sendiri. Logika yang demikian inilah yang mempersempit keumuman lafazh tersebut.

2)      الحس (Indera). Misalnya firman Allah SWT :

تدمر كل شيء بأمرربها ( الاحقاف : 25 )

Artinya :

“Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya…. (QS. Al-Ahqaf: 25)

 

Menurut kenyataan yang dapat dilihat dal;am sejarah tidaklah segala sesuatu yang ada di alam itu dihancurkan Tuhan sebagaimana yang dipahamkan dari kalimat كل شيء. Akan tetapi yang dihancurkan hanya kaum ‘Ad yang durhaka, tempat tinggal dan harta milik mereka. Dengan demikian kenyataan sejarahlah yang mempersempit keumuman kalimat كل شيء itu.

3)      العادة والعرف (adat dan kebiasaan). Misalnya hadits yang berbunyi :

نهى رسول الله  أن بيع الإنسان ماليس عنده ( رواه اصحاب السنن )

Artinya :

“Rasulullah SAW melarang seseorang menjual barang-barang yang tidak ada di sampingnya. (HR. Ashhabus Sunan).

 

Larangan Rasulullah SAW menjualbelikan sesuatu yang belum ada pada miliknya adalah umum. Akan tetapi, keumuman ini dipersempit oleh adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat, yaitu pesan untuk dibuatkan sesuatu, yang uangnya dibayar lebih dahulu, padahal barangnya belum dibuat (belum ada).

5)      Takhshishul ‘amm dan dalalahnya

  1. Ta’rif

تخصيص العام adalah istilah jumhur ahli ushul, yaitu memberi penjelasan bahwa arti yang dikehendaki oleh syar’i dari pengertian lafazh umum sejak dari semula hanyalah sebagian kesatuannya, bukan arti keseluruhan yang tercakup di dalamnya. Misalnya sabda Rasulullah SAW :

لاقطع فى أقل من ربع دينار ( رواه الجماعة )

 “Tidak ada hukuman potong tangan di dalam pencurian yang nilai barang yang dicurinya kurang dari seperempat dinar. (HR. Jama’ah ahli hadits).

Sabda Rasulullah SAW ini menjadi pentakhshish keumuman firman Allah SWT :

والسارق والسارقات فاقطعوا أيديهما ( المائدة : 38 )

“Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan itu potonglah tangan keduanya…. (QS. Al-Maidah : 38).

  1. Dalalah ‘amm

Jumhur ahli ushul menetapkan bahwa dalalah ‘amm yang mencakup seluruh satuan-satuannya adalah zhanniyah. Sebab kebanyakan nash-nash yang datang dengan shigat umum itu dimaksudkan hanya sebagian satuannya saja.

Apabila ada dalil yang menunjukkan bahwa sebagian dari satuan ‘amm itu dikeluarkannya, maka dalalah sisa dari satuan yang telah dikeluarkan adalah zhanniyah juga.

Sedangkan menurut kebanyakan ulama Hanafiyah, dalalah ‘amm bersifat qath’iyyah, selama tidak ada dalil yang mengeluarkan satuannya. Sebab lafazh ‘amm itu diciptakan untuk menunjuk seluruh satuan dengan cara merata. Kesimpulannya menurut pendapat Hanafiyah adalah sebagai berikut :

1)      Qath’iyyah bila :

  1. Alat qasharnya berupa kalimat sempurna yang terpisah
  2. Alat qasharnya berupa kalimat yang tidak sempurna.
  3. Alat qasharnya berupa akal atau istitsna.

2)      Zhanniyah bila alat qasharnya berupa kalimat sempurna yang bersambung.

Dari perbedaan para ushuliyun itu tersebut timbul 2 masalah kehujjahan ‘amm, yaitu :

  1. Jumhur ahli Ushul mengatakan bahwa lafazh ‘amm dapat ditakhshish dengan dalil zhanni, yakni dari qiyas atau khabar ahad, baik yang demikian itu sebelum ditakhsish maupun sesudahnya. Sebab dalalah ‘amm kepada seluruh satuannya adalah zhanniyah. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah lafazh ‘amm tidak dapat ditakhshish oleh dalil zhanni, ia hanya dapat ditakhshish oleh dalil qath’i. Sebab dalalah ‘amm kepada seluruh satuannya adalah qath’iyyah.
  2. Jumhur ahli Ushul mengatakan bahwa lafazh khash yang berlawanan dengan lafazh ‘amm apabila datangnya bersamaan, maka lafazh tersebut adalah sebagai mukhashshish bagi lafazh ‘amm dan apabila datangnya terkemudian ia adalah sebagai nasikh terhadap sebagian satuan lafazh ‘amm. Akan tetapi bila lafazh kahash itu datang mendahaului lafazh ‘amm, maka hal ini diperselisihkan oleh para ahli ushul, yaitu :

1)      Ahli ushul kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa lafazh ‘aam yang datangs esudah lafzh khah adalah menjadi nasikhnya. Sedang dalalah keduanya adalah sama-sama qath’i.

2)      Ulma ushul selain Hanafiyah mengatakan, lafazh ‘ammnya menjadi makhshush. Sebab lafazh ‘amm itu dalalahnya adalah zhanni, sehingga tidak kuat untuk menasakh lafazh khash yang berdalalah qath’i.

6)       Mentakhshish keumuman Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan Al-Qur’an, As-Sunnah Mutawatir, sunah masyhur, dan dengan dalalah-dalalah yang lainnya.

Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ahli ushul perihal kebolehan mentakhshish keumuman Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan Al-Qur’an, As-Sunnah Mutawatirah atau dengan sunnah Masyhurah. Sebab nash-nash Al-Qur’an, Sunnah Mutawatirah, dan Sunnah Masyhurah adalah qath’iyatuts-tsubut (kedatangannya secara pasti dari Allah dan Rasulnya). Sehingga masing-masing dapat saling mentakhshish.

  1. Mentakhshish Al-Qur’an dengan Al-Qur’an

Contoh, firman Allah SWT :

والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء ( البقرة : 228 )

 “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) sampai 3 kali suci… (QS. Al-Baqarah: 228)

Ayat ini menjelaskan bahwa iddah bagi wanita yang ditalak oleh suaminya adalah 3 kali suci, dan ayat ini masih bersifat umum yang kemudian ditakhshish oleh ayat di bawah ini yang menyatakan bahwa iddah wanita hamil yang ditalak suaminya adalah sampai ia melahirkan kandungannya. Yaitu :

وأولات الأحمال أجلهن أن يضعن حملهن ( الطلاق : 4 )

Artinya :

“….Dan perempuan-perempuan yang hamil iddah mereka sampai melahirkan kandungannya.. (QS. Ath-Thalaq; 4).

  1. Mentakhshish Al-Qur’an dengan As-Sunnah (Mutawatir dan Masyhur)

وأن تجمعوا بين الاختين ( النساء : 32 )

 “… dan menghimpunkan dalam perkawinan dua perempuan yang bersaudara…… (QS. An-Nisa: 32)

Ayat ini menjelaskan secara umum bahwa berpoligami dengan saudara perempuan isterinya itu dilarang. Kemudian ayat ini ditakhshish oleh sabda Rasulullah SAW yang menerangkan bahwa berpoligami dengan saudara perempuan ibu dan bapak isterinya juga dilarang, yaitu :

لايجمع بين المرأة وعمتها ولابين المرأة وخالتها ( متفق عليه )

 “Tidak boleh dikumpulkan (dalam perkaeinan) antara seorang wanita dengan saudari ayahnya dan antara seorang wanita dengan saudari ibunya. (HR. Muttafaq ‘Alaih).

  1. Mentakhshish As-Sunnah dengan Al-Qur’an

لايقبل الله الصلاة أحدكم إذا حدث حتى يتوضأ ( متفق عليه )

 “Allah tidak menerima Shalat salah seorang di antara kamu, bila dia berhadats sampai dia berwudhu.. (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Hadits ini ditakhshish oleh ayat yang membolehkan bertayamum sebagai pengganti wudhu apabila tidak menemukan air, yaitu :

فلم تجد الماء فتيمموا صعيدا طيبا ( المائدة : 6 )

Artinya :

“…lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik… (QS. Al-Maidah: 6).

  1. Mentakhshish As-Sunnah dengan As-Sunnah

فيما سقت السماء العشر ( متفق عليه )

Pada tanaman yang disirami oleh air hujan, zakatnya sepersepuluhnya (HR. Muttafaq ‘Alaih).

Hadits ini menerangkan tentang ukuran zakat tanaman yang diairi oleh air hujan adalah umum, tidak dibatasi oleh jumlah hasil panennya. Keumumannya itu kemudian ditakhshish oleh hadits :

ليس فيما دون خمسة أوسق صدقة (متفق عليه )

Tidak ada kewajiban zakat pada tanaman yang banyaknya kurang dari 5 wasaq (1000 kg). (HR. Muttafaq ‘Alaih)ز

Adapun mentakhshish keumuman Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan dalil-dalil lain seperti dengan khabar ahad, ijma’, qiyas, akal, indera, adat kebiasaan dan lain sebagainya diperselisihkan oleh para ahli ushul. Jumhur ahli ushul membolehkan. Sedang sebagian ahli ushul yang lain tidak membolehkan. Berikut ini pendapat-pendapat mereka secara ringkas:

  1. Mentakhshish Al-Kitab dengan khabar ahad

Jumhur ulama membolehkan mentakhshish Al-Kitab dengan khabar ahad. Mereka mengemukakan alasan dengan ijma’ para sahabat yang mentakhshish keumuman ayat-ayat mawarits.

  1. Mentakhshish Al-Kitab dengan Ijma’

Hampir seluruh ulama sepakat dalam membolehkan takhshish Al-Kitab dengan ijma. Seperti ijma’ sahabat yang tidak mewajibkan bagi perempuan untuk shalat jum’at

  1. Mentakhshish Al-Kitab dengan qiyas

Jumhur ulama membolehkan mentakhshish Al-Kitab dengan qiyas. Contoh: hukuman bagi pelaku zina adalah didera 100 kali, ini bersifat umum, kemudian ditakhshish oleh qiyas bahwa bagi budak yang berzina hukumannya separo dari hukuman orang yang merdeka.

  1. Mentakhshish Al-Kitab dengan akal

Jumhur ulama membolehkan mentakhshish Al-Kitab dengan akal. Contoh: ibadah haji wajib bagi orang yang mampu melakukannya, ayat ini masih bersifat umum yang mencakup anak-anak dan orang dewasa. Kemudian ditakhshish oleh akal bahwa anak-anak yang belum dewasa tidak wajib melaksanakannya karena belum mengerti khitab itu.

  1. Mentakhshish Al-Kitab dengan panca indera

Apabila datangh dalil syara’ secara umum, kemudian menurut indera yang dimaksud adalah khusus, maka indera tersebut sebagai pentakhshishnya, demikianlah pendapat jumhur ulama ahli ushul.

  1. Mentakhshish Al-Kitab dengan adat kebiasaan

Menurut jumhur ulama ahli ushul takhsish Al-Kitab dengan adat kebiasaan tidak boleh. Sedang menurut ulama Hanafiyah boleh.

  1. Mentakhshish nash dengan mazhab sahabat

Jumhur ulama ahli ushul tidak membolehkan mentakhshish nash dengan mazhab sahabat. Sedang menurut ulama hanafiyah dan Hanabilah boleh.

 

  1. Khash
    1. Ta’rif

Lafazh الخاص (khash) adalah lafazh yang diciptakan untuk memberi pengertian satuan-satuan yang tertentu, baik menunjuk peribadi seseorang (Muhammad), macam sesuatu (manusia), jenis sesuatu (hewan), atau menunjuk benda konkrit (batu), abstrak (ilmu), atau menunjuk kepada satu satuan itu secara haqiqi, ataupun i’tibari (anggapan) seperti lafazh-lafazh yang untuk memberi pengertian banyak yang tak terbatas (tiga, seratus), dan lain-lain.

  1. Hukum lafazh khash

Lafazh khash hukumnya adalah qath’iyyud-dalalah, selama tidak ada dalil yang memalingkan kepada makna yang lainnya. Misalnya lafazh ثلاثة pada firman Allah SWT :

فمن لم يجد فصيام ثلاثة أيام فى الحج … ( البقرة : 196 )

“…Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa 3 hari dalam masa haji….(QS. Al-Baqarah: 196)

Lafazh ثلاثة di atas adalah lafazh khash yang tidak bisa diartikan kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafzh itu sendiri, yaitu 3 hari. Oleh karena itu dalalah maknanya adalah qath’i.

  1. Sifat-sifat lafazh khash

Lafazh khash itu kadang-kadang datang secara muthlaq, tanpa diikuti oleh suatu syarat apapun, kadang-kadang muqayyad yakni dibatasi dengan suatu syarat, kadang-kadang dengan shigat amr, yakni perintah, atau nahi (larangan).

  1. Muthlaq dan Muqayyad
    1. Muthlaq dan Muqayyad

Lafazh khash yang muthlaq adalah lafazh khash yang tidak diberi qayyid (pembatasan) yang berupa lafazh yang dapat mempersempit keluasan artinya. Misalnya firman Allah SWT :

فتحرير رقبة من قبل ان يتمس ( المجادلة : 3 )

“…maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua isteri itu bercampur…(QS. Al-Mujadalah: 3).

 

Lafazh رقبة pada ayat itu mencakup seluruh budak, baik budak mu’min maupun kafir.

Sedangkan lafazh khash yang muqayyad adalah lafazh khash yang diberi qayyid (pembatasan) yang berupa lafazh yang dapat  mempersempit keluasan artinya. Misalnya firman Allah SWT :

ومن قتل مؤمنا خطأ فتحرير رقبة مؤمنة ودية مسلمة إلى أهله ( النساء : 92 )

“…Dan barang siapa membunuh seorang mu’min karena salah, hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman dan membayar diyah yang diserahkan kepada keluarganya…(QS. An-Nisa: 92).

 

Dalam ayat ini ada 3 lafazh yangmuqayyad yaitu :

1)      Lafazh قتل (membunuh) diqayyidkan oleh lafazh مؤمنا (orang yang beriman).

2)      Lafazh رقبة (hamba sahaya) diqayyidkan oleh lafazh مؤمنة (yang beriman)

3)      Lafazh دية (denda) diqayyidkan oleh lafazh مسلمة (yang diserahkan)

  1. Hukum lafazh muthlaq dan muqayyad
    1. Pada prinsipnya hukum lafazh muthlaq tetap dalam kemuthlaqannya selama tidak ada dalil yang mengqayyidkannya, dan lafazh muqayyad itu tetap pada kemuqayyadannya. Contoh tentang ketentuan wasiat. Allah SWT berfirman :

من بعد وصية يوصى بها أو دين ( النساء : 12 )

“…(Pembagian tersebut) sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat atau sesudah dibayar hutangnya…”(QS. An-Nisa: 12).

Lafazh وصية pada ayat itu adalah mutlak, tidak dibatasi berapa batas maksimal dan minimalnya. Kemudian lafazh wasiat itu ditaqyid oleh sabda Rasulullah SAW yang membatasi wasiat itu paling banyak 1/3 dari harta, yaitu :

الثلث والثلث كثير او كبير, إنك لأن تذر ورثتك أغنياء خير من أن تذرهم عالة يتكففون الناس ( متفق عليه )

“…. Sepertiga. Sepertiga itu banyak dan besar. Karena jika kamu meninggalkan ahli waris dalam keadaan yang berkecukupan adalah lebih baik daripada jika kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang banyak.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)

 

  1. Jika dalam nash syara’ disebutkan pada suatu tempat dengan lafazh muthlaq kemudian di tempat lain disebutkan dengan muqayyad, maka dalam keadaan semacam ini terdapat beberapa ketentuan, yaitu :
    1. Memenangkan lafazh muqayyad atas lafazh yang muthlaq. ( حمل المطلق على المقيد  ). Ketentuan yang demikian apabila :

1)      Hukum dan sebab yang dipakai untuk menetapkan hukum adalah sama. Misalnya firman Allah SWT tentang darah yang diharamkan:

حرمت عليكم الميتت ةالدم ولحم الخنزير ( المائدة : 3 )

“Diharamkan atas kamu bangkai, darah dan daging babi. (QS. Al-Maidah: 3).

 

Darah yang diharamkan oleh ayat di atas adalah bersifat muthlaq, tanpa dijelaskan sifat-sifat darah itu.

Kemudian di dalam ayat lain allah menjelaskan bahwa darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir. Firman Allah SWT adalah :

قل لاأجد فيما أوحى إلى محرما على طاعم يطعمه إلا أن يكون ميتة أو دما مسفوحا أو لحم خنزير ( الانعام : 145 )

“Katakanlah! “Tiada aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi…” (QS. Al-An’am: 145).

Darah yang disebutkan dalam surah al-An’am ini diberi hukum dengan lafazh مسفوحا (mengalir).

2)      Hukumnya sama, tetapi sebab yang dipakai untuk menetapkan hukum itu berbeda. Misalnya firman Allah SWT tentang zhihar dalam surah al-Mujadalah ayat 3 disebutkan bahwa budak yang dijadikan kafarahnya adalah disebutkan secara muthlaq, yaitu :

فتحرير رقبة من قبل ان يتمس

“…maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua isteri itu bercampur…(QS. Al-Mujadalah: 3).

 

Dengan firman Allah SWT surah An-Nisa ayat 92 tentang pembunuhan yang tersalah. dalam kasus ini budak itu diqayyidkan dengan budak yang beriman. Yaitu :

ومن قتل مؤمنا خطأ فتحرير رقبة مؤمنة ودية مسلمة إلى أهله ( النساء : 92 )

“…Dan barang siapa membunuh seorang mu’min karena salah, hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman dan membayar diyah yang diserahkan kepada keluarganya…(QS. An-Nisa: 92).

Hukum yang diambil dari kedua ayat tersebut adalah sama yaitu wajib memerdekakan budak.

  1. Tidak memenangkan lafzh muqayyad atas lafazh yang muthlaq. ( لايحمل المطلق على المقيد  ). Yang demikian itu dalam keadaan apabila :

1)      Hukum dan sebab yang dipakai untuk menetapkan hukum tidak sama. Misalnya lafazh أيد (tangan-tangan) dalam firman Allah SWT :

السارق والسارقة فاقطعوا أيديهما جزاء بما كسبا ( المائدة : 28 )

“Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan potonglah tangan keduanya sebagai pembalasan bagi apa yang telah mereka kerjakan..(QS. Al-Maidah: 28).

 

Lafazh أيد (tangan-tangan) pada ayat ini adalah muthlaq, tidak diberi qayyid dengan sampai pergelangan atau siku.

Sedangkan lafazh أيد (tangan-tangan) yang terdapat dalam firman Allah SWT :

ياأيها الذين امنوا إذا قمتم إلى الصلاة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إلى المرافق ( المائدة : 6 )

“Wahai orang-orang yang beriman apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…. (QS. Al-maidah: 6).

 

Lafazh أيد (tangan-tangan) pada ayat ini adalah muqayyad, yaitu diberi qayyid dengan lafazh إلى المرافق  (sampai dengan siku).

Oleh karena itu hukum dan sebab yang diambil dari kedua ayat itu berlainan. Hukum yang diambil dari surah Al-Maidah ayat 28 adalah potong tangan, disebabkan mencuri. Sedangkan hukum yang diambil pada ayat 6 adalah hukum membasuh tangan disebabkan  hendak mengerjakan shalat.

2)      Hukumnya tidak sama tetapi sebab yang dipakai untuk menetapkan hukum adalah sama. Misalnya dalam firman Allah SWT :

فتيمموا صعيدا طيبا فامسحوا بوجوهكم وأيديكم منه ( المائدة : 6 )

“…Maka bertayamumlah dengan tanah yang bersih, sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu…..” (QS. Al-Maidah: 6).

 

Dengan ayat potongan ayat sebelumnya

ياأيها الذين امنوا إذا قمتم إلى الصلاة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إلى المرافق

“Wahai orang-orang yang beriman apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku….

Lafazh أيد (tangan) pada akhir ayat ini adalah lafazh muthlaq. Kemudian lafazh أيد (tangan) pada awal ayat diberi qayyid dengan lafazh إلى المرافق (sampai siku).

Hukum yang diambil dari kedua nash itu tidak sama, yang satu hukum mengusap tangan, dan yang satu lagi hukum membasuh tangan. Sedangkan sebab yang dipakai oleh keduanya adalah sama yaitu menghilangkan hadats.

  1. Hakiki dan Majazi
    1. Ta’rif

Lafazh hakiki (sejati) adalah suatu lafazh yang sengaja diciptakan untuk memberi suatu arti yang sesuai dengan peristilahan bidang ilmu. Lafazh hakiki terbagi ke dalam beberapa macam, yaitu:

1)      Haqiqat lughawiyah, yaitu lafazh hakiki yang pemakaiannya sesuai dengan istilah bahasa. Seperti lafazh الانسان (manusia) yang arti hakikinya menurut bahasa adalah حيوان ناطق (binatang yang berakal).

2)      Haqiqat syar’iyyah, yaitu lafazh hakiki yang sesuai dengan istilah syara’. Contohnya lafazh الصلاة yang arti hakikatnya adalah ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan sebagaimana yang biasa dilakukan oleh orang-orang Islam dalam menyembah Allah SWT.

3)      Haqiqat ‘urfiyyah ‘ammah, yaitu lafazh hakiki yang pemakaiannya sesuai dengan adat kebiasaan umum. Seperti lafazh الدابة yang dipakai untuk menterjemahkan semua binatang yang berkaki empat.

4)      Haqiqat ‘urfiyyah khashshah, yaitu lafazh hakiki yang pemakaiannya sesuai dengan adat kebiasaan yang khusus. Seperti lafazh-lafazh “rafa, nashab, jarr” yang dipakai oleh para ahli nahwu dalam pengertian yang khusus perihal perubahan bunyi akhir kata dalam suatu kalimat.

Sedangkan lafazh majazi (pinjaman) adalah suatu lafazh yang digunakan untuk suatu arti yang semula lafazh itu bukanlah diciptakan untuknya. Lafazh majazi itu ada beberapa macam, yaitu:

1)      Majaz lughawiyah, yaitu lafazh majazi yang pemakaiannya sesuai dengan istilah bahasa. Seperti lafazh الاسد (singa) dipakai untuk sebutan bagi orang yang pemberani.

2)      Majaz syar’iyyah, yaitu lafazh majazi yang sesuai dengan istilah syara’. Contohnya lafazh الصلاة bila digunakan untuk pengertian do’a.

3)      Majaz ‘urfiyyah ‘ammah, yaitu lafazh majazi yang pemakaiannya sesuai dengan adat kebiasaan umum. Seperti lafazh الدابة bila yang dipakai untuk arti setiap binatang yang melata di atas permukaan bumi.

4)      Majaz ‘urfiyyah khashshah, yaitu lafazh majazi yang pemakaiannya sesuai dengan adat kebiasaan yang khusus.

  1. Hukum lafazh hakiki dan majazi

Setiap lafaz haqiqat harus diamalkan menurut arti yang semula diciptakan untuknya, baik bersifat ‘amm maupun khash dalam bentuk (fi’il) amr dan nahi. Misalnya firman Allah SWT :

ياأيها الذين امنوا اركعوا واسجدوا ( الحج : 77 )

“Hai orang-orang yang beriman, ruku’ dan sujudlah kamu,,,,,” (QS. Al-Haj: 77).

 

Arti yang dimaksud oleh lafazh اركعوا dan اسجدوا dalam ayat tersebut adalah ruku’ dan sujud yang sejati, sebagaimana yang sudah kita kenal.

Setiap lafazh majazi hendaklah diamalkan menurut arti yang dipinjamkan untuknya. Seperti firman Allah SWT :

أو جاء أحد منكم من الغائط ( المائدة : 6 )

“…..atau salah seorang dari kamu kembali dari tempat buang air..” (QS. Al-Maidah: 6)

 

Makna majazi dari rangkaian kalimat أو جاء أحد منكم من الغائط ialah apabila seseorang berhadats kecil. Makna inilah yang dikehendaki oleh ayat tersebut, bukan maknanya yang sebenarnya ”kembali dari tempat buang air”.

  1. Keumuman lafzh majazi

Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat antara para ulama, yaitu :

1)      Ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa suatu lafazh menjadi majaz apabila ia sukar untuk diartikan secara hakikat, sehingga dalalah lafzh kepada maknanya yang majazi itu adalah dalalah dharuriyyah (karena terpaksa). Oleh karena itu, ia hanya mencakup arti yang minimal yang dapat dibenarkan oleh rangkaian kalimat, bukan mencakup keseluruhan arti secara umum. Misalnya sabda Rasulullah SAW :

لاتبيعوا الصاع بالصاعين

“Jangan menjual satu takar dengan dua takar”

Lafazh الصاع yang arti hakikinya suatu wadah untuk menakar, dalam hadits ini diartikan secara majazi bai barang-barang yang bila diperjualbelikan dengan ditakar.

2)      Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa dalalah lafazh majazi itu bukan dalalah dharurat, akan tetapi ia merupakan salah satu cara di antara cara-cara mendatangkan makna. Bahkan kadang-kadang lafazh majaz itu lebih mengena daripada lafazh hakikat. Misalnya firman Allah SWT:

واخفض لهما جناح الذل من الرحمته ( الإسراء : 24 )

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan…(QS. Al-Isra: 24)

Lafazh خفض الجناح (melipat sayap, menurunkan sayap) sebagai terjemah pengertian membungkukkan dada, menurunkan tangan atau memberikan penghormatan untuk memperindah susunan kata-kata dalam seni sastra.

  1. Mengumpulkan lafazh hakiki dengan lafazh majazi

Menggunakan suatu lafazh dengan maknanya yang majazi yang tercakup juga maknanya yang hakiki tidak terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama dalam membolehkannya. Misalnya menggunakan lafazh أم (ibu) dengan arti majaznya yaitu asal-usul yang menurunkan seseorang yang mencakup ibu dan ibu dari ibu (nenek).

Adapun yang mereka perselisihkan adalah jika penggunaan arti kedua-duanya bersama-sama dalam satu ucapan, sedang masing-masing mempunyai ketentuan-ketentuan hukum sendiri-sendiri. Dalam masalah ini terdapat 2 pendapat :

1)      Imam Syafi’i, kebanyakan ahli hadits dan sebagian mutakallimin membolehkannya. Karena tidak ada penghalang untuk hal itu dan karena seseorang diperbolehkan mengecualikan salah satu arti dari yang dua macam itu, setelah lafazh itu dipergunakan dalam satu pembicaraan yang sekaligus dapat mencakup keduanya. Misalnya firman Allah SWT :

أو لمستم النساء ( المائدة : 6 )

“….atau kamu menyentuh perempuan…” (QS. Al-Maidah: 6)

Maka tidak ada halangan lafzh لمس dalam ayat itu diartikan menyentuh dengan tangan, sekaligus diartikan bersetubuh. Dalam pada itu dibenarkan pula mengecualikan salah satu arti dari kedua arti tersebut, seperti bila dikatakan:

…..atau kamu menyentuh perempuan, kecuali kalau sentuhan itu dengan tangan.

Akan tetapi, kalau dalam penggunaan kedua makna itu menimbulkan perbedaan ketentuan, maka tidak dibenarkan mengumpulkan kedua arti haqiqi dan majazi dalam satu pembicaraan. Misalnya antara fi’il amr yang mewajibkan dengan fi’il amr yang menyunatkan.

2)      Fuqaha Hanafiyah, sebagian Fuqaha Syafi’iyyah dan Jumhur Mutakallimin melarang menggunakan dua arti sekaligus dalam suatu percakapan, karena :

  1. Pengumpulan yang demikian itu tidak dikenal dalam pemakaian bahasa. Sebab tidak pernah terjadi dalam percakapan menggunakan lafazh حمار (keledai) untuk nama hewan dan untuk sebutan bagi orang yang tolol.
  2. Pemakaian lafazh menurut haqiqat tidak memerlukan qarinah, sedang pemakaian lafazh menurut majazi memerlukan qarinah. Dengan demikian menggunakan keduanya sekaligus dalam satu ucapan adalah bertentangan.
  3. Musytarak
    1. Ta’rif

Lafazh musytarak adalah lafazh yang mempunyai dua arti atau lebih yang berbeda-beda. Misalnya lafazh قروء mempunyai arti suci dan haid.

Perbedaan antara lafazh ‘amm, khash dan musytarak dari segi maknanya adalah:

1)      Lafazh ‘amm diciptakan untuk satu makna, tetapi makna yang satu itu mencakup satuan-satuan yang tidak terbatas, biarpun dalam kejadiannya dapat terbatas. Seperti lafazh طلبة (para mahasiswa). Lafazh ini mencakup seluruh orang yang belajar di Perguruan Tinggi.

2)      Lafazh khash itu diciptakan untuk satu makna bagi satuan tunggal, seperti lafazh Muhammad.

3)      Lafazh musytarak diciptakan untuk beberapa makna yang penunjukkannya kepada makna itu dengan jalan bergantian, tidak sekaligus. Misalnya lafazh عين , lafazh ini mengandung beberapa makna, yaitu: mata, mata air, matahari dan mata-mata.

  1. Sebab-sebab yang menyebabkan lafzh menjadi musytarak

1)      Lafazh itu digunakan oleh suatu suku bangsa untuk makna tertentu dan oleh suku bangsa yang lain digunakan untuk makna yang lain lagi, kemudian sampai kepada kita kedua makna tersebut tanpa ada keterangan dari hal perbedaan yang dimaksud oleh penciptanya. Misal lafazh يد , ada yang mengartikan tangan keseluruhan dan ada pula yang mengartikan hanya telapak tangan saja.

2)      Lafazh yang diciptakan menurut arti hakikatnya untuk satu makna, kemudian dipakai pula kepada makna lain tetapi secara majazi (kiasan). Misalnya lafazh السيارة yang pada mulanya diartikan sebagai kafilah yang mengadakan perjalanan. Dan akhirnya populer diartikan dengan mobil.

3)      Lafazh itu semula diciptakan untuk satu makna, kemudian dipindahkan kepada istilah syar’i untuk arti yang lain. Misalnya lafazh الصلاة menurut ari bahasanya adalah do’a, kemudian menurut syara’ shalat adalah sebagaimana yang kita kenal sekarang.

  1. Hukum lafazh musytarak

1)      Apabila persekutuan arti lafazh musytarak pada suatu nash syar’i terjadi antara makna lughawi dengan makna istilah syar’i, maka hendaklah diambil makna menurut istilah syar’i.

2)      Apabila persekutuan arti lafazh musytarak pada suatu nash syar’i itu terjadi antara beberapa makna lughawi, maka seseorang wajiblah berijtihad untuk menentukan arti yang dimaksud.

3)      Jika tidak ada qarinah yang menunjukkan kepada arti yang dimaksud, maka para ulama berlainan  dalam menentukan arti yang dikehendaki:

a)      Menurut ulama Hanafiyah dan sebagian ulama Syafi’iyyah, lafazh musytarak itu tidak dapat digunakan untuk seluruh arti yang banyak itu dalam satu pemakaian.

b)      Menurut jumhur ulama aliran Syafi’iyyah dan sebagian ulama Mu’tazilah bila tidak ada qarinah yang menunjukkan kepada arti yang dikehendaki, maka lafazh musytarak itu hendaklah diartikan kepada seluruh artinya selagi arti-arti itu tidak dapat digabungkan.

  1. Sharih dan Kinayah
    1. Ta’rif

Lafazh zharih adalah lafazh yang maksudnya jelas sekali, lantaran sudah masyhur dalam pemakaiannya, baik secara hakiki maupun majazi. Contoh:

1)      Lafazh sharih hakiki seperti seorang penjual berkata kepada pembeli bahwa barang dagangannya telah dijual kepada pembeli dan pembeli menjawab bahwa dia telah membelinya.

2)      Lafazh sharih majazi seperti seorang berkata bahwa ia makan dari pohon tertentu, maka yang dimaksud adalah buahnya

Sedangkan lafazh kinayah adalah lafazh yang tersembunyi maksudnya. Kinyaha terbagi 2:

1)      Kinayah hakiki, seperti bila seorang berkata: kawanmu telah menemui saya dan mengatakan apa yang telah kamu ketahui. Yang dimaksud kawan di sini tidak jelas, akan tetapi arti kawan di sini adalah hakiki bukan makna yang lain.

2)      Kinayah majazi, seperti misalnya seorang suami berkata: beriddahlah kamu. Maka kata “beriddahlah” mengandung sindiran untuk perceraian.

  1. Hukum lafazh sharih dan kinayah

Lafazh sharih wajib diamalkan, sedang lafazh kinayah tidak wajib diamalkan, kecuali jika ada qarinah yang mengharuskan untuk mengamalkannya.

B.      KAJIAN LAFAZH DALAM BENTUK AMAR DAN NAHI

  1. Amr
    1. Ta’rif

Amr adalah suatu lafazh yang dipergunakan oleh orang yang lebih tinggi kedudukannya untuk menuntut kepada orang yang lebih rendah derajatnya agar melakukan suatu perbuatan.

  1. Bentuk-bentuk lafazh amr

Shigat (bentuk-bentuk) lafazh amr itu adalah:

1)      Fi’il amr. Misalnya firman Allah SWT:

 

وأقيموا الصلوة واتوا الزكاة ( البقرة : 43 )

“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat (QS. Al-Baqarah: 43).

 

2)      Fi’il Mudhari’ yang dimasuki lafazh amr. Misalnya firman Allah SWT:

 

ولتكن منكم أمة يدعون إلى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر وأولئك هم المفلحون ( ال عمران : 104 )

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali-Imran: 104)

3)      Sesuatu yang diperlukan sebagai fi’il amr. Seperti isim fi’il:

 

ياأيها الذين امنوا عليكم أنفسكم لايضركم من إذا اهتديتم ( المائدة : 105 )

“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu. Tiadalah orang yang sesat itu membahayakan kamu, apabila kamu telah mendapat petunjuk..(QS. Al-Maidah: 105)

 

4)      Jumlah khabariyah (kalimat berita) yang diartikan selaku jumlah insyaiyyah (kalimat yang mengandung tuntutan). Misalnya firman Allah SWT:

والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء ( البقرة : 228 )

“Wanita-wanita yang ditalak, hendaklah menahan diri (menunggu) sampai tiga kali suci…” (QS. Al-Baqarah: 228)

  1. Uslub (gaya bahasa) yang dipakai oleh Al-Qur’an dalam menuntut untuk melakukan suatu perbuatan

Dalam menuntut untuk dilakukan suatu perbuatan Al-Qur’an menggunakan uslub (gaya bahasa) sebagai berikut:

1)      Menggunakan fi’il amr atau fi’il mudhari’ yang dimasuki lam amr.

2)      Dengan ungkapan kalimat yang memakai perkataan yang bersuku kata أمر . Misalnya firman Allah SWT:

ان الله يأمركم أن تؤد الأمانات إلى اهلها ( النساء : 58 )

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya” (QS. An-Nisa: 58)

 

3)      Dengan ungkapan kalimat yang memakai perkataan yang bersuku kata فرض , misalnya firman Allah SWT:

قد علمنا مافرضنا عليهم فى أزواجهم ( الاحزاب : 50 )

 “Kami telah mengetahui apa yang kami wajibkan kepada mereka perihal isteri-isteri mereka…” (QS. Al-Ahzab: 50)

 

4)      Dengan ungkapan kalimat yang memakai perkataan yang bersuku kata كتب , misalnya firman Allah SWT:

كتب عليكم إذا حضر أحدكم الموت إن ترك خير نالوصية للوالدين والأقربين ( البقرة : 180 )

 “Diwajibkan atas kamu apabila di antara kamu kedatangan maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat, untuk ibu-bapak dan kerabat-kerabatnya secara baik”. (QS. Al-Baqarah: 180).

5)      Memberitakan suatu perbuatan, yang harus dilakukan oleh manusia bahwa perbuatan itu untuknya. Misalnya firman Allah SWT:

ولله على الناس حج البيت  ( ال عمران : 97 )

“mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah.. (QS. Ali-Imran: 97)

 

6)      Menjadikan suatu perbuatan adalah sebagai jawaban atas suatu syarat. Misalnya firman Allah SWT:

فإن أحصرتم فماستيسر من الهدى ( البقرة : 96 )

“…jika kamu terkepung (oleh musuh), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat..(QS. Al-Baqarah: 96)

 

7)      Mensifati bahwa perbuatan itu adalah baik atau merupakan perbuatan bakti, misalnya firman Allah SWT:

 

قل إصلاح لهم خير ( البقرة : 220 )

“…katakanlah: “Mengurus mereka (anak yatim) secara patut adalah baik……(QS. Al-Baqarah: 220)

 

8)      Menjanjikan dengan suatu janji baik, misalnya firman Allah SWT:

 

من ذاالذي يقرض الله قرضا حسنا فيضاعفه له أضعافا كثيرة ( البقرة : 245 )

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya ke jalan Allah), maka Allah akan memperlipatgandakan pembayaran kepadanya dengan berlipat-lipat. (QS. Al-Baqarah: 245)

 

  1. Petunjuk lafazh amr

Jumhur ulama berpendapat bahwa lafazh amr itu diciptakan untuk memberi pengertian wajib. Selama lafazh amr itu tetap dalam keadaan kemuthlaqannya ia selalu menunjuk kepada arti yang haqiqi, yakni wajib, jika tidak ada qarinah yang mengalihkannya. Alasan mereka adalah:

1)      Perintah Tuhan kepada para Malaikat untuk bersujud kepada Nabi Adam as.

وإذ قلنا للملائكة اسجدوا لادم فسجدوا الا إبليس أبى والستكبر ( البقرة : 34 )

“Dan ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka, kecuali Iblis, ia enggan dan takabur.. (QS. Al-Baqarah: 34)

 

2)      Allah SWT mengancam orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya dengan menimpakan cobaan kepada mereka atau siksa yang pedih.

فليحذر الذين يخالفون عن أمره أن تصيبهم فتنة أو يصيبهم عذاب أليم ( النور : 63 )

 “..karena itu hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa fitnah (cobaan) atau ditimpa azab yang pedih.” (QS/ An-Nuur: 63)

 

3)      Banyak sekali perintah-perintah dari Rasulullah SAW biarpun tidak dibarengi qarinah yang mewajibkan, tetapi diterima oleh umat Islam sebagai sesuatu yang wajib.

صلوا كما رأيتمونى أصلى ( رواه البخارى )

“Shalatlah kamus eperti kamu melihat aku shalat..(HR. Bukhari)

 

4)      Para ahli bahasa arab, sebelum datangnya agama Islam menetapkan bahwa perintah itu adalah wajib dilaksanakan.

Atas dasar itulah jumhur ulama menetapkan kaidah:

الأصل فى الأمر للوجوب

“Asal daripada perintah adalah wajib”

tetapi jika ada qarinah yang dapat mengalihkan lafazh amr itu dari arti wajib ke arti yang lain, maka hendaklah dialihkan kepada arti yang dikehendaki oleh qarinah itu, seperti:

1)      Nadb (Sunnat). Seperti firman Allah SWT:

فكاتبوهم إن علمتم فيهم خيرا ( النور : 33 )

“..maka hendaklah kamu buat perjanjian mukatabah dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka.” (QS. An-Nuur: 33)

 

2)      Irsyad (Pengarahan). Seperti firman Allah SWT:

 

ياأيها الذين امنوا إذا تداينتم بدين إلى أجل مسمى فاكتبوه…. ( البقرة : 282 )

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu menulisnya….”

3)      Ibahah (Membolehkan). Seperti firman Allah SWT:

 

وكلوا واشربوا…. ( البقرة : 187 )

“Makan dan minumlah….” (QS. Al-Baqarah: 187)

 

4)      Do’a (berdo’a). Seperti firman Allah SWT:

ربنا اتنا فى الدنيا حسنة وفى الأخرة حسنة ( البقرة : 201 )

“..Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat…(QS. Al-Baqarah: 201)

 

5)      Ta’jiz (Memperlihatkan kelemahan lawan). Seperti firman Allah SWT:

 

فأتوا بسورة من مثله ( البقرة : 23 )

“…..maka buatlah satu surat (saja) semisal Al-Qur’an itu..(QS. Al-Baqarah: 23).

 

6)      Tahdid (Ancaman). Seperti firman Allah SWT:

إعملوا ماشئتم ( فصلت : 40 )

“…perbuatlah apa yang kamu kehendaki…” (QS. Fushshilat: 40)

 

  1. Petunjuk lafazh amr yang lain

1)      Pengulangan menjalankan perkara yang diperintahkan dalam amr

Dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat, yaitu:

a)      Menurut fuqaha Hanafiyah, kebanyakan fuqaha syafi’iyyah dan Mu’tazilah  mengatakan bahwa :

الاصل فى الأمر لايقتضى التكرار

“menurut aslinya perintah itu tridak mengandung pengulangan perkara yang diperintahkan”

Alasan yang mereka kemukakan adalah bahwa shigat amr itu sendiri pada dasarnya tidaklah menunjukkan bahwa sesuatu yang diperintah oleh shigat amr itu harus dikerjakan berulang kali. Apabila melakukan perintah itu sekurang-kurangnya cukup dengan sekali saja, maka melakukan yang demikian itu sudah dapat dikatakan mentatati perintah.

Firman Allah SWT:

وأتم الحج والعمرة لله ( البقرة : 196 )

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah…(QS. Al-baqarah: 196)

 

Perintah menjalankan haji dan umrah hanya diwajibkan sekali seumur hidup. Adapun pengulangan perkara yang diperintahkan itu tidak dapat dipahamkan dari shigat amr itu sendiri, kecuali apabila ada qarinah.

b)      Menurut sebagian ulama

الأصل فى الأمر يقتضى التكرار مدة العمر مع الامكان

“menurut aslinya perintah itu mengandung pengulangan untuk selama-lamanya di mana mungkin.

Ulama tersebut mengqiyaskan amr dengan tuntutan untuk meninggalkan perbuatan yang berlaku dalam shigat nahi, yang mengandung pengertian untuk terus menerus ditinggalkan. Karena amr dan nahi adalah sama-sama berupa tuntutan.

c)       Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa amr itu mewajibkan adanya pengulangan yang diperintahkan apabila digantunglkan dengan suatu syarat. Firman Allah SWT:

وان كنتم جنبا فاطهروا ( المائدة : 6 )

“.. dan jika kamu junub, mandilah…” (QS. Al-Maidah: 6)

 

Kewajiban mandi itu harus dilaksanakan berulang-ulang selama syarat itu ada yaitu junub.

2)      Kesegeraan dalam melakukan apa yang diperintahkan

Dalam masalah ini juga ulama berbeda pendapat:

a)      Menurut fuqaha Hanafiyah, Syafi’iyyah dan rekan-rekannya bahwa :

الأصل فى الأمر لايقتضى الفور

“Menurut aslinya perintah itu tidak mengandung kesegeraan”

Alasan mereka adalah shigat amr itu diciptakan untuk menuntut dilaksaanakannya suatu perbuatn, tidak ada petunjuk untuk dilaksanakan dengn segera atau ditunda, pemahaman untuk menyegerakan atau menunda perintah itu haruslah disertai dengan qarinah dari luar, bukan dari shigat itu sendiri.

b)      Fuqaha Malikiyah, Hanabilah dan sebagian ulama Syafi;iyyah dan Hanafiyah berpendapat bahwa :

الأصل فى الأمر يقتضى الفور

“Menurut aslinya perintah itu mengandung kesegeraan”

Ulama tersebut mengqiyaskannya dengan shigat nahi yang mengandung arti segera ditinggalkannya. Karena kedua amr dan nahi itu sama-sama merupakan tuntutan.

3)      Amr yang datang sesudah nahi (larangan)

Para ulama dalam hal ini juga berebda pendapat:

a)      Imam Malik beserta rekan-rekannya dan Ibnu Hazm berpendapat bahwa amr sesudah nahi itu hukumnya wajib

b)      Menurut Imam Syafi’i, kebanyakan para fuqaha dan kebanyakan mutakallimin (ahli ilmu kalam) bahwa amr sesudah nahi hukumnya mubah

c)       Sebagian ulama merincinya sebagai berikut:

  1.                                                                   i.            Apabila larangan yang mendahuluinya itu merupakan illat terlarangnya, maka perintah yang jatuh sesudahnya adalah untuk menghilangkan larangannya. Disebabkan illatnya pun sudah hilang dan untuk mengembalikan hukum yang semula sebelum dilarang, yaitu diperbolehkan atau untuk mengulang wajibnya.
  2.                                                                 ii.            Apabila larangan itu bukan merupakan illat yang nyata, maka ia sebagai penasikh hukum yang terdahulu, jadi hukumnya ibahah saja.
  3. Nahi
    1. Ta’rif

Nahi ialah suatu lafazh yang digunakan untuk menuntut agar meninggalkan suatu perbuatan.

  1. Bentuk-bentuk lafazh nahi

Bentuk-bentuk lafazh nahi itu ialah:

1)       Fi’il mudhari’ yang disertai la-nahiyah

لاتفسد فى الأرض ( البقرة : 11 )

“…janganlah kamu merusak di muka bumi…”(QS. Al-Baqarah: 11)

 

2)       Jumlah khabariyah (kalimat berita) yang diartikan selaku jumlah insyaiyyah (kalimat yang mengandung tuntutan).

 

حرمت عليكم أمهاتكم وبناتكم ( النساء : 229 )

“Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu…(QS. An-Nisa: 229).

 

  1. Uslub (gaya bahasa) yang dipakai oleh Al-Qur’an dalam menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan

Menggunakan fi’il mudhari’ yang dimasuki la-nahiyah. Misalnya firman Allah SWT:

فبشرهم بعذاب أليم ( التوبة : 34 )

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka akan adanya siksa yang pedih. *QS. At-Taubah; 34)

  

  1. Petunjuk lafazh nahi

Dalam hal ini terjadi perbedaa pendapat para ulama:

1)      Jumhur ulama mengatakan bahwa :

الأصل فى النهى للتحريم

 “Asal larangan adalah haram”

Alasan mereka adalah:

a)      Akal yang sejahtera tentu dapat menerima secara pasti tentang keharusan meninggalkan suatu perbuatan yang terkandung dalam lafazh nahi itu, bila tidak ada qarinah yang mengalihkan kepada arti yang lain.

b)      Para ulama salaf pada menggunakan lafazh nahi yang tidak mempunyai qarinah untuk mengharamkan sesuatu.

2)      Sebagian ulama mengatakan bahwa :

الأصل فى النهى للكراهة

“Asal larangan itu adalah makruh”

 

Sebab sesuatu yang dilarang itu adakalanya haram mengerjakannya dan adakalanya makruh saja. Akan tetapi dari kedua hal itu yang sudah diyakini adalah yang makruh. Karena orang yang melarang suatu perbuatan dilakukan paling minim ia tidak menyukai perbuatan itu dilakukan. Tidak menyukai itu bukan berarti diharamkan.

Menurut pendapat jumhur dan pendapat yang kuat bahwa lafazh nahi itu menurut lughawi menunjukkan keharaman.

Apabila ada suatu qarinah yang mengalihkan dari arti asli (haram) kepada arti yang tidak asli, maka hendaklah diartikan menurut petunjuk qarinah itu, seperti:

1)      Karahah (makruh). Misalnya sabda Rasulullah SAW:

ولاتصلوا فى أعطان الابل ( رواه أحمد والترمذى )

“janganlah kamu shalat dikandang unta”

 

2)      Do’a (berdo’a). firman Allah SWT:

 

ربنا لاتزغ قلوبنا بعد إذ هديتنا ( ال عمران : 8 )

“Ya Tuhan kami! Janganlah Kau jadikan hati kamicenderung kepada kesesatan setelah Engkau beri petunjuk kepada kami..(QS. Ali-Imran: 8)

3)      Irsyad (memberi petunjuk yang baik). Misalnya firman Allah SWT:

 

فاسئلوا أهل الذكر ان كنتم لاتعلمون ( النحل : 43 )

 “Bertanyalah kamu kepada orang yang ahli, jika kamu belum mengetahui..”(QS. An-Nahl: 43)

 

  1. Sifat petunjuk lafazh nahi

Tidak ada perbedaan para ahli ushul bahwa larangan dalam lafazh nahi itu bersifat abadi dan segera harus dikerjakan. Sebab meninggalkan perbuatan yang dilarang itu tidak dapat terlaksana dengan sebenarnya, sekiranya tidak ditinggalkan untuk selama-lamanya.

Dan atas dasar itulah para ushuliyun membuat qaidah :

الأصل فى النهى المطلق يقتضى التكرار فى جميع الازمنة

“asal nahi itu adalah mutlak yang mengandung petunjuk terus-menerus untuk setiap waktu”

 

Adapun lafazh nahi yang muqayyad tidak mengandung pengertian yang bersifat terus-menerus. Misalnya firman Allah SWT:

ياأيها الذين امنوا لاتقربوا الصلاة وأنتم سكارى ( النساء : 43 )

“Wahai orang-orang yang beriman ! janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk…” (QS. An-Nisa: 43)

 

  1. Pengaruh larangan terhadap hal-hal yang dilarang

Hal-hal yang dilarang oleh syara’ itu adakalanya:

1)      Berupa perbuatan, yaitu segala tingkah laku yang dikerjakan oleh anggota lahiriyah (tubuh) manusia. Syara’ melarang seseorang melakukan suatu perbuatan dikarenakan 3 sebab, yaitu:

a)      Karena wujud perbuatan itu sendiri tidak baik (keji) menurut syara’. Seperti zina, merampok, dan lain-lain.

b)      Karena sifat perbuatan itu sendiri adalah tidak baik menurut syara’ seperti bersujud kepada matahari.

c)       Karena suatu perkara yang beradaa di luar perbuatan itu sendiri tetapi masih ada pertaliannya. Mislanya seseorang sembahyang dengan pakaian hasil merampok.

2)      Berupa perkataan ialah ucapan yang dijadikan oleh syari’ sebagai sebab sahnya hukum. Seperti aqad perkawinan, jual beli, dan lain-lain.

Pengaruh larangan terhadap hal-hal yang dilarang, baik yang dilarang itu berupa perbuatan maupun perkataan adalah sebagai berikut:

1)      Perbuatan yang dilarang karena wujud dari perbuatan itus sendiri adalah tidak baik menurut syara’ dan perkataan yang dilarang karena adanya kekurangan rukun perikatan itu apabila dikerjakan seorang mukallaf adalah batal, yakni tidak mempunyai efek yang terpuji dan tidak pula bermanfaat menurut pandangan syara’

2)      Perbuatan atau perkataan yang dilarang karena adanya sifat yang tidak baik yang terdapat dalam perbuatan atau perkataan itu adalah batal. Demikianlah menurut pendapat ulama Syafi’iyyah, sebagian ulama Syi’ah dan sebagian ulama ahli zahir.

Tags: ,
Copyright 2021. All rights reserved.

Posted May 28, 2013 by Admin in category "Fiqih dan Ushul Fiqih

Comments on Facebook