Pengadilan Agama pasca Putusan MK nomor 93/PUU-X/2012
PENGADILAN AGAMA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI NOMOR 93/PUU-X/2012
(Tantangan dan Strategi Pengadilan Agama dalam Merespon Amanat Konstitusi yang
Memberikan Kewenangan Penuh untuk Mengadili Sengketa Perbankan Syari’ah)
Oleh: Ahmad Z. Anam, M.S.I.[1]
Prolog
Terhitung tepat sejak pukul 09.41 WIB, tanggal 29 Agustus 2013, tidak ada lagi dualisme penyelesaian sengketa perkara perbankan syari’ah.[2] Mahkamah Konstitusi melalui putusan nomor 93/PUU-X/2012 menegaskan bahwa penjelasan pasal 52 Ayat (2) UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Penjelasan pasal tersebut lah yang selama ini menjadi biang kemunculan pilihan penyelesaian sengketa (choice of forum). Konsekuensi konstitusionalnya: sejak putusan tersebut diketok, Pengadilan Agama menjadi satu-satunya pengadilan yang berwenang mengadili perkara perbankan syari’ah.
Perubahan peta kewenangan mengadili tersebut benar-benar mengentaskan Pengadilan Agama dari status “pengadilan kelas dua”. Detik ini, Ia benar-benar setara dengan tiga pengadilan lain: Pengadilan Negeri, Pengadilan Tata Usaha Negara, dan Pengadilan Militer. Posisi strategis ini harus dikawal dan dipertahankan.
Amanat konstitusi dalam pelimpahan kewenangan penuh tersebut tidak boleh dihianati; harus dipertanggungjawabkan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: bagaiamana kesiapan dan apa tantangan Pengadilan Agama dalam menyelesaiakan sengketa perbankan syari’ah? Langkah nyata apa yang musti ditempuh untuk membuktikan bahwa Pengadilan Agama benar-benar kompeten menyelesaiakan sengketa perbankan syari’ah—yang cenderung rumit dan kompleks—itu?
Putusan Uji Materi UU Nomor 21 tahun 2008
Kebetulan, Penulis sangat tertarik dengan pengajuan uji materi (judicial review) atas penjelasan pasal 52 Ayat (2) dan (3) UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah yang diajukan Dadang Achmad. Oleh karena itu, Penulis memiliki data persidangan Mahkamah Konstitusi dalam perkara nomor 93/PUU-X/2012 tersebut,
dari sidang pertama hingga sidang terakhir, sebagai berikut:
- Sidang pertama: tanggal 05 Oktober 2012, agenda: pemeriksaan pendahuluan;
- Sidang kedua: tanggal 19 Oktober 2012, agenda: perbaikan permohonan;
- Sidang ketiga: 28 November 2012, agenda: mendengarkan keterangan pemerintah, DPR, dan mendengarkan keterangan saksi/ahli yang diajukan Pemohon dan Pemerintah;
- Sidang keempat: tanggal 20 Desember 2012, agenda: mendengarkan saksi/ahli dari Pemohon dan Pemerintah;
- Sidang kelima: 29 Januari 2013, agenda: mendengarkan keterangan saksi/ahli dari Pemohon dan Pemerintah;
- Dan sidang keenam (terakhir): tanggal 29 Agustus 2013, agenda:pembacaan putusan;[3]
Proses perjalanan perkara a quo menempuh tempo hampir satu tahun dan menghasilkan putusan yang amarnya sebagai berikut;
Amar Putusan:
Menyatakan:
- Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
1.1. Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.2. Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
- Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
- Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.
Adapun bunyi Penjelasan Pasal 55 Ayat (2) Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tersebut adalah:
“yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad” adalah upaya sebagai berikut:
- musyawarah;
- mediasi perbankan;
- melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas)
- atau lembaga arbitrase lain; dan/atau
- melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Menurut pertimbangan Mahkamah Konstitusi, penjelasan pasal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan hilangnya hak konstitusional nasabah untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah [vide Pasal 28D ayat (1) UUD 1945] yang bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi. Oleh karena itu, layak untuk dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Konklusinya, dengan dinyatakannya penjelasan pasal Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka konsekunsi logisnya adalah: seluruh sengketa perbankan syari’ah (dalam jalur litigasi) harus diselesaikan di Pengadilan Agama,[4] sesuai ketentuan pasal 55 Ayat 1 Undang-undang a quo, yang berbunyi, “Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.”[5]
Mengubah Tantangan Menjadi Peluang
Persoalan paling besar dalam pengembanan amanah ini adalah: stigma publik yang masih menganggap Pengadilan Agama adalah “pengadilan cerai” yang tentu tidak cakap menyelesaikan sengketa perbankan syari’ah.[6] Mereka masih salah sangka tentang siapa sejatinya kita. Ini adalah tantangan.
Stigma di atas tidaklah lahir dari ruang kosong. Sebagaimana kita sadari bersama, memang perkara di Pengadilan Agama sangat didominasi perkara perceraian.[7] Sementara perkara-perkara lain masih sangat terbatas, terlebih perkara perbankan syari’ah: sangat langka.
Kelangkaan perkara perbankan syari’ah, tentunya tidak terlepas dari momok penjelasan pasal 52 Ayat (2) UU Nomor 21 tahun 2008. Dengan dicabutnya kekuatan hukum pasal “pengkerdil” tersebut oleh Mahkamah Konstitusi, tentu kran perkara perbankan syari’ah akan terbuka lebar ke Pengadilan Agama.
Minimnya perkara perbankan syari’ah pada Pengadilan Agama di hari kemarin, tentu sangat membatasi pengalaman para hakim dalam menangani perkara tersebut. Memang, ini merupakan tambahan kendala selain kendala stigma publik di atas. Namun bukan berarti kendala tersebut adalah kutukan yang akan semakin membuat kita terpuruk, namun justru sebaliknya: menjadi cambuk yang membuat kita bergegas bangkit. Bukankah Gatotkaca harus digembleng di Kawah Candradimuka untuk menjadi kesatria sakti mandraguna?
Pada titik ini lah kualitas Hakim Pengadilan Agama dipertaruhkan. Inilah momen untuk meruntuhkan stigma miring atas Pengadilan Agama yang selama tumbuh subur dalam opini publik, sekaligus membuktikan pada dunia bahwa Hakim Pengadilan Agama adalah hakim di mata hukum dan ulama di mata umat, bukan penghulu di mata hukum dan ulama di mata umat. Dalam konteks tujuan luhur ini, tiada kata bijak lain kecuali: mari merubah tantangan menjadi peluang, li i’lai kalimatillahi ta’ala.
Menjaga dan Mengawal Amanat Konstitusi
Untuk menjaga dan mengawal kewenangan penuh Pengadilan Agama dalam menyelesaiakn sengketa perbankan syari’ah, perlu diupayakan strategi konkrit. Strategi ini sekaligus menjadi konverter untuk mengubah tantangan menjadi peluang demi meneguhkan eksistensi Pengadilan Agama dalam konstelasi hukum nasional. Dalam artikel ini, Penulis mengajukan beberapa tawaran strategi sebagai berikut:
Pertama: meningkatkan kualitas hakim dengan tradisi baca-tulis. Selama ini kita mengenal adagium ius curia novit (hakim dianggap tahu undang-undang).[8] tidak salah memang jika asas itu diterapkan dalam peradilan. Hakim sebagai figur “Yang Mulia” memang dituntut menjadi “manusia setengah dewa” yang serba tahu. Jalan satusatunya untuk mencapai tingkatan tersebut adalah dengan membaca.
Selain membaca, menulis juga merupakan salah satu media terbaik untuk memperluas wawasan hukum. Untuk menulis, pasti dibutuhkan membaca. Itu kuncinya. Dalam konteks ini pantas kita rujuk sebuah kata bijak: “hakim yang baik adalah hakim yang tidak bisa berhenti membaca. Sedangkan hakim yang jauh lebih baik adalah hakim yang tidak bisa berhenti membaca dan menulis”.[9] Jika kedua kegiatan ini telah membudaya dalam kehidupan hakim, Penulis yakin tidak akan ada persoalan berarti dalam menangani sengketa perbankan syari’ah.
Kedua: meningkatkan kuantitas dan kualitas pelatihan ekonomi syari’ah. Sejatinya, Peradilan Agama telah lama mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan pelimpahan kewenangan penuh ini. Kesiapan ini telah disampaikan langsung oleh beliu Tua Marga MA, Dr. Andi Syamsu Alam, S.H., M.H.
Berbagai pelatihan ekonomi syari’ah untuk hakim Pengadilan Agama telah diselenggarakan, baik yang diselenggarakan di dalam negeri maupun di manca negara.[10] Yang membanggakan lagi, dalam beberapa pelatihan, prakarsanya bukan hanya dari Dirjen Badilag, namun juga dari Bank Indonesia, juga dari Komisi Yudisial.[11]
Pelatihan yang telah ada dan berlanjut tersebut merupakan preseden baik untuk masa depan Pengadilan Agama. Yang perlu dilakukan saat ini adalah meningkatkan kuantitas dan kualitas pelatihan-pelatihan ekonomi syari’ah tersebut.
Ketiga: Segera menerbitkan Hukum Acara Ekonomi Syari’ah (HAES). Hukum materiil ekonomi syari’ah telah tertuang dalam sebuah Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES). Sedangkan untuk hukum acara, karena belum ada hukum acara khusus ekonomi syari’ah, penyelesaian sengketa perbankan syari’ah masih berpedoman pada hukum acara perdata umum.[12] Tentu, hukum acara umum belum bisa menjawab segala kebutuhan perkara perbankan syari’ah.
Kehadiran Hukum Acara Ekonomi Syari’ah telah sangat dinantikan. Sama seperti KHES, nantinya kalau draft HAES telah final, agar dapat berlaku dan mengikat sebagai peraturan perundangan, maka [strategi jangka pendek] draft tersebut harus dituangkan kedalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA).[13]
Keempat: membentuk majelis khusus ekonomi syari’ah. Sesuai dengan anjuran Tua Marga MA, tiap-tiap Pengadilan Agama harus memiliki majelis khusus yang tetap untuk menangani perkara ekonomi syari’ah—termasuk didalamnya perbankan syari’ah. Anjuran ini bertujuan agar perkara perbankan syari’ah dipegang oleh mereka yang benar-benar kompeten.
Tentunya, anjuran pembentukan majelis khusus ekonomi syari’ah tersebut merupakan kebijakan temporal. Mengingat, perbankan syari’ah masih tergolong perkara baru di ligkungan Peradilan Agama. Di masa mendatang, saat perkara tersebut telah menjadi “menu wajib”, pastinya semua hakim dituntut untuk mampu menanganinya.
Epilog
Terhitung sejak pukul 09.41 WIB, tanggal 29 Agustus 2013, Pengadilan Agama menjadi satu-satunya pengadilan yang berwenang menangani sengketa perkara perbankan syari’ah: tidak ada lagi choice of forum. Perubahan peta kewenangan mengadili ini harus kita hargai dan pertanggungjawabkan. Untuk mempertanggungjawabkan amanat konstitusi tersebut, diperlukan strategi-strategi khusus agar Pengadilan Agama benar-benar menjadi institusi yang kompeten dalam menangani perkara ekonomi syari’ah.
Tawaran strategi Penulis adalah: 1. Meningkatkan kualitas hakim dengan tradisi baca-tulis, 2. Meningkatkan kuantitas dan kualitas pelatihan ekonomi syari’ah, 3. Segera menerbitkan Hukum Acara Ekonomi Syari’ah (HAES), dan 4. Membentuk majelis khusus ekonomi syari’ah.
Inilah momentum yang tepat untuk membuktikan kualitas Pengadilan Agama. Mari kita tunjukkan pada publik, bahwa kita bukan lagi “pengadilan kelas dua” seperti yang mereka patri selama ini. Keberhasilan dalam menyelesaiakan sengketa perbankan syari’ah, tentu akan memperkokoh eksistensi Pengadilan Agama dalam konstelasi hukum nasional. Mari kita perjuangkan. Semoga terijabah. Amin.
Daftar Pustaka
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cet. Ke-6,
Kencana: Jakarta, 2012.
Ahmad Mujahidin Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah di Indonesia, Galia Indonesia: Bogor, 2010.
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, cet. ke-10, Sinar Grafika: Jakarta, 2010.
Muhammad Rizki, Tugas PA Bukan Menceraikan, badilag.net.
Undang-undang No. 12 tahun 2011, tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan.
Undang-undang No. 48 tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
Undang-undang No.50 tahun 2009, tentang Peradilan Agama.
Kompas, Sengketa Bank Syariah Diputus Lewat Peradilan Agama, tanggal 03 Mei 2013.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, tanggal 29 Agustus 2013.
Surat Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama nomor 0738/DJA/PP.00./V/2012.
http://badilag.net/pojok-pak-dirjen/15079-cerai-gugat-59-persen-ekonomi-syariah-001-ersen-34.html.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.JadwalSidang&id=1&kat=1&cari=93%2FPUU-X%2F2012.
[1] Calon Hakim Angkatan II PPC Terpadu MA-RI. Satker: Pengadilan Agama Kab. Kediri. Mentor: Drs. H. Imam Asmu’i, S.H.
[2] Pencantuman waktu selesainya pembacaan putusan tersebut termaktub dalam bagian penutup putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012.
[3]http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.JadwalSidang&id=1&kat=1&cari=93%2FPUU-X%2F2012
[4]Hal ini dikarenakan masing-masing lingkungan peradilan hanya berwenang mengadili terbatas pada kasus yang dilimpahkan undang-undang, M. Yahya Harahap, S.H., Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, cet. Ke-10, (Sinar Grafika: Jakarta, 2010) hlm. 181.
[5] Jo. Pasal 49 beserta penjelasanya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 yang telah diubah dengan Undang-undang nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama yang berbunyi, ”Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orangorang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari’ah. Penjelasan: Yang imaksud dengan “ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi: a. bank syari’ah; b. lembaga keuangan mikro syari’ah. c. asuransi syari’ah; d. reasuransi syari’ah; e. reksa dana syari’ah; f. obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah; g. sekuritas syari’ah; h. pembiayaan syari’ah; i. pegadaian syari’ah; j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan k. bisnis syari’ah.
[6] Muhammad Rizki, Tugas PA Bukan Menceraikan, dalam artikel badilag.net, hlm.1.
[7] Dari 404.857 perkara yang diterima 359 Mahkamah Syar’iyah/Pengadilan Agama tahun 2012, sebanyak 238.666 perkara atau 58,9 persen di antaranya merupakan perkara cerai gugat. Di urutan kedua adalah perkara cerai talak. Selama 2012, 359 pengadilan tingkat pertama di lingkungan peradilan agama menerima 107.780 perkara cerai talak atau 26,6 persen dari total perkara yang masuk. Perkara isbat nikah berada di urutan ketiga. Sepanjang 2012, ada 31.927 perkara isbat nikah atau 7,8 persen dari total perkara yang masuk. Sementara itu, perkara ekonomi syariah masih terbilang minim. Dari Januari hingga Desember 2012, hanya ada 31 perkara ekonomi syariah yang diterima 359 MS/PA atau 0,01 persen dari total perkara yang masuk. http://badilag.net/pojok-pakdirjen/15079-cerai-gugat-59-persen-ekonomi-syariah-001-persen-34.html
[8]Dalam Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan, “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.“ Inilah landasan yuridis asas ius curia novit.
[9] Kata bijak karya Cak Anam dalam akun facebook.
[10]Berdasarkan surat nomor : 0738/DJA/PP.00./V/2012, Dirjen telah memanggil sejumlah Hakim Pengadilan Agama untuk mengikuti Pelatihan Hukum Ekonomi Syari’ah ke Arab Saudi.
[11] Kompas, Sengketa Bank Syariah Diputus Lewat Peradilan Agama , tanggal 03 Mei 2013.
[12] Ahmad Mujahidin menyebut secara detil hukum acara yang dapat dipraktekkan dalam perkara ekonomi syari’ah dalam bukunya Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah di Indonesia, (Galia Indonesia: Bogor, 2010) hlm. 36-39. Baca juga: Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cet. Ke-6 (Kencana: Jakarta, 2012), hlm. 6-12.
[13]Peraturan yang lahir dari rahim Mahkamah Agung bersifat mengikat, sebagaimana yang dimaksud pasal Pasal 8 Ayat (2) Undang-undang No. 12 tahun 2011, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.